Peringatan keras: setiap karya yang dimuat di Writing Session dilindungi UU hak cipta & penjiplakan pada karya tersebut memiliki sanksi!

Sabtu, 09 Juli 2011

Takdir dan Pilihan

Oleh: @GiraffeSay‏

Tetesan air jatuh menghujam di talas liar. Aliran sungai masuk menggenangi hutan, menggelisahkan, pun membahagiakan sebagian penghuninya. Ya, hujan baru saja reda menyisakan tetesan kecil, kini mengundang suara-suara membahana si kodok, yang tertawa bahagia melihat air membanjiri hutan.
“Berisik sekali keluarga itu,” ucap seekor cicak terbang, pelan. Dia merengut di batang akasia yang separuh tenggelam.
“Aku mendengarmu wahai cicak,” balas si kodok. Dia menatap tajam, “Tampaknya engkau tidak senang dengan kesenanganku?”
“Jelas aku tidak senang. Bangsamu itu begitu berisik.”
“Bodoh! Air adalah kehidupan. Siapa yang tidak senang dengan air sebanyak ini? Sekarang aku bisa berburu hingga masuk ke hutan.”
“Aku tidak mempermasalahkan airnya, tapi suara tertawamu itu.”
“Tertawaku adalah takdir, sama halnya dengan air yang diturunkan hujan, barusan. Engkau harus mengerti cara kerja alam ini, agar kau rela digerakkan olehnya. Agar kau mengerti, bahwa tertawaku pun punya makna! Yaa, meski mungkin tidak menyenangkan bagimu.”
“Tapi engkau bisa saja memilih untuk tidak bersuara,” balas cicak.
“Tidak-tidak. Aku memang sudah seharusnya seperti ini. Alam ini sudah punya jalannya sendiri, dan engkau, harus rela karena sekarang giliranku tertawa! Haha...”
***
Si kodok tengah menjelajahi hutan, mencari-cari serangga yang bisa dijerat dengan lidahnya yang panjang. Seekor belalang menempel di ujung ranting yang hampir tenggelam, tanpa tunggu lama, si kodok menangkapnya, menelannya hidup-hidup. Lalu dia kembali bersuara kencang!
“Hap!” Si cicak terbang hinggap di batang. “Hey, kita berjumpa lagi,” sahutnya pada kodok.
“Jangan ganggu aku. Aku sedang mencari makan.”
Si cicak pun terdiam. Namun kemudian, dia melihat ada seekor aligator muda yang mendekat. Mengintip dari celah rumput-rumput yang terendam, mengawasi si kodok yang asik mencari makan. Si cicak pun segera mengingatnya kodok itu, “Hey!”
“Jangan berisik!! Carilah kesibukan lain. Bukankah kemarin aku sudah bicara tentang takdir? Belajarlah tentang itu, dan jalani takdirmu sendiri, jadilah cicak sejati. Jangan ganggu aku!” teriak si kodok, kesal!
Cicak kembali diam.
Aligator itu makin dekat. Namun karena masih pemula, dia tak sengaja menciptakan riak air, dan si kodok pun menoleh kearahnya. Dia ketahuan, lalu bergegas mengejar si kodok.
Si kodok tetiba panik, lari terbirit, “Hey cicak! Tolong aku! Bawa aku terbang!” teriaknya pada si cicak.
Si cicak melihat aksi kejar-kejaran antara aligator lapar dan si kodok; pemangsa dan mangsa; kerja alam. “Kalau aku menolongmu, maka aligator itu akan kelaparan karena tidak makan,” jawab si cicak.
“Bodoh! Engkau harus menolongku! Jangan berdiam diri saja!”
Cicak terus memperhatikan kepanikan si kodok. “Bukankah itu takdirmu?” tanyanya datar.
“Tapi engkau bisa memilih untuk menolongku!” tegas si kodok.
“Tidak-tidak. Katamu, hutan sudah punya takdirnya sendiri. Kenapa engkau harus lari dari aligator itu?”
“Ah, sial kau! Tidak ada takdir di hutan ini! Kebetulan saja kau lahir dengan sayap! Dan harusnya sekarang kau menolongku!”
“Kebetulan? Jadi, sekarang kau ingin mengajariku tentang kebetulan?”
“Plak!” percik air menghilangkan jawaban si kodok. Dia mati di antara rahang si aligator. Sedang si cicak melihat dengan tatapan kosong, tanpa iba, tanpa kesal. Dia tidak percaya pada kebetulan, pun pada takdir. Dia hanya percaya pada pilihan.

1 komentar:

SANGAT DIANJURKAN untuk saling mengapresiasi atau mengkritik tulisan satu sama lain. Kita sama-sama belajar ya!