Peringatan keras: setiap karya yang dimuat di Writing Session dilindungi UU hak cipta & penjiplakan pada karya tersebut memiliki sanksi!

Senin, 11 Juli 2011

Satu Milyar Yuyun



@idawatiwiguno

“Kopinya, Bu.”

“Ya, makasih. Pintunya biar terbuka saja, Pak,” katanya tanpa mengalihkan pandangan dari layar. Tak lama aroma kopi yang khas semerbak memenuhi ruangan. Spontan Kristal menghirupnya dalam-dalam. Biarpun setiap kali cuma kuat minum satu dua seruput, tapi ia sungguh tergila-gila pada minuman hitam pekat itu. Nggak pagi, nggak siang, nggak sore, nggak malam. Baginya kopi adalah terapi relaks paling ces-pleng dan obat kuat paling nendang. Terutama yang panas-panas mengepul seperti ini. Mmmm….

Cangkir kopi sudah berjarak kurang satu senti lagi dari bibirnya ketika lagi-lagi terdengar teriakan yang menyakitkan telinga, disusul pintu dibanting, dan tak lama kemudian lewat seorang staff dengan mata dan hidung merah menahan isak tangis. Kristal mengernyitkan kening. Korban keberapa hari ini? Lima? Enam? Tujuh setengah?

“Duh asyiknya yang lagi ngopi.” Seorang lelaki berpenampilan necis bersandar di pintu dengan tangan terlipat di dada. Kristal melambaikan tangan, mempersilakannya masuk.

“Ada yang bisa saya bantu, Pak No?” tanyanya langsung to the point. Rekan kerjanya ini jarang bertandang kalau tidak urgent. Biasanya via telepon ataumessenger sudah cukup. Ia punya dugaan kuat kunjungan ini tentang apa, tapi memutuskan menunggu temannya membuka mulut.

“Yuyun kenapa tuh?” Sambil duduk, Mono menunjuk ruang seberang dengan jempolnya. “PMS? Hamil? Menopos? Dari tadi pagi ngamuk mulu kerjanya. Staff satu kantor udah kena giliran semua dimarahin. Kayaknya cuma sisa elo sama gue. Secara kita selevel kali dia nggak berani.”

“Dalam kasus loe ya lebih tinggi elo donk, No.” Melihat rekannya sedang informal mode on, Kristal  pun bersikap santai meski tetap waspada. Khasnya Mono kalau bicara, muter-muter dulu baru nembak. “Tapi jangan salah, dia sih nggak pandang bulu kalau ngamuk. Boss aja bisa kena semprot…”

Mono menyeringai lebar. Wajahnya mirip vampir kalau begitu. Tapi vampir necis dan ganteng, bukan vampir kampung. “Makanya…” Ia memajukan tubuhnya. “Sebelum gelombang tsunaminya nyampe sini, elo cari tahu gih, Ta.”

Nah kan. “Ogah ah. Yang office manager elo kenapa yang harus repot gue?”

“Gue serius nih! Biar kata gue OM juga, masa gue ngorek-ngorek masalah cewek?”

“Jenis kelamin Yuyun sampai hari ini kan masih tanda tanya.” Kristal menyeruput kopinya santai. “Demikian pula dengan elo. Jadi klop donk kalo elo yang maju?”

Geregetan Mono menyambit Kristal dengan potongan kertas. “Please lah, Ta.”

“Jangan nyampah di sini. Nanti Pak Office Manager marah.”

“Taaaa!”

“Jangan ngondek di sini juga. Belum jamnya.”

Kalau kalimat itu keluar dari mulut orang lain, pasti bogem mentahnya sudah melayang. Dan kalau anak buahnya berani membantah bila disuruh, ia sudah mencetak SP-1. Tapi ini Kristal. Entah kenapa sejak hari pertama bertemu ia langsung jatuh hati dengan gadis ini. Bukan jatuh hati dalam arti asmara, tapi perasaannya lebih seperti seorang pengawal yang setia melindungi putri rajanya. Resikonya, sekalipun secara hirarki pangkatnya lebih tinggi, gadis ini bisa ngoceh, berbuat, dan minta apapun tanpa ia bisa menolak atau marah.

Seperti sekarang.

Aneh tapi nyata. Mono menggelengkan kepalanya. Sama pacar sendiri aja nggak sampe segitunya. “Dosa apa gue bisa kenal makhluk kayak elo, Ta…”

“Di kehidupan lampau elo ngutang gue apa kali,” kata Kristal serius, sebelah tangannya sibuk menggerak-gerakkan mouse. Mematikan satu per satu aplikasi di layar monitor.

“Kehidupan lampau?” Mono terkejut. “Memangnya elo… percaya reinkarnasi, gitu?”

“Sama sekali nggak tuh.”

“Ta…” Lelaki itu menghela napas panjang. Ia sudah hampir mengomel panjang pendek ketika Kristal bangkit dari dudukya. “Loh, mau ke mana?”

“Loe minta gue ngecek si Yuyun, kan?” Gadis itu berjalan keluar. “Perintah Pak Office Manager harus dijalankan donk. Tapi…” ia menghentikan langkahnya sejenak, berkata tanpa menoleh,”you owe me, okay? Oh, HP loe stand by ya, gue butuh saksi,” sambungnya lagi, meninggalkan rekannya yang langsung siaga dengan ponselnya.

Baru beberapa langkah ia mendekati ruangan seberang, sudah sayup-sayup kedengaran suara omelan merambat keluar.

“…  SAYA SURUH EMAIL SECEPATNYA! APA 2 JAM ITU MASUK KATEGORI SE-CE-PAT-NYA BUAT KAMU? KEPALA KAMU ISINYA OTAK APA OTAK-OTAK?”

“BU YUNITA!”

Yunita, dan seorang staff perempuan yang sedang gemetar ketakutan di hadapannya, sama-sama menoleh kaget. Kristal tersenyum super manis, berjalan cepat menyambar lengan staff muda itu—yang memandangnya berkaca-kaca penuh terima kasih—dan mendorongnya keluar. “Saya ada urusan sama Bu Yunita. Kamu tunggu di luar sebentar ya. Thank you!

“HEH, TIANG LISTRIK!” Bahkan sebelum pintu menutup penuh, suara Yunita sudah kembali menggelegar, membuat Kristal berpikir mungkin tidak perlu menghidupkan HP-nya. Ia berani bertaruh suara itu bisa menembus tembok Pentagon sekalipun. “NGAPAIN IKUT CAMPUR?”

Kristal tidak menyahut. Sambil menyandarkan keseluruhan 56 kg dirinya ke tembok, dibiarkannya perempuan bertubuh gempal yang lebih senior darinya itu berjalan mondar-mandir dengan mulut terus mengoceh.

“… kerja nggak ada yang beres! Ijasah doank S-1, S-2, HUH! S-krim lebih tepat! Bloon semuanya…”

“Yun…”

“KAMU MASIH DI SINI?” Yunita tiba-tiba berbalik, berkacak pinggang menatap Kristal gahar. “KELUAR SANA! BIKIN SUMPEK AJA! KELUA—“

“EH, GENTONG NASI! YANG SOPAN KALAU NGOMONG!” bentak Kristal tidak kalah galak, membuat Mono yang menguping lewat ponsel terjungkal dari kursi. “KIRAIN KAMU SIAPA DI SINI? BOSS GEDE? KAMU JUGA KARYAWAN! TAHU DIRI DIKIT DONK!”

 Yunita melotot sejadi-jadinya. “BODI KAYAK PENGGARIS AJA BELAGU! GUE TIBAN MATI LOE!”

“MAJU SINI, BUNTELAN KAPAS!”

“SAPU LIDI!”

“DORAEMON BUNTING!”

“EH? HELLO KITTY ANOREKSI!”
“KSATRIA BAJA HITAM MUDIK!”
“HAH?!” Dari suaranya kentara Yunita mulai bingung. Apalagi melihat Kristal malah beranjak merapihkan alat tulis yang berserakan di meja kerjanya. Apa-apaan…?
“Duduk, Yun.” Kristal menunjuk kursi dengan gerakan dagunya. Ekspresi wajahnya santai tapi dingin.
Kehabisan akal menghadapi lawan yang lebih psikopat darinya, Yunita akhirnya menyerah. Untuk beberapa lamanya tidak ada yang bersuara. Di luar, saking khawatirnya, Mono sudah hampir memerintahkan security mendobrak masuk ketika didengarnya Kristal membuka mulut.
“Jadi?”
Yunita menghela napas panjang. Sedetik kemudian sebuah buku rekening mendarat tepat di depan Kristal, membuat alis gadis itu terangkat sebelah. Yunita membuang muka. Namun dari gesturnya kentara ia ingin Kristal membuka buku tersebut. Jari-jari Kristal dengan cepat membuka lembar demi lembar, terus ke halaman paling belakang… di mana tercetak angka 1.000.000.000 rupiah. Di bagian kredit dan debet. Matanya melotot mengamati figur terakhir… rekening si pegirim nampak familiar… mengamati wajah Yunita yang sendu… bolak-balik sampai terbentuk skenario sendiri di benaknya.
“Yun,” Kristal berkata hati-hati. “Satu milyar ini kamu transfer ke mana?”
“ENAK AJA!” maki Yunita, menangkap makna sesungguhnya di balik pertanyaan itu. “Jangan nuduh orang sembarangan ya!”
“Oke kalau begitu.” Hilang sabar, Kristal melemparkan buku rekening itu kembali ke pemiliknya. Ia berdiri dan menumpukan kedua lengannya pada pinggiran meja kuat-kuat. “Ibu Yunita Lestari, Anda punya waktu 1 menit untuk menjelaskan apa duduk masalahnya atau saya akan kembali ke ruangan saya dan men-dial nomor terlarang demi melaporkan tingkah aneh Anda kepada Big Boss. Silakan pilih.
Sejenak kedua kaum hawa itu saling pandang, adu kuat mental. Sepersekian detik sebelum Kristal berbalik meninggalkan ruangan, Yunita bercerita sambli manyun,”Uang itu ditransfer Pak Jim ke rekeningku kira-kira 3 bulan yang lalu.”
“Harusnya uang itu langsung ditransfer ke Mr. Robert, tahu kan? Salah satu klien besar kita?” Yunita melanjutkan setelah Kristal mengangguk. “Tapi nggak tahu gimana, transaksi tertunda, dan Pak Jim bilang, sudah titip saja di rekeningmu dulu, Yun, gitu…. Tunda punya tunda, tahu-tahu sampai sekarang.”
“Hmmm…” Kristal mengetuk-ngetukkan jarinya ke meja, berharap Mono menangkap semua pembicaraan ini. Ia tidak mau dituduh terlibat konspirasi kalau betul ada apa-apa. Otaknya berputar cepat. “Bunganya?”
Yunita membalik halaman buku rekeningnya. “Ini, ini, dan ini.” Ditatapnya Kristal penuh arti.
Kristal memandang Yuyun tidak mengerti. “Pak Jim titip dana di rekening kamu and bunganya dia tidak minta balik. Jadi apa masalahnya? Yun? Yun?”
Kedua alisnya terangkat melihat rekannya tiba-tiba menangis. Meraung lebih tepatnya. Ia mengembuskan napas. Sambil menyodorkan tisu, ia bertekad serius menagih hutang satu ini ke Mono. Ia paling malas meladeni sisi emosional orang. Psikiater di Jakarta banyak. Dan semua dibayar per jam. Kenapa nggak kasih mereka gawean?
“Minta kopi,” perintah Kristal via intercom. “Dua. Yang satu manis. Cepat!”
Di bawah pengaruh kopi, Yunita mulai membuka diri. Bagaimana rasanya ketiban rejeki gratis. Bisa beli-beli barang-barang yang nggak perlu-perlu amat tapi pingin, simply karena ada dana tambahan nangkring di rekeningnya tiap bulan. Bisa kasih kado kejutan buat keluarga. Biarpun kecil tapi bikin suami senang, anak senang, dan diri sendiri apalagi.
“Yang bikin aku paling hepi bukan itu, Ta. Tapi ilusi kalau aku punya uang sebanyak itu. Tiap kali aku buka buku rekening, hola! ada tambahan 10 digit di situ,” jelas Yunita sambil menyusut hidung. “Pertama biasa saja, cuek. Toh bukan baru kali ini Pak Jim transfer dana via rekeningku Tapi kali ini tuh duit nggak langsung ilang kan. Jadi lama-lama aku sedikit norak. Lama-lama lagi….”
“Lama-lama lagi berasa hak milik,” sambung Kristal, memainkan cangkir kopi di tangannya. Yunita mengangguk kuat-kuat. Senang ada yang mengerti perasaannya. “Dan begitu diminta balik kamu merasa kehilangan. Terus karena nggak tahu gimana mengatasi perasaanmu, kamu menumpahkannya ke seluruh penghuni kantor ini, terutama anak buahmu, yang saat ini mungkin sedang barengan menulis surat resign.
Yunita mendengus. Meski sungkannya mulai muncul, ia membela diri. “Habis rasanya gimana ya, Ta. Tiba-tiba kayak ada lubang besar di sini. Sengsara rasanya.” Ia menunjuk dadanya. Kristal melengos, berusaha tidak memandangi bagian dada temannya yang sudah amat sangat menonjol itu.
“Untuk sesaat berasa jadi jutawan,” gumam Yunita kepada diri sendiri, bertopang dagu. “Dan untuk sesaat merasa nggak punya masalah karena punya uang segitu banyak. As if  gue tinggal tarik aja tuh duit kalau butuh. Hahaha… Padahal duit duit siapa….”
“Dan hari ini reality check,” tandas Kristal tanpa ampun, membuat temannya tertawa garing.
Keheningan mengisi ruangan. Yunita mulai salah tingkah. Karakternya yang memang jarang bisa diam lebih dari setengah menit merasa jengah. Mulutnya kembali mengoceh sendiri. “Kamu pasti mikir aku aneh ya? Bukan duit sendiri kok ditangisi, udah kayak dirampok aja…”
Terdengar bunyi kursi berdecit. Kristal bangkit dan menepuk punggung tangan Yunita. “You’ll be fine,” ujarnya singkat sambil berlalu. “You’ll be just fine.
Di luar Kristal berpapasan dengan Mono yang mengacungkan jempol dan mengangguk singkat. Masalah dianggap selesai. Anak-anak kantor yang menguping dengan seksama kembali sibuk pada pekerjaannya masing-masing. Lega tentunya. Sisa hari pun berjalan normal. Godzila berhasil dijinakkan.
Malamnya. “Diam saja?” Mono memperhatikan wajah gadis di sampingnya. Mereka sedang menunggu lift pulang kantor. Melihat Kristal tidak bergeming, ia mencoba memancing. “Heh. Kebayang nggak. Semua chaos hari ini cuma gara-gara begituan.” Mereka berjalan beriringan menuju tempat parkir. “Dasar manusia. Selalu pingin apa yang dia nggak punya. Seringnya lupa mensyukuri apa yang dia sudah punya.”
“Kamu baik-baik saja?” Tidak tahan, Mono kembali menegaskan ketika mereka sampai ke mobil Kristal. “Bener, nggak papa? Aku tinggal nih?”
“Bawel. Sana.” Kristal mengibaskan tangannya. “Nanti dilihat pacarmu kamu berdiri di samping jendelaku gini, dikira ngapain. Terus tahu-tahu ngelabrak ke kantor. Enough drama, ya No!”
Mengamati Mono yang berjalan menjauh, Kristal menstarter mobilnya. Tapi ia tidak segera pergi. Pikirannya masih tertuju pada Yunita dan satu milyarnya. Semua orang menganggap Yunita konyol, termasuk Mono. Tapi sebenarnya apa yang konyol dari sebuah keinginan memiliki apa yang tidak dimiliki? Bukannya justru karena itu dinamai ‘keinginan’? Kalau sudah terpenuhi namanya bukan keinginan lagi toh?
Ketika melewati lobi, sekilas Kristal melihat Yunita yang dijemput suami dan anaknya. Sambil menggendong dan menciumi anak tercinta, Yunita membiarkan pinggangnya dirangkul sang suami dan berjalan bersama menuju parkiran. Kristal membunyikan klakson dan membalas lambaian tangan mereka sebelum mobilnya berbaur dengan kendaraan lain, menambah populasi kemacetan ibu kota.
Terhenti di lampu merah, Kristal memandang lurus ke depan. Bayangan Yunita bersama suami dan anaknya bermain di kaca mobil seperti sebuah film. Sejenak raut wajah gadis itu berubah, seakan-akan mendambakan sesuatu., kemudian ia terkekeh sendiri. “Kamu benar, No,” gumamnya sambil mengubah tongkat persneling ke D. “Manusia selalu mengingini apa yang tidak ia miliki.”
Ketika lampu kuning akhirnya berubah hijau, Kristal menginjak pedal gas, menabrak dan membuyarkan ilusi di hadapannya tanpa keraguan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

SANGAT DIANJURKAN untuk saling mengapresiasi atau mengkritik tulisan satu sama lain. Kita sama-sama belajar ya!