Peringatan keras: setiap karya yang dimuat di Writing Session dilindungi UU hak cipta & penjiplakan pada karya tersebut memiliki sanksi!

Senin, 11 Juli 2011

Surat Untuk Laila



By: Vanny Prihatiningsih (@vannypn)

+++

Lelaki tua itu datang lagi, terpincang-picang melewati pintu kantor
pos, dengan tangan menggenggam sepucuk surat beramplop putih.
Senyumnya merekah, merah menyemburat di pipinya yang mulai menua,
ketika aku menyapanya.

“Datang lagi, Pak Datuk?”

Pak Datuk mengangguk sambil mengangsurkan surat itu ke atas mejaku.
Kulirik nama yang tertera di amplop. Laila. Aku mendesah. Aku enggan
menjawab pertanyaan Pak Datuk yang sebentar lagi akan muncul.

“Apa ada surat dari Laila, Nak Hadi?” pertanyaan yang sangat kubenci
tapi tidak bisa kuhindari itu meluncur dari mulut lelaki itu.

Aku mengulur-ulur waktu sejenak sebelum menjawab, “Belum ada, Pak.”

Senyum di wajahnya lenyap, seiring dengan pipinya yang berubah pucat.
Mata Pak Datuk meredup kehilangan harapan, diikuti oleh bahunya yang
lemah terkulai. Aku berusaha tidak memperhatikan perubahan itu, tapi
mau tidak mau terlihat juga ekspresinya, membuatku menggigit bibir
menahan iba.

“Mungkin bulan depan suratnya baru sampai di sini. Arab Saudi dan
Padang kan jauh,” hiburku.

Pak Datuk mengangkat wajahnya, “Ya, mungkin bulan depan,” gumamnya
lebih kepada dirinya sendiri. “Kalau begitu Nak Hadi kirim dulu saja
surat saya yang ini. Nanti kalau surat Laila sudah sampai, tolong
beritahu saya supaya saya bisa menjemput surat itu.”

“Pak Datuk tidak perlu mengambil langsung ke sini, ada tukang pos yang
akan mengantarkan surat itu langsung ke rumah Pak Datuk,” kataku,
sedikit bingung dengan permintaan Pak Datuk.

“Saya sudah terlalu lama menunggu, Nak Hadi, sampai akhirnya saya
sadar bahwa cinta itu butuh lebih dari sebuah penantian. Kalau saja
saya punya uang, pasti akan saya susul istri saya ke Arab Saudi,” Pak
Datuk terkekeh sambil bangkit berdiri.

“Pastikan suratnya terkirim ya,” pesan Pak Datuk sebelum pergi.

Selepas kepergian Pak Datuk, kubuka laci meja tempat aku biasa
menyimpan surat-surat yang harus dikembalikan ke alamat si pengirim,
biasanya karena alamat yang dituju salah atau orang yang dituju sudah
tidak menetap lagi di sana. Sambil menghela napas panjang, kutarik
segepok surat beramplop putih dengan nama Laila tertera di bagian
depannya, lengkap dengan sepucuk surat dari Kedutaan Besar Indonesia
di Arab Saudi yang memberitakan kematian Laila, istri Pak Datuk yang
menjadi TKW di sana.

Entah sampai kapan aku mampu menyembunyikan kebohongan ini. Entah
sampai batas apa moralku mengizinkan aku berbohong. Ada dilema
bersarang di hatiku, menyimpan perdebatan mana yang benar dan mana
yang salah. Mengatakan kebenaran berarti merepihkan asa kakek tua itu,
tetapi mengutarakan dusta? Aku mengerang.

Tuhan, maafkan aku, biarlah kegalauan ini menjadi milikku sendiri.

Kemudian, tanpa ragu-ragu, kuraih pulpenku, dan kutulis surat untuk
Pak Datuk, atas nama Laila.

1 komentar:

SANGAT DIANJURKAN untuk saling mengapresiasi atau mengkritik tulisan satu sama lain. Kita sama-sama belajar ya!