Oleh: @stellanike
-
Terkadang, ya terkadang ia terdiam di tengah keheningan malam,
berbaring dalam diam tanpa suara. Menatap langit-langit kamar dengan
tatapan nyalang dan sorot mata sendu. Tubuhnya tak bergerak, namun
benaknya berkali-kali mengucap pertanyaan yang membuat gundah melanda
dada. Mempertanyakan keputusannya—apakah telah tepat.
Atau terkadang, ya, terkadang ia akan menanti di pinggir jendela kayu
yang terbuka lebar, menunjukkan pemandangan malam hari yang
indah—dimana gemintang menghiasi langit kelam dan memamerkan kerlip
sinar, membantu pancaran rembulan yang lembut. Sepasang kristalnya
yang jernih menagamati dengan seksama, mencari-cari dalam diam.
Batinnya mengharap—namun lidahnya terlalu kelu untuk mengucap doa.
Karena ia tahu, harapannya adalah sebuah kesia-siaan belaka.
Akan tetapi lebih sering ia membenamkan kepalanya di bantal yang
tebal, menahan isak tangis agar tak terdengar dari seluruh anggota
keluarganya. Kepedihan yang meluap-luap terasa menyakitkan, ditambah
rasa rindu yang begitu besar—pada seorang bocah yang entah bagaimana
telah memiliki separuh dari hatinya. Seorang laki-laki yang takkan
pernah ia temui lagi—karena pilihan yang diambilnya.
Tapi di tiap pagi, ia akan tersenyum, seolah tak pernah terjadi
apa-apa pada malam yang telah berlalu—karena memang, tak ada yang
cukup penting. Tak ada lagi denting riang dari peri kecil yang cerewet
dan memiliki sentimen pribadi pada dirinya. Tak ada lagi debu peri
yang halus, yang memberikan kemampuan baginya untuk dapat melayang
dengan membayangkan kenangan-kenangan menyenangkan. Tak ada lagi anak
laki-laki yang menjemputnya untuk berpetualang bersama.
Dan sepanjang hari ia terus membatinkan pertanyaan yang masih tak
dapat ia jawab dengan keteguhan hati secara penuh—di sela-sela
kegiatannya. Pertanyaan yang hingga kini tak dapat dijawab dengan
suara yang pasti dan jelas—keyakinan masih belum sepenuhnya dimiliki
oleh sang gadis. Ia tahu, keputusannya telah menyakiti kedua belah
pihak—yang merasakan sesak ingin berjumpa kembali bukanlah dirinya
seorang.
Setiap kali ia menyadarinya, bahwa di sana yang dirindukan juga sedang
memikirkannya, ia tak mampu menahan dirinya untuk tak bergumam lirih
dengan suara yang sarat akan duka, “Oh, Peter, maaf, maafkan aku.”
Tangannya menekap di dada, menahan perih yang melanda.
Dan Wendy masih terus saja bertanya-tanya, apakah keputusannya
meninggalkan Neverland—meninggalkan Peter Pan seorang diri, hanya
bersama dengan Tinker Bell—tepat.
---
Peter Pan © JM Barrie
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
SANGAT DIANJURKAN untuk saling mengapresiasi atau mengkritik tulisan satu sama lain. Kita sama-sama belajar ya!