Oleh Ignatius Edwin (@theflyinghand)
Aku diam.
Diam sejadi-jadinya.
Aku telah menjelaskan sebaik-baiknya dihadapannya, tapi yang dilakukannya hanya makan nasi goreng yang ada di meja. Dia tidak menggubrisku sedikitpun. Mendelik pun tidak. Matanya melotot seperti serigala kelaparan mencari mangsa. Mangsa selanjutnya mungkin aku sendiri?
Malam itu sengaja kusuruh dia datang ke restoran ini untuk membicarakan hubungan kami berdua yang tidak jelas. Aku mau pergi dari hadapannya dan tidak kembali lagi. Maksudnya begitu, tapi...
“Edwin, nanti saja,” katanya, “Kita makan dulu.”
Dipikirnya aku ini apa? Seonggok sampah yang tinggal dibuang? Dasar perempuan yang sok jual mahal. Dia pasti tahu mengapa aku mengajaknya kesini. Restoran ini adalah tempat aku pertama kali mengajaknya kencan, dan restoran ini jugalah yang akan menjadi saksi kalau hubungan kami berakhir. Tak itu saja. Aku yang memulainya, dan aku juga yang akan mengakhirinya.
Aku mencoba menahan kesal. Dibawah meja aku mengepal-ngepalkan tanganku dengan keras, sementara dia makan bak putri kerajaan. Aku berusaha untuk tidak marah. Memang aku mengerti kalau dia memang ingin makan, tapi setidaknya beri tanggapan, sedikit saja! Apapun itu! Mau mengerutkan dahi, mau membanting meja, silakan, apa saja! Yang penting hargai aku yang duduk di depannya, menjelaskan dan menguraikan satu demi persatu apa yang terjadi dengan hubungan kami! Apa dia tidak bisa untuk mengerti hal itu?
Mukaku merah padam. Mulutku menyeruput jus jeruk di gelas. Kat tetap melanjutkan makannya seperti tidak ada apa-apa diantara kami. Makin aku melihatnya makin aku jengkel. Aku pusing menghadapinya. Aku mengusap-ngusap dahi, mencoba menandakan sesuatu pada Kat agar dia memberikan tanggapan atas ucapanku. Dia punya dua telinga, dan seharusnya dia mendengarkanku walaupun itu sedikit saja!
Dia sepertinya tahu kalau aku makin kesal walaupun aku tidak menyadari apa saja yang telah aku lakukan di depannya. Dia jawab satu kata, kali ini agak kencang suaranya, “Nanti.”
Nanti. Itu kata-kata andalannya. Ketika di telepon, ketika aku mengajaknya keluar, pasti dia selalu mengatakan kata itu. ‘Nanti ya Edwin, gue tanya bonyok gue dulu.’ ‘Nanti ya Win, gue mau keluar.’ ‘Nanti ya.’ ‘Nanti, itu urusan belakangan.’ Mau sampai kapan dia bilang nanti, nanti, dan nanti kepada semua orang sampai aku sendiri merodok* dibuatnya?
Kuambil secarik kertas. Aku tidak tahan lagi. Kalau dia tidak mau mendengarkan ucapanku, dia pasti mau membaca tulisanku. Selama ini kami berhubungan dengan menggunakan SMS. Kukerahkan segala pikiranku untuk menulis apapun yang akan dia mengerti dengan cepat. Aku tahu kalau aku mengatakan yang sesungguhnya, dia pasti akan membenciku. Aku berusaha dengan cara yang sehalus-halusnya aku bisa lakukan.
Akhirnya aku menulis sebuah puisi.
Telinga berkonsentrasi, telinga meradang.
Mata melotot, mata memerah.
Jam berdetak. Nadi berdenyut. Nada terdengar, tangan beraksi.
Kesedihan, kesenangan, semuanya bercampur di hati.
Tidak peduli terhadap sekitar lagi.
Nada memenuhi ruangan,
suara memecahkan keheningan,
denting memekakkan telinga,
tangan menyayat tuts,
kepala badan diam tegak,
tidak peduli terhadap sekitar lagi.
Seorang perempuan bertepuk tangan,
tapi tak dapat terdengar,
dia tersenyum,
tapi tak terlihat,
dia mendatanginya,
tapi tak terpedulikan,
tangan menghentak kencang,
tidak peduli terhadap sekitar lagi.
Di akhir permainan,
perempuan itu pergi,
masih tetap tersenyum bahagia.
Maka keheningan terpecah,
hati menjadi remuk, merasa rindu dendam
dia melihat sebentar,
menyembunyikan senyuman kecilnya,
akhirnya dia benar-benar tidak peduli,
walaupun di hatinya telah tergores sebuah catatan
Tidak peduli terhadap sekitar lagi,
membawa perasaan pergi,
dia kembali ke balik panggung, dan takkan kembali lagi.
Sampai akhir hayat menanti.
Setelah aku menuliskan hal itu, aku menjadi tenang dan kesabaranku kembali kepadaku, dan akhirnya Kat selesai menghabiskan makanan di depannya. Dia menarik kertas yang kutulis. Sambil memainkan tusuk gigi dia melihat-lihat puisi itu.
“Mau putus, ya,” katanya dengan lembut.
Astaga, dia kesambet kali. Kat yang kukenal adalah seorang yang tegas dan tidak malu-malu seperti ini. Kenapa dia bertanya lagi tentang hal yang tidak penting seperti itu?
Tepat di belakang kursiku ada sebuah piano. Kalau ada palu yang besar dan kesadaranku sudah hilang gara-gara sikapnya itu, akan kubanting-banting piano itu. Lagi-lagi aku salah menduga.
“Mainkan sebuah lagu untukku,” katanya, “Lagu yang pernah kau mainkan saat kita masih di SMP, Nothing’s Gonna Change My Love For You.”
Lagu itu...lagu yang pernah kunyanyikan di depan kelas waktu ujian praktek Kesenian. Mengapa tiba-tiba dia memintaku hal itu? Tapi aku tidak menanggapi pertanyaan itu. Aku tahu maksudnya aku datang kesini. Aku tidak akan memakan seluruh kata-katanya. Aku punya prinsip. Aku tidak akan kalah dari Kat. Meskipun demikian, kumainkan lagu itu di piano, kusentuh tiap senar dengan permainan pianoku agar dentingnya terdengar jernih. Itu mungkin permintaan terakhirnya.
Semua orang bertepuk tangan setelah kudengarkan denting terakhir. Kat tersenyum, dan dia menuju padaku. Di tangannya ada puisi yang kutulis tadi saat aku kesal, ada secarik kertas lagi dan aku tidak tahu apa isinya, dan sebuah coklat Silver Queen. Dia menaruh semua itu diatas tutupan piano, dan dia melambaikan tangannya, masih tersenyum, dan keluar dari restoran. Aku hanya bisa tertegun melihat hal itu. Banyak orang ramai dan aku tidak bisa sembarangan berteriak kesana-kemari. Hanya ada satu hal yang dapat kulakukan : melihat apa pemberian Kat. Apa itu tulisannya dan dia setuju kalau kita berdua putus? Atau dia mau menuliskan hal lain seperti ketidakpeduliannya?
Kita berdua memang aneh, ‘berbicara’ dalam cara-cara yang tak lazim. Mungkin karena kita berdua adalah penulis. Kat penulis berita, sedangkan aku sendiri adalah penulis novel. Kebanyakan tulisan kami dapat berbicara sendiri dengan sendirinya.
Akhirnya aku berhasil meraih kertas itu. Dia membalas puisiku.
Aku kembali.
Aku kembali setelah dua tahun lamanya aku tidak menulis di sini.
Aku kembali, setelah kulempar puisi ini ke tong sampah dua tahun yang lalu.
Aku kembali, setelah tangisanku mengalir.
Aku kembali, dan tidak akan pernah pergi lagi.
Aku tahu ini kenyataan yang tidak dapat diubah lagi.
Aku tahu kalau perasaanku tidak membohongiku.
Selama bertahun-tahun ini dia menghilang dan tidak pernah bertemu.
Dia menghilang dalam semu.
Sementara aku hanya duduk di sini diam tak mutu.
Ini adalah ceritaku yang terakhir.
Mungkin.
Hanya untuk hari ini saja.
Besok,
siapa tahu?
Mungkin aku sudah terbawa ombak.
Mungkin aku sudah berada di tempat nan jauh dimana orang tak dapat menjangkauku.
Mungkin aku mati.
Mungkin aku, mungkin, diam saja di tempat dan menulis lagi.
siapa tahu?
Dia,
yang akan kusebutkan,
mungkin pergi jauh.
mungkin akan menikah dengan orang lain.
mungkin menghidupinya dirinya sendiri.
mungkin hidup sendiri sebagai pendoa, dan mati di usia tua.
mungkin, dan masih mungkin dia akan menatap pada puisi ini dan diam saja sama sepertiku.
siapa tahu?
Sepanjang hari aku ingat dengannya.
Tidak peduli waktunya kapan,
baik saat itu aku berumur belasan, atau waktu aku latihan.
bahkan saat aku sendiri,
tetap saja dia ada,
bahkan sempat saat ku kesal karena sesuatu,
dia tetap ada,
menggetarkan hati nuraniku yang kosong,
mencoba menggoyahkan isi pikiranku.
walau ku tetap teguh,
dia seperti sisi lain dariku,
tapi mempunyai fisik dan sewaktu-waktu dapat menghanyutkan.
Saat puisi ini kutulis,
waktu ini,
aku beranjak dewasa.
bersekolah, menjalani kehidupan seperti biasa.
melawan tantangan setiap harinya.
Puisi ini terburai dari pikiranku terhadapnya.
Aku mau menceritakan,
lihatlah, dan telitilah,
apakah memang ini kenyataan atau khayalanku saja?
Mendekati ambang kegilaan,
dalam satu menit mungkin kuhentakkan piano dalam tempo 150 beats per minute tanpa henti.
Kalau bicara keras, dan nadanya suka memaksa.
Kalau dia setinggi tiang, aku hanya beberapa sentimeter di bawahnya.
Matanya lebar.
Suka menggunakan sepatu olahraga.
Sangat bersemangat.
Kemanapun dia pergi.
Dulu sering bertemu,
kemudian jadi saling membenci,
lalu sekarang tidak tahu.
siapa yang tahu?
hanya kami berdua yang tahu.
sebab tidak ada yang akan tahu,
lagian juga tidak ada yang mau tahu.
terus kenapa dibicarakan?
Akan aku katakan, hanya sebuah selingan.
Pria itu matanya lebar.
Dulu dia diam seperti besi,
tapi sekarang dia tegar dan keras seperti baja.
Sempat kupikir laki-laki ini gila juga.
Tapi dari kegilaannya itu malah kami berteman.
Edwin, mungkin kau tidak ingat denganku. Tapi aku ingat denganmu.
Edwin, mungkin kau tidak tahu perasaanku. Tapi kau harus tahu perasaanku yang sesungguhnya.
Edwin, mungkin kau tidak peduli padaku. Tapi kau harus tahu kalau aku peduli padamu...
...jadi kau harus mencariku lagi, dan aku akan mencarimu, sampai kita bertemu lagi.
Pandanganku kosong melihat puisi itu.
Aku baru ingat kalau saat pertama kali aku melamarnya, aku melakukan hal yang sama : memberikan sebuah puisi dan sebuah coklat batang Silver Queen. Aku ingin mengejarnya. Aku ingin minta maaf. Tapi dia pergi, dan tidak akan kembali, karena aku memakan sifatnya mentah-mentah, bukannya saling pengertian satu sama lain.
Malam itu aku kesal. Kesal pada diriku sendiri. Kesal pada diri yang hanya melihat sebatas pada pandangan mata dan pikiran saja. Kesal pada diri yang tidak menggunakan perasaan selama ini. Aku minta maaf padamu, Kat. Aku sungguh ingin meminta maaf padamu. Tidak seharusnya aku menyingkirkanmu dalam kehidupanku.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
SANGAT DIANJURKAN untuk saling mengapresiasi atau mengkritik tulisan satu sama lain. Kita sama-sama belajar ya!