Peringatan keras: setiap karya yang dimuat di Writing Session dilindungi UU hak cipta & penjiplakan pada karya tersebut memiliki sanksi!

Senin, 11 Juli 2011

Di Suatu Malam




By @MikaylaFernanda

Baiklah kita khayalkan malaikat maut itu ada. Dia sebuah sosok berjubah hitam yang melayang-layang di kegelapan malam, dengan gada di tangan kanan dan arit di tangan kiri. Di pinggangnya tergantung gulungan kertas berisi nama-nama jiwa yang hendak dipanggil beserta daftar kesalahan mereka dan alamat penjemputan.

Mari kita lanjutkan visualisasinya. Malaikat maut itu pun berjalan perlahan mendekati sebuah rumah sakit, melewati lorong panjang yang kosong. Tidak ada siapapun di sana, kecuali dua orang perawat berseragam yang terkantuk-kantuk di depan.

Malaikat maut lalu berbelok, menuju ruangan kelas VIP, kamar 331. Ia melemparkan senyum pada seulas sosok terbaring lemah dengan masker oksigen di hidung dan kabel-kabel monitor jantung. "Malam, kawan," sapanya ramah. "Sebentar lagi akan kubebaskan kau dari penderitaan."

Dan ia melayang perlahan, mendekat ke ranjang. Dengan sebelah tangan, disentuhnya dahi pasien. Pintu jiwa terbuka, dan ruh laki-laki itu mulai keluar seperti asap mengepul.

Tapi detik berikutnya, malaikat maut tersentak. Serentetan gumaman muncul dari sudut ruang. Malaikat maut menoleh, dan mendapati seorang gadis berambut panjang duduk di kursi. Gadis sederhana itu mengatupkan tangannya dan berdoa.

"Tuhan yang baik, sembuhkanlah Papaku. Jangan kau ambil dia dulu karena aku belum rela ia pergi..."

Malaikat maut terperangah. Sebuah doa yang tulus menghentikannya.

"Papa sakit karena aku, Tuhan." Gadis itu mulai menangis. "Aku terlalu liar. Papa serangan jantung karena membaca suratku tadi pagi." Ia terhenti, menghapus airmatanya dengan punggung tangan. "Surat yang kutinggalkan di rumah, mengatakan aku mau kawin lari dengan Johan."

Tanpa sadar, Malaikat maut menghentikan menarik nyawa pria itu. Ia lalu bergerak mendekati si gadis, kemudian berjongkok tepat di depan perempuan itu, memperhatikan wajahnya yang berdoa sungguh-sungguh. Ia memang malaikat pencabut nyawa, tapi ia bukan robot yang tanpa perasaan. Sama seperti manusia atau malaikat lainnya di dunia atas, ia bisa terenyuh, tersentuh, bahkan merasa iba.

Gadis itu melanjutkan doanya, kali ini dengan suara keras. "Kumohon, Tuhan yang baik. Sadarkan Papa. Biarkan aku meminta maaf terlebih dahulu sebelum ia mati. Kumohon..." Dan gadis itu pecah dalam tangis.

Malaikat maut lalu mengernyitkan dahi. Dirinya diselimuti bimbang. Diraihnya gulungan kertas dari pinggang, kemudian mulai membaca. Orang ini ditakdirkan mati sekarang, dan begitu yang tertulis di buku takdir.

Tapi... Rasanya kasihan jika ia tidak diberi kesempatan berbaikan dengan putrinya.

Dulu sebelum jadi malaikat, ia pun pernah menjadi seorang anak. Ia anak yang dimatikan sebelum lahir, karena memang tidak diinginkan. Ia tahu betapa Ibunya menyesal telah mengaborsi dirinya. Andai ia mendapat kesempatan untuk berbicara dengan ibunya, dan mengucapkan bahwa ia sudah memaafkannya...

Laki-laki ini pasti mau memaafkan putrinya, jika ia diberi kesempatan...

Malaikat maut menghembuskan nafas panjang. Dirinya sudah mantap. Sambil menengadah ke langit, ia melempar senyum usil.

"Maaf, Tuhan," ucapnya santai. "Dulu Engkau menghukum aku menjadi malaikat pencabut nyawa karena aku malaikat bandel." Diangkatnya bahu sambil mengerdipkan mata. "Too bad, aku masih bandel sekarang, makanya aku lari dari tugas."

Dia merogoh saku, mengeluarkan pena merah, lalu menulis dengan huruf kapital "PENDING". Jiwa laki-laki itu dikembalikan dalam raganya sambil bergumam," Sampai ketemu bulan depan. Satu bulan tentu cukup menyelesaikan masalah dengan putrimu."

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

SANGAT DIANJURKAN untuk saling mengapresiasi atau mengkritik tulisan satu sama lain. Kita sama-sama belajar ya!