Peringatan keras: setiap karya yang dimuat di Writing Session dilindungi UU hak cipta & penjiplakan pada karya tersebut memiliki sanksi!

Rabu, 13 Juli 2011

Masa Lalu Terindah


Oleh Wahyu Antari

Rintik hujan belum juga berhenti sore ini. Tetesannya mengenai daun-daun serta kelompok bunga lily yang kutanam di pekarangan rumah. Aku suka hujan sore ini. Entah mengapa membuatku kembali ke masa lalu, pada sebuah sosok yang dulu amat berarti dalam hidupku.

Namanya Kemal. Dia teman kuliah di salah satu perguruan tinggi swasta tempatku menuntut ilmu. Kami satu jurusan, hanya saja dia lebih tua satu tingkat dariku. Kami berkenalan di senat kampus, lalu mulai dekat selama beberapa bulan, hingga akhirnya memutuskan untuk pacaran saat kampus mengadakan malam keakraban bagi mahasiswa baru yang satu tahun dibawahku.

Menjadi pacar Kemal, si Bendahara Senat yang jago renang, membuatku merasa sangat bahagia. Bisa dibilang masa-masa pacaran kami di bangku kuliah merupakan masa terbaik di kampus. Setelah lulus, Kemal bekerja di sebuah perusahaan bisnis yang cukup besar. Karena kerja kerasnya, dia terus mendapat promosi dari atasan. Itu membuat dia bekerja dua kali lebih keras dari teman-teman kantornya yang lain.

Dan biasanya selalu ada saja yang dikorbankan demi sebuah kesuksesan. Dalam hal ini, Kemal mengorbankan hubungan kami.

Aku tidak lagi bisa menemukan sosok dewasa yang kukenali. Kemal berubah menjadi seseorang yang berbeda. Seseorang yang asing. Dia jadi gampang marah, lebih cepat emosi, dan tidak pernah punya waktu untuk jalan berdua. Alasannya apalagi kalau bukan bekerja, bekerja dan bekerja. Akhirnya tepat lima tahun hubungan kami, dua hari setelah tanggal jadian kami yang dia lupakan karena ada presentasi di kantor, kami putus.

“Aku nggak bisa pacaran sama orang cuma mikirin kerja, kerja, dan kerja.”

Itu yang kukatan hari itu, saat kami menyempatkan diri untuk bertemu di sebuah coffee shop dekat kantornya. Kami memang tidak bisa janjian terlalu jauh, karena dia harus menghadiri beberapa meeting.

Apa yang dilakukan Kemal ketika aku mengucapkan kalimat itu? Dia menunduk sesaat, lalu menghambuskan napas dan memandangku lewat mata di balik kaca persegi yang membingkai wajah dewasanya.

“Kalau kamu memang mau pergi, pergilah.”

Tidak ada kata-kata lain. Kemal mengatakannya dengan singkat, jelas, lalu mengusap kepalaku pelan dan beranjak meninggalkanku sendirian dengan hati berkeping-keping. Aku ingin dia bertanya apa mauku. Aku mau dia memperjuangkan hubungan kami. Aku ingin dia bilang kalau aku mempunyai tempat yang berarti dalam hidupnya, bahwa aku masih orang yang penting di hidupnya selama lima tahun terakhir, bahwa dia masih mencintaiku.
Ketukan lembut dipintu terdengar, disusul sebuah kepala menyembul dari pintu yang setengah terbuka.

“Bu, ada tamu yang mau konsultasi,” ujar Mia, asistenku.

Aku memberitahunya akan menemui tamu itu lima menit lagi.
Dua tahun telah berlalu dari insiden coffee shop itu. Dua tahun aku mencoba memperbaiki hidupku, mencoba memberitahukan bahwa Kemal memang tidak menginginkanku seperti aku mengharapkannya. Dua tahun aku mencoba bangkit dan membuang jauh-jauh sosok seorang Kemal Prasetya dalam hidupku.
Aku menyibukkan diri dalam berbagai macam hal, pekerjaan, apapun.

Hingga kemudian aku berhasil mendirikan Wedding Organizer bersama seorang sahabat. Semakin berkembangnya bisnis ini, aku mendirikan kantor di lantai satu rumahku sendiri. Ada tiga orang pegawai yang standby di sini menemaniku, salah satunya Mia.

“Selamat sore, ada yang bisa saya bantu?” Aku bertanya pada seorang

perempuan yang duduk di sofa kantor. Cantik, komentar pertamaku dalam hati.

Perempuan ini memakai gaun putih selutut yang simpel tapi terlihat berkelas. Sebuah tas tangan dengan brand terkenal ada di pangkuannya, sementara kaki jenjangnya dihiasi high heels yang kemarin kulihat di sebuah butik mahal. Wajahnya anggun dengan rambut tanggung yang dibuat ikal, dan polesan make up tipis yang makin mempertegas garis wajahnya.

“Selamat siang. Saya Anggun, saya kemari untuk meminta bantuan anda menjadi WO dalam pernikahan saya bulan depan.”
Anggun. Nama yang tepat. “Bulan depan? Mendadak sekali.”

“Iya, calon suami saya harus pindah kerja ke Amerika. Karena itu pernikahan kami akan dipercepat.”

Oh, aku mengerti sekarang. Jadi mereka menikah karena si calon pengantin laki-laki akan pindah kerja. Pasti calon suaminya orang yang sibuk. Mungkin sama seperti Kemal, ujar sebuah suara mendadak mampir di benakku. Hush. Buru-buru kuusir suara nakal itu.

“Bisa saya usahakan, tapi saya perlu konsultasi dengan kalian berdua.”

“Oh… calon suami saya ikut kok. Dia masih di mobil, sebentar lagi menyusul ke sini. Aaahh… itu dia!”

Kepalaku menoleh ke arah pintu masuk. Seorang laki-laki membuka pintu kaca itu dan mataku terbelalak melihatnya. Dia. Tidak mungkin. Jangan-jangan…

“Mbak, kenalin ini calon suami saya, Kemal Prasetya. Mal, ini mbak Andrea yang akan jadi WO kita bulan depan.”

Kemal, berdiri di depanku dengan sosok yang tidak banyak berubah dari dua tahun lalu. Kacamatanya masih persegi, hanya berbeda model. Bentuk rambutnya masih sama, hanya lebih panjang sedikit. Cara berpakaiannya juga tidak berubah. Dari gerak tubuhnya, aku yakin kalau dia juga mengenaliku.

“Andrea.” Aku mengucapkan nama dan mengulurkan tangan, berusaha menahan segenap rasa yang muncul dalam benakku.

“Kemal.”

“Mal, temenin mbak Andrea dulu ya? Aku mau telepon Mama dulu, supaya hari ini kita bisa langsung omongin konsep pernikahan kita.” Anggun tersenyum riang dan bergerak menjauh dari kami agar bisa menelepon ibunya tanpa gangguan.

“Hai.”

Kemal yang duluan bicara. Mungkin dia juga tidak tahu harus berbuat apa untuk mencairkan suasana diantara kami.

“Hai,” balasku pelan. Dinding yang kubangun selama dua tahun mulai retak.

“Selamat untuk pernikahan kalian bulan depan. Kamu... beruntung mendapatkan perempuan seperti dia.”

“Makasi, Dre.”

Bunyi petir terdengar di luar. Anggun masih sibuk menelepon di pojok ruangan, malah kini beralih keluar agar mendapa signal yang lebih baik.

“You’re still the best I’ve ever had, Dre. Always.”

“Mal…”

“She’s great, but not even better than you.” Kemal terdiam sesaat. “I miss you, Andrea.”

Tetes air mata hampir saja jatuh kalau saja pintu tidak berderit terbuka dan Anggun kembali sembari tersenyum ceria.

“Sori, neleponnya lama. Mama lagi di tukang jahit kebaya. Kita langsung mulai aja yuk? Kamu mau konsep kayak apa, Mal? Mbak Andrea punya ide gak?”

Anggun terus bicara, sementara tatapan Kemal tidak beralih sedikitpun dariku. Saat kemudian mereka pergi, sebuah pesan singkat mampir di ponselku.

Kamu adalah masa lalu terindah, Andrea. Terima kasih pernah hadir dalam hidupku.

Tanpa bisa kucegah, air mata itu menetes dari kedua belah mataku.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

SANGAT DIANJURKAN untuk saling mengapresiasi atau mengkritik tulisan satu sama lain. Kita sama-sama belajar ya!