By : @nia_nurdiansyah
Corak langit berubah kelabu saat terakhir kalinya aku mendongak ke atas. Sebelum membuka pintu kamar kos, sempat terlintas sebuah pikiran di benakku. Aku baru paham kenapa setiap kali seseorang merasa galau ia akan melihat ke atas.
Katanya, saat berdoa orang-orang melihat ke atas karena Tuhan tinggal di sana. Mitos bilang, jika tatapan mata kita bertumbukan dengan bintang jatuh dan di hati kita membatin yang bagus-bagus maka keinginan kita akan terkabul. Semesta bilang, hai kalian yang kakinya menapak ke bumi. Roh-roh yang meninggalkan bumi akan tinggal di atas sana. Tersenyumlah maka mereka akan tersenyum balik pada kalian. Tapi aku tak pernah bisa tersenyum pada langit, terlebih yang kelabu.
Sayangnya, bukan hal-hal bagus yang kupikirkan setiap kali menatap langit. Yang kugaungkan pada angkasa adalah perkataan : Jangan hujan!
Semoga Tuhan tidak mengutukku karena membenci hujan. Semoga Tuhan tahu arti kata ombrophobia*.
Sepanjang perjalanan menuju sebuah warung kopi, yang kupikirkan bukan apakah Tuhan tahu arti kata ombrophobia, tapi tentang pemanasan global yang sedang melanda bumi ini. Musim jadi campur aduk. Hujan pun datang tak kenal musim. Ya, lagi-lagi hujan masalahnya. Bahkan, di bulan Juli pun masih turun hujan. Tiba-tiba, tak terduga, dan membuat ‘sakit’ ini kambuh.
Mau menyalahkan siapa? Entahlah. Suatu hari, saat baru keluar dari tempat penyewaan buku aku pernah berpikir bahwa hujan-hujan yang datang tidak pada waktunya ini adalah salahnya pawang hujan. Bagaimana tidak, mereka ini bekerja untuk mencegah atau memindahkan hujan saat seharusnya turun di saat yang tepat di tempat tertentu. Bayangkan ada berapa acara yang diadakan setiap harinya di seluruh bumi ini dan berapa juta kali para pawang hujan berusaha untuk mengagalkan hujan demi kelancaran acara-acara itu. Akibatnya, ketidakseimbangan, ketidakterdugaan, kelabu, dan kegalauan.
Perjalananku menuju warung kopi masih membutuhkan waktu kurang lebih setengah jam dan aku tak pernah tahu apa saja yang dapat terjadi selama itu. Bisa jadi hujan turun tiba-tiba dan merusak semuanya. Aku harus bergegas. Kusingkirkan semua pikiran yang memperlambat langkahku dan terus fokus pada tujuan. Kuhitung derap langkahku untuk melupakan hal-hal buruk yang mungkin saja terjadi. Termasuk turun hujan.
Dua puluh lima menit berlalu. Aku bisa melihat bangunan warung kopi itu dari tempatku berdiri. Kelihatan juga siluetnya yang sedang menungguku di sana dari balik kaca etalasenya. Aku diam sejenak lalu menutup payung yang kukembangkan meskipun saat ini tidak hujan. Aku mulai melepaskan jas hujan yang kukenakan, melipatnya lalu memasukkannya ke dalam tas.
Aku menarik napas, sedikit lega karena hujan tidak mengagalkan pertemuanku kali ini. Dengan gembira aku cepat-cepat memperpendek jarakku dengan warung kopi dan siluetnya. Sebelum melangkah menuju beranda warung kopi itu, aku mendongak ke atas dan melihat corak langit yang berubah lebih kelam. Ada sebilah perasaan aneh yang menusuk tepat di jantungku bersamaan dengan rintik pertama yang berguguran menimpa pucuk kepalaku. Aku menatap langit dan berteriak dengan lantang : Hujan sialan!
Tak butuh waktu lama bagiku untuk masuk ke dalam sebuah adegan dimana aktor utamanya adalah aku, seorang pria yang terlihat begitu galau dan nyaris gila. Aku bahkan tak bisa menghentikan adegan di sinetron sialan yang sedang dimainkannya itu. Di mata si pria, siluet perempuan itu menggelap. Pening bertalu-talu di kepalanya sehingga ia memegangi kepalanya erat-erat seperti takut lepas. Pemandangan di sekitarnya berubah kelabu dan mulutnya komat-kamit berkata, aku benci hujan-aku benci hujan bulan Juli.
(*ombrophobia: phobia hujan)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
SANGAT DIANJURKAN untuk saling mengapresiasi atau mengkritik tulisan satu sama lain. Kita sama-sama belajar ya!