Oleh: Priscila Stevanni (@priscilstevanni)
Gia turun dari taksi, tidak peduli dengan hujan deras yang mengguyur, ia segera masuk ke dalam rumah sakit. Bau rumah sakit seketika menyeruak ke permukaan, Gia selalu benci rumah sakit. Melalui pandangan yang mengabur oleh air mata, ia menerobos kesibukan di depannya.
Kakinya melangkah ke ruang UGD, satu-satunya kerumunan di sana membuatnya yakin. "Ezra!" Orang-orang di balik tirai itu menoleh. Gia kenal dengan wanita paruh baya yang kini berwajah pias, ia juga kenal dengan gadis kecil berusia sepuluh tahun yang tengah sesegukan, tapi ia tidak peduli dengan semua itu. Segala perhatiannya langsung tercurah pada sesosok tubuh yang kini terbaring kaku.
Gia tidak dapat mempercayai penglihatannya sendiri. Pagi tadi ia masih bercanda dengan cowok itu, menghirup aroma tubuhnya, mendengar tawanya, dan mengomentari candaannya yang tidak lucu. Bahkan dua jam yang lalu ia masih dapat merasakan genggaman protektif Ezra dengan sorot teduh di kedua matanya.
Gia membekap mulut, berusaha menelan histerianya sendiri saat berdiri di sebelah kekasihnya. Tidak ada lagi semangat sehangat matahari yang terpancar pada wajah itu, tidak ada lagi senyum lembut yang sanggup menenangkannya. Gia ingin sekali meneriakinya agar bangun, tapi ia hanya dapat mundur, meninggalkan visual yang sangat ingin dilupakannya.
Gia menarik memorinya ke beberapa jam yang lalu, saat terik matahari menemani adu mulut mereka yang sengit, satu-satunya masa yang ingin diulang dan diubahnya.
*
"Kamu bohong!" Gia menantang kedua manik mata Ezra,"Kemarin kamu bilang nggak ada acara hari ini. Terus sekarang kamu nggak mau pulang bareng?!"
"Bukannya nggak mau, Gi. Aku nggak bisa. Ada latihan futsal," Ezra menjelaskan dengan nada sabar namun tak terbantahkan.
"Kamu nggak main di belakang aku kan?"
Ezra tertawa kecil mendengarnya sambil mengacak-acak rambut Gia,"Kamu nggak percaya sama aku?"
"Abisnya kemarin sama tadi pas istirahat aku liat kamu ngobrol akrab banget sama Saski," Gia tahu Ezra memang populer, tapi entah kenapa melihat Ezra berdua dengan Saski, teman sebangku Gia dan kapten dance membuatnya sesak.
"Gia. Please, kita udah jalan berapa lama sih? Kenapa kamu nggak bisa percaya sama aku?" sorot mata Ezra terlihat sedih. Sakit.
Gia tidak mau dipandangi seperti itu, tapi egonya berkata lain, apalagi Ezra sama sekali tidak menyangkalnya. "Aku mau pulang," Gia memalingkan muka kemudian berlalu.
"Gia," Genggaman tegas Ezra membuatnya berhenti, namun ia segera menghentakkannya.
*
Gia menangis tanpa suara di ruang tunggu UGD sambil mengulang-ulang kata maaf entah untuk yang keberapa ratus kali. Andai ia tidak bertingkah tadi siang, Ezra pasti tidak perlu menyusulnya ke rumah. Ia lalu mengeluarkan ponselnya. Tujuh pesan suara masuk ke sana. Gia memutar rekaman tersebut satu persatu.
"Halo? Gia? Maaf ya yang tadi"
"Gia, aku bener-bener minta maaf. Aku yang salah. Maafin ya."
"Gia, aku minta maaf. Please angkat telponnya."
"Gia, kamu di mana? Kenapa telepon aku nggak diangkat-angkat? Kamu masih marah? Maaf ya."
"Gia, kamu baik-baik aja kan? Udah sampai rumah? Please jangan bikin aku khawatir".
"Gia, kalau kamu nggak angkat telepon aku lagi, aku ke bakal ke rumah kamu".
"Gi, aku ke rumah kamu sekarang".
Gia memutar rekaman suara Ezra berulang-ulang, kata-kata terakhir Ezra sebelum peristiwa naas itu terjadi. Tak lama kemudian sebuah pesan masuk ke ponselnya. Dari Saski. 'Gi, elo udah liat tas lo? Tadi Ezra nitip gue masukin sesuatu ke situ'.
Setengah penasaran Gia mencari-cari dalam tasnya. Ia lalu menemukan sebuah kotak kecil berwarna pink yang diikat dengan pita. Gia membuka kotak tersebut, di dalamnya terdapat sebuah kunci. Ia kenal betul kunci itu dari lambang MU yang menjadi gantungannya-- kunci loker Ezra.
Gia bangkit dari duduknya, dengan segenap kekuatan yang tersisa ia memanggil taksi menuju sekolah. Setelah berdebat sebentar dengan satpam yang sudah mau menutup gerbang, akhirnya ia dapat masuk. Tanpa beristirahat ia segera berlari menyusuri koridor lantai dua, hingga ia berhenti di loker yang bertuliskan nama Ezra dengan tulisan super berantakan. Buru-buru dibukanya loker itu, dan alangkah terkejutnya Gia saat mendapati isinya. Bagian dalam loker itu cantik, dipenuhi hiasan mawar putih, kontras sekali dengan yang biasa dilihatnya, di mana segala buku pasti tumpah ruah begitu pintunya dibuka. Entah bagaimana Ezra melakukannya, tapi pasti membutuhkan kesabaran tingkat tinggi untuk menghias loker ini.
Sebuah undangan dan boneka beruang menjadi pusat dari semua ornamen di dalamnya. Gia mengenali undangan itu sebagai undangan prom yang akan diadakan dua bulan lagi. Ia lalu mengambil boneka beruang berjas hitam yang diletakkan di belakangnya. Gia menekan bagian tangan beruang itu, dimana sebuah label memerintahkannya untuk berbuat demikian.
"Want to go with me?" Suara Ezra terdengar lembut dari dalam boneka itu. Mendengarnya, Gia hanya bisa terduduk lemas. Ia tidak dapat lagi membendung air matanya.
Dihadapannya, di tengah siraman cahaya senja ia seakan dapat melihat sosok Ezra yang tersenyum dengan rambut dan seragam acak-acakannya, ia juga dapat melihat dirinya berdansa dengan Ezra dalam pesta terakhir mereka, tapi lalu kelebatan peristiwa tadi siang dan tubuh kaku Ezra membuyarkan segalanya.
Gia memejamkan mata, menekan rasa sakit yang menjalari hatinya. Ia tidak akan bertemu dengan Ezra lagi besok, tidak akan dapat menyentuhnya lagi, merasakan sensasi kupu-kupu di perutnya tatkala menatap cowok itu. Ia sudah kehilangan bagian terpenting dari hatinya, yang tersisa kini hanya kenangan, dan delapan rekaman suara terakhir Ezra yang hanya untuknya. Gia mendekap boneka beruangnya, lalu menjawab dalam isak, penyesalan, dan kesungguhan,"Aku mau, Ezra".
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
SANGAT DIANJURKAN untuk saling mengapresiasi atau mengkritik tulisan satu sama lain. Kita sama-sama belajar ya!