Oleh Dhitta Puti Sarasvati
Kelulusan mencapai 100%. Nilai semua siswa di atas-atas rata-rata nasional. Kami berteriak gembira, mengambil spidol lalu mencorat-coret kemeja satu sama lain. Kami senang, tapi belum sepenuhnya bahagia. Apalah artinya kelulusan kami kalau kami tidak bisa masuk universitas-universitas terbaik negeri ini. Nol besar!
Bukannya ingin sombong, tetapi kecerdasan kami memang di atas rata-rata. Sekolah kami konon katanya merupakan sekolah unggulan nasional. Kalau hanya untuk lulus ujian sekolah saja, itu hal kecil! Yang kami inginkan adalah menjadi sarjana-sarjana ekonomi, kedokteran, psikologi, teknik, dan segala jurusan yang keren itu! Tentunya di perguruan tinggi ternama. Orang tua kami rata-rata sarjana. Mereka menekan kami untuk mengikuti bimbingan belajar terbaik, memberi kami les privat, dan sebagainya. Apapun asalkan kami bisa mencapai cita-cita kami.
Ketika tiba waktunya tes memasuki perguruan tinggi. Hati saya dag dig dug. Tegang. Ya sudahlah, dicoba saja. Bismillah.
Sesudah tes ibu saya menanyakan apakah saya bisa mengerjakan tes dengan baik? Saya menangis, rasanya masih kurang sempurna. Saya sangat khawatir tidak akan lolos di universitas impian. Sahabat saya menelepon saya berhari-hari. Ia tidak yakin akan diterima di universitas favoritnya.
Saat pengumuman tiba, saya mendapatkan kabar bahwa saya diterima universitas impian, jurusan teknik. Teman saya masih menangis tersedu-sedu. Meskipun ia diterima masuk fakultas kedokteran, universitasnya bukan nomor satu. Hanya nomor dua. Dan, itu membuatnya sangat-sangat kecewa.
**
Saya menatap wajah murid-murid saya. Meskipun sudah kelas tujuh banyak yang masih belum bisa menjumlahkan setengah ditambah sepertiga. Setelah lulus Madrasa Tsanawiyah mereka berniat untuk mencari kerja, di pabrik, jadi tukang bangunan, menikah, atau kalau bisa menjadi guru mengaji. Tak banyak yang bercita-cita melanjutkan sekolah, apalagi sampai universitas. Sekolah hanya untuk mendapatkan ijazah, untuk melamar kerja. Tak ada yang khawatir, tidak diterima di perguruan tinggi ternama, bahkan yang memikirkan untuk masuk SMU saja hanya sedikit sekali.
Sepulang sekolah, saya akan menumukan murid-murid saya yang membawa barel-barel minyak tanah untuk dijual. Sebagian mengumpulkan kayu bakar untuk bahan memasak dirumah. Ada juga yang harus menyewakan senter di salah satu gua belanda, daerah wisata tak jauh dari sekolah. Bagi yang perempuan, mereka harus menjaga adik dan keponakannya sembari orang tuanya bekerja.
Tak sedikit pun saya mengalami hal-hal semacam itu. Saya yakin teman-teman saya, sesama mantan SMU yang konon katanya merupakan sekolah unggulan nasioanl, pun tidak. Kami bisa belajar dengan tenang kapanpun kami mau, menyewa guru privat untuk belajar di rumah. Kami bisa berjalan-jalan ke Bali saat libur sekolah, merayakan sweet seventeen, dan membeli buku dan majalah remaja kapan pun kami mau. Kami banyak belajar dan juga bergaul. Masa SMU kami begitu sempurna. Setelah lulus kami pun tetap bisa diterima di perguruan tinggi negeri ternama, sekolah ke luar negeri, atau masuk universitas swasta. 100% siswa SMU saya melanjutkan sekolah ke perguruan tinggi, hampir semua yang terbaik. Kami mendapatkan pekerjaan yang baik dengan gaji bagus di perusahaan multinasional dengan begitu mudahnya. Sayangnya, meskipun kami adalah mantan-mantan sekolah yang konon katanya adalah unggulan nasional, kami tidak pernah belajar untuk menyadari bahwa kami adalah 1% dari 220 juta penduduk Indonesia yang begitu beruntung. Toh sekolah bukan untuk mengajarkan mengenai kesadaran bukan?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
SANGAT DIANJURKAN untuk saling mengapresiasi atau mengkritik tulisan satu sama lain. Kita sama-sama belajar ya!