Peringatan keras: setiap karya yang dimuat di Writing Session dilindungi UU hak cipta & penjiplakan pada karya tersebut memiliki sanksi!

Kamis, 28 Juli 2011

Terima Kasih, Zan


Oleh @r_i_nr

 
Aku terbangun. Mataku masih berat. Kelopaknya kubuka perlahan. Dan seketika sinar yang masuk terasa menusuk. Mataku memicing lagi. Sepertinya dia memang lebih nyaman terpejam. Telapak tanganku menyentuh kening. Hangat. Masih sama seperti semalam. Hanya sekarang lipatan leherku yang sedikit lembab karena keringat. Begini rasa meriang rupanya. Seketika menggigil karena dingin menggigit dan seketika hangat bahkan panas muncul menyebabkan gerah. Mataku terbuka sebelah. Aku harus bangun, sebelum lelap yang terlalu lama akan menghadirkan berat yang nggak kira-kira dikepala.
“Sudah bangun?” terdengar suara Zan diseberang sana. Semalam dia sempat panik ketika aku tiba-tiba memuntahkan makan malam yang hanya baru beberapa suap kumakan.
“hmm…masih setengah” jawabku malas. Iya, aku masih setengah bangun. Mataku saja masih terbuka sebelah kan? Hanya aku tidak kuat mendengar dering hape terlalu lama. Juga tidak mungkin aku tak menjawabnya, bisa tambah panik dia karena mengira sakitku ternyata parah juga.
“Hahaha. Makan ya? Aku bawa sarapan” katanya.
“Hah? Emangnya kamu dimana?” sontak aku terbangun. Kaget. Dan akhirnya kedua mataku terbuka sempurna.
“Aku didepan kost-mu” katanya kalem.
“Ya ampun! Bentar, aku buka pintunya” Aku langsung bangkit ke westafel untuk cuci muka. Rambutku kukuncir kuda. Aku menatap wajah pucat sembab yang terpantul dikaca. Mungkin aku akan merenung lama, jika saja tak ingat bahwa ada yang menunggu diluar sana. Zan. Ada-ada saja anak itu.
***
“Masuk” Pintu kubuka lebar. Zan masuk dengan satu tentengan plastik ditangannya.
“Sudah berapa lama diluar?” tanyaku.
“Mmm, setengah jam-an kali ada” katanya sambil tersenyum. Dia mendekat ke meja. Meletakkan bungkus sarapan yang baru saja dibelinya dihadapanku. Tangannya menyentuh keningku.
“Hangat. Ini aku juga bawa obat.” Lanjutnya. Aku terpaku.
“Zan…” Panggilku. Dia yang sedang membuka bungkusan sarapan itu menoleh padaku.
“Hmm?” Alisnya naik.
“Thank You…” kataku.
“Don’t mention it. Yang penting kamu makan, minum obat dan cepat sehat” Sarapan yang ia bawa sudah siap disantap. Bungkusnya sudah terbuka. Walau sepertinya kelihatan lezat, tapi sama sekali aroma roti bakar keju ini tak tercium olehku. Hidungku tersumbat. Dan bersamaan dengan itu pula, indra perasa dilidahku turut berhenti bertugas sementara. Hingga makanan yang masuk sama sekali tidak ada rasanya.
“Ayo makan” katanya lagi karena melihatku hanya menatap roti bawaannya itu. Telapak tangannya mengusap ubun-ubunku. Begitu caranya membujukku makan. Aku ambil sepotong. Menyuapkannya dengan enggan. Zan kembali duduk dikursinya.
“Zan…” Panggilku lagi. Tatapanku menunduk.
“Hmm?”
“Kenapa cobaan selalu datang menyerang titik terlemah ya?” Aku kembali bertanya masalah semalam. Jelek memang, tenggelam dalam kedukaan terlalu dalam.
“Tuhan ingin kita kuat disegala sisi, Ni. Maka itu cobaan akan selalu datang disegala titik” Jawabnya. Aku masih menunduk.
“Tapi ini rasanya bertubi-tubi, Zan…” sambungku.
“Itu karena kita tak kunjung lulus, maka cobaan yang sama akan datang berulang-ulang hingga kita bisa menerimanya dengan lapang dada dan kemudian bangkit semula” Suara Zan begitu tenang.
“Lalu, jika aku tak sanggup lagi bagaimana?” Tanyaku. Setitik bening airmata meluncur dipipi sebelah kanan. Zan seketika menyekanya.
“Tuhan tidak akan memberi cobaan melebihi batas kemampuan hambanya, Ni. Kamu mampu. Kamu kuat.” Dia tersenyum. Teduh sekali. Setitik bening jatuh lagi. Kali ini dipipi sebelah kiri. Potongan roti yang yang barusan tergigit masih kugenggam. Aku menahan sesak dalam-dalam.  
“Hei, ayo senyum. Sabar sedikit lagi. Ya?” Zan agak menunduk mencari mataku.
“Cobaan, tak lantas menjadikan kita menuding Tuhan. Ia tetap ada untuk kita selama kita mau meminta. Dan…” kalimat Zan menggantung.
“Dan…?” lanjutku ingin tau.
“Dan aku selalu disini. Ya mungkin aku tidak bisa memberi solusi, tapi dibahuku ini banyak tertempel sobekan-sobekan motivasi jika kamu perlu” katanya. Titik bening mataku mengalir lagi. Kali ini sebabnya berbeda. Bukan sesak karena cobaan mendesak. Tapi haru yang seketika menyeruak.
“Ini, obat. Jika sakit berlanjut hubungi dokter katanya” Lanjut Zan dengan mimik lucu. Aku mengambil keping tablet dan secangkir penuh air putih dari tangannya.
“Jangan nangis lagi ya. Nanti tambah jelek” Katanya sambil mencubit pipi gembilku. Ah, Zan. Terima Kasih…

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

SANGAT DIANJURKAN untuk saling mengapresiasi atau mengkritik tulisan satu sama lain. Kita sama-sama belajar ya!