Peringatan keras: setiap karya yang dimuat di Writing Session dilindungi UU hak cipta & penjiplakan pada karya tersebut memiliki sanksi!

Rabu, 13 Juli 2011

Kamu, Setelah Sekian Lama.

by: @talithamarcia


Sore itu hujan deras mengguyur ibukota. Aku memandangi tetesannya yang membasahi kaca kafe tempatku berada. Bersandar di sofa kecil berlengan, ditemani secangkir Earl Grey dan apple scone, aku dan hujan menantimu. Menanti kemunculanmu setelah sekian tahun berlalu.
 
Dulu sekali, waktu kita masih bersama, kita dan hujan pernah saling mengagumi. Saat itu kita masih muda dan polos. Penuh dengan kesederhanaan dan idealisme. Penuh dengan mimpi-mimpi kecil yang tidak cukup tinggi untuk ukuran dua orang manusia muda metropolis. Kamu hanya berharap bisa tetap tinggal di pinggir Ibukota dan hidup sederhana dengan gaji karyawan biasa. Aku hanya berharap bisa jadi ratumu satu-satunya, tidak peduli sekalipun istana kita hanya seluas rumah petak saja. Mungkin itu yang dikagumi hujan terhadap kita. Keoptimisan kita tentang masa depan yang jauh dari luar biasa, kesederhanaan pikiran dan harapan kita, atau mungkin juga, kepolosan kita yang menjurus dalam kedunguan. Sama seperti hujan yang cuma berani berharap untuk jatuh disaat yang tepat, lalu mengalir mengarungi bumi sebelum akhirnya kembali ke langit.
 
Namun waktu menyeret kita tanpa ampun, tak peduli sekeras apa aku memohon untuk melambat. Usia bertambah, dan aku terseret cita-citaku sendiri, ambisi personalku sendiri, yang memang sudah lebih dulu ada, jauh sebelum jalan takdir kita bersilangan. Aku tak berdaya, terseok-seok membagi kepalaku kepada hal-hal yang ku cintai tapi berbenturan. Hidup berubah kejam dan mengajariku satu pelajaran berharga: aku tidak bisa memiliki semua yang aku inginkan. Setidaknya, tidak untuk selamanya.
 
Kamu pun begitu. Kamu pun tidak punya pilihan lain selain melepasku demi idealisme mu yang lain. Apa kau tahu? Saat itu aku begitu sakit hati, menyadari semudah itu kamu menyerah atas diriku, setelah semua kata-kata manis dan janji-janji yang kukira kau ucapkan sepenuh hati. Apa memang janji  bagi kaummu hanya berlaku sepekan saja? Bila benar begitu, Kenapa tidak sekalian saja kau janjikan aku pelangi?
 
Kamu datang tergesa-gesa sore itu. Kemeja putihmu sedikit basah, sementara kau sibuk mengenyahkan air dari permukaan tas kerjamu. Aku bangkit, tersenyum, dan mengulurkan tanganku. Kamu tersenyum salah tingkah, buru-buru mengelap tangan pada celana hitammu sebelum akhirnya membalas tanganku. Aku mempersilahkanmu duduk, mengulurkan segulung tissu, ingin membantumu mengeringkan tas kerjamu. Kamu menolak, malah menatapku dengan senyum polosmu, “Sudah lama sekali ya? Kamu sudah banyak berubah, Manda”
 
Aku tertegun. Tentu, tentu saja waktu sudah merubah kita sedikit-banyak. Namun itu semua tentu saja diluar kendaliku. Kendalimu. Bukankah begitu?
 
Kamu tersenyum lagi, kali ini sedikit getir, “ Amanda kecil sudah tumbuh dewasa sekarang. cantik, cerdas, dan berkelas.” katamu sambil menerawang. “Aku akan merindukan Amanda yang lama”
 
Aku kembali diam, menatapmu tak percaya. Tak adil rasanya membanding-bandingkanku, sekalipun dengan diriku sendiri. Bukan salahku jika aku terlalu berambisi menggapai cita-cita. Bukan salahku jika tawaran magang di benua tetangga itu mampir di mejaku, yang kemudian membawaku bekerja di negeri orang, bahkan sebelum gelar sarjana menggantung di ujung namaku. Bukan salahku jika karirku akhirnya kumulai di dataran Eropa, dan karenanya aku terpaksa baru bisa kembali ke Ibukota, tujuh tahun setelahnya. Itu salahmu, yang melepasku tanpa kata, dulu.
 
Kamu menggeleng pelan, tampak prihatin.
 
Bukan salahku jika pendidikanku telah mengubahku sebegini cerdas,  dan bukan salahku jika kecerdasan itu mengantarku ke puluhan prestasi, mengisi puluhan halaman surat kabar dan majalah gaya hidup. Menjadi berkelas juga bukan sesuatu yang tercela, terutama jika sifat itu adalah tuntutan karirku, dan sesuatu yang sanggup mengimbangi penghasilanku yang mencapai puluhan ribu dollar perbulannya.
 
Apa yang salah dengan kesuksesanku menggapai impian? Aku menghela napas, meneguk tehku pelan, sementara kamu berpaling menatap hujan.
 
“Kamu kini tak tergapai, Manda. Kamu terbang, terlalu tinggi untuk saya”
 
Aku menggigit bibirku, merasakan rasa asin darahku diujung lidah. Airmataku menggantung di pelupuk mata sambil tetap menatapmu tanpa kedip, dan itu membuat mataku perih.
 
“Adakah yang salah dengan hanya menjadi karyawan biasa? Pegawai pemerintahan yang hanya sanggup mencicil flat kecil sederhana? Adakah yang salah dengan kemampuan bahasa asing pas-pasan, dan bahkan belum pernah sekalipun menaiki burung besi ? Adakah yang salah dengan mobil kecil sederhana, yang harganya setara dengan tas jinjingmu sekarang?”
 
Aku menggeleng keras-keras, teringat pada mimpi-mimpi kecil kita di masa lalu. Mimpi yang sekarang benar-benar terasa mimpi. Terasa kecil. Terasa terlalu sederhana. Kamu terdiam, kini balik menatapku sendu.
 
Jadi ini salah siapa? tanyaku pelan. Kugigit scone ku, getir. Rasanya seperti makanan burung. Kamu tertawa. Sarkastik. “Kamu. Kamu yang tidak menungguku. Sudah kubilang untuk menunggu. Sudah kusuruh kau menanti.”
 
Aku memang menunggumu. Tapi cinta bukan harta karun yang bisa kau temukan di dasar samudra, kemudian kau pajang di lemari kebanggaan. Cinta itu tunas mawar liar yang tumbuh di tepi jeruji pagarmu. Ia bisa tumbuh subur jika kau sirami, bisa mati layu saat kau pergi. Duri nya bisa menyakiti banyak orang, kelopaknya bisa memukau siapapun. Ia bisa mekar hari ini di pekaranganmu, dan mekar di halaman tetanggamu bulan depan. Cinta bukan sesuatu yang bisa dibiarkan mengendap, dan membekas begitu lama. Cinta butuh perawatan, kau tahu? Dan biayanyanya lebih mahal ketimbang one-day-spa.
 
Tentu saja kamu tidak bisa begitu saja membuatku menunggu, kemudian pergi tanpa memperdulikanku. Kamu tentu saja tidak bisa memintaku untuk menanti tanpa ikatan, tanpa jaminan. Kamu tentu saja tidak bisa memaksaku setia hanya berbekal kata-kata manis, rayuan-rayuan murah masa muda. Tentu saja itu tak cukup. Tak pernah cukup.
 
Kamu terdiam, menghembuskan napasmu yang sempat tertahan, sebelum akhirnya bergumam,” kamu memang telah berubah, Amanda. Benar-benar berubah”
 
Tentu saja. Semua orang berubah. Kamu juga. Aku juga. Kamu hanya terlambat menyadari.
“jadi ini semua salah siapa?” tanyamu lagi.
 
Bukan salahku. Bukan pula salahmu. Anggap saja nasib sedang kejam pada kita. Ia memang selalu kejam, bukan? Tapi, tetap kita berhutang banyak padanya, yang mempertemukan kita dalam satu simpangan takdir dan memisahkan kita di simpangan berikutnya.
 
Lidahku kelu. Aku kehilangan kata-kata di depanmu. Bahkan setelah sekian lama aku belajar dan bertumbuh. Berkembang dan berubah. Tetap kata-kata selalu kehilangan pesonanya saat kamu di depanku.
 
“Tidak bisakah kita memulai lagi semuanya dari awal? Memperbaiki kesalahan dan mengembalikan apa-apa yang pernah ada?” kamu mulai kehilangan kesabaran.
 
Aku tersenyum, teringat pada sosokmu di masa lalu. Rupanya kamu masih kamu yang dulu. Yang dengan cepat kehilangan kendali dan mementingkan egomu sendiri. Memangnya apa yang pernah ada itu? Puing-puing? Semuanya sudah kehilangan arti, hancur karena sakit hati, di dalam sini. Awal mana yang ingin kau mulai? Bagiku semuanya sama saja, gelap dan hitam.
 
“Bagaimana dengan mimpi?” kejarmu sekali lagi.
 
Kadang beberapa mimpi memang harus pupus bersamaan dengan mimpi lain yang terwujud. Beberapa mimpi memang harus menepi dan memberi jalan pada mimpi lain untuk menjadi nyata. Bahkan mimpi pun harus berkorban. Pengorbanan bukan hanya milikmu atau milikku.
 
Sesosok pria muda menghampiriku. Usianya baru menginjak tiga tahun. Perawakannya tambun, kedua pipinya gembul memerah. Ia menghambur kepelukanku, aku tenggelam dalam dekapannya.
 
“Bundaa...” sapanya riang.
 
Kamu terpaku di tempat dudukmu. Hujan seolah enggan kembali turun. Mendung menggelayut, waktu tampaknya sudi menghentikan lajunya barang sesaat. Aku acuh. Sibuk menyimak celotehan mulut mungilnya yang mengalir deras.
 
“Aku akan menikahi Lisa bulan depan” ucapmu pada akhirnya. Di luar, hujan memutuskan untuk pulang. Aku menatapnya sekejap, ekspresi kami masih tak berubah. Tanpa gentar aku memaksa lidahku mengucap selamat. Sesaat kelu, tapi aku tak mau tahu.
 
“Selamat. Sekali lagi selamat. Aku mendoakan kebahagiaanmu. Mendoakan keselamatanmu sepanjang hidup”. Kamu mengangguk singkat lalu memohon diri. Aku melambai dan mengucapkan ucapan selamat jalan yang kering sambil tetap duduk, memangku pangeran kecilku.
 
“Aku masih mencintaimu. Masih berharap untuk mewujudkan mimpi-mimpi kecil kita, tapi mungkin kau benar. Hati memang mudah berubah. Cinta mungkin memang tunas mawar liar” ucapmu sesaat sebelum pergi. Aku tersenyum. Hujan pergi. Lain waktu kembali. Kamu pergi. Kali ini tidak pernah kembali.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

SANGAT DIANJURKAN untuk saling mengapresiasi atau mengkritik tulisan satu sama lain. Kita sama-sama belajar ya!