Peringatan keras: setiap karya yang dimuat di Writing Session dilindungi UU hak cipta & penjiplakan pada karya tersebut memiliki sanksi!

Minggu, 21 Agustus 2011

Perdana ke Mall

Oleh : Rahmi Afzhi W. (@Afzhi_)

Lagi-lagi, cewek yang merangkap sebagai sahabatku ini membujukku.
“Des, ayo dong! Temenin aku ke mall hari ini. Nanti aku beliin
baksonya Mbak Mus deh!” Aku tak mau menyia-nyiakan kesempatan ini. Aku
tidak pernah mau menolak tawaran untuk menikmati bakso terenak dari
semua bakso yang pernah singgah di perutku ini.
“Hmmm… Baiklah! BTW, tumben banget, Lin?”
“Kemaren dikasih duit sama tanteku.”
“Maksudku bukan itu. Tapi, tumben kamu mau berfoya-foya!” Aku sedikit
menekan kata berfoya-foya. Karena bukan Lina namanya kalau mau diajak
belanja apalagi ke mall. Pernah dia mengatakan padaku, sepanjang
hayatnya belum pernah kakinya menginjak yang namanya lantai mall
karena harganya mahal dan sama saja dengan berfoya-foya.
Aku tidak bisa membayangkan Lina yang perhitungan dengan uang itu
belanja di mall. Belanja di pasar tradisional saja, dia sering kena
terompet tahun baru alias kena omel oleh para pedagang. Bagaimana
tidak, sayur bayam seikat yang harganya Rp2.000,- dia tawar menjadi
Rp300,-. Kalau pedagangnya tidak mau ditawar, dia malah mengumpat
sepanjang jalan. Mentraktirku makan bakso Mbak Mus hanya satu kali
sebulan. Itu pun ketika akhir bulan disebabkan sisa uang jajan yang
telah dihematnya dengan begitu hemat selama satu bulan.
Pernah waktu pertama kali jajan di warung baksonya Mbak Mus. Lina
malah marah-marah di depan wanita setengah baya itu. Mbak Mus tidak
mau menerima tawaran dari Lina untuk menurunkan biaya makan kami hari
itu. Harga semangkok bakso adalah Rp 6.000,-. Kalau makannya dua
mangkok tentu menjadi Rp12.000,-. Tapi, Lina yang saat itu niatnya mau
mentraktirku malah menawar dengan harga Rp6.000,- per dua mangkok.
Akhir berakhir cerita, makan bakso hari itu menggunakan sistem BSS
alias Bayar Sendiri-Sendiri.
Namun, ada juga keuntungan pelitnya Lina. Di saat uang saku perbulan
yang diberikan Bunda sudah menipis padahal tanggal satu masih lama,
maka aku akan meminta saran dari Lina. Tentu dia bisa memberikan
cara-cara jitu penghematannya.
“Ini bukan berfoya-foya. Tapi harga diri!” jawab Lina beberapa saat kemudian.
“Harga diri?”
“Iya! Harga diri di depan Halim!”
“Kok Halim?”
“Soalnya, kata si Wendy teman dekatnya si Halim, Halim itu suka sama
cewek yang belanjanya ke mall. Bukan ke pasar becek.”
“Hahahahaha,” aku tertawa lebar. Selebar mulut harimau. Untuk yang
kesekian kalinya Lina dibohongi Wendy. Sudah jelas-jelas Halim itu
nggak suka banget sama Lina yang pelit. Terbukti setiap Lina tersenyum
kepadanya, dia malah mengepalkan tinjunya kepada Lina. Tapi Lina masih
saja mengejar-ngejar. Walau pun aku sering mengingatkan bahwa Halim
benci padanya, tetap saja dia tak percaya. Wendy yang doyan sama uang,
memanfaatkan pepatah ‘Mengambil kesempatan dalam kesempitan’ selalu
memberikan info-info nggak jelas tentang Halim kepada Lina dengan
hasil dia dibayar oleh Lina. Tentunya dengan bayaran yang murah Rp
500,- per info.
*
“Besok ke mall. Ye! Baru sekali ini lho. Hehehehe.” Inilah status
facebook Lina malam ini. Terdapat beberapa komentar di bawahnya. Ada
yang bilang norak, katrok, jadul, dan nggak gaul. Tapi ada pula yang
menganggap bahwa itu adalah lelucon dari Lina. Sebuah status
lucu-lucuan agar orang-orang kasih jempol buat statusnya. Terlihat
dari sebuah komentar yang mengatakan, “Becanda aja lo. Bilang aja
pengen eksis dan banyak yang like. Ya kan?” Aku hanya bisa
geleng-geleng kepala sambil tersenyum kecil membacanya.
“Wah! Mall itu gede ya Des!” ujar Lina saat memasuki gerbang mall
esok siangnya.
“Ya iyalah! Kamu kira lobang semut, kecil. Makanya rajin-rajin melihat
dunia dong. Jangan hemat duit mulu yang dipikirin.”
“Emang liat dunia caranya gimana? Pake teropong ya?”
“Argh!” Dasar loading lama. Sebel deh kalo ngomong sama dia.
*
“Kok mahal banget ya, Des? Jepitan rambut ini kalo di warungnya Pak
Rohim Cuma Rp1500,- sepasang. Lha ini Rp5.000,- sepasang.”
“Liat dulu dong. Kan lebih berkualitas dan lebih bagus.”
“Kan fungsinya sama. Eh sepatu ini harganya berapa ya? Hah
Rp250.000,-? Terlalu.”
“Mahal,” aku melanjutkan perkataan Lina.
“Eh, aku ke toilet dulu ya. Jangan kemana-mana,” lanjutku.
“Sip.”
*
Keluar dari toilet, bukannya menemukan Lina di tempat aku
meninggalkannya tadi, malah aku melihatnya sedang adu mulut dengan
seorang kasir. Aku mendekati mereka.
“ Katanya diskon 75%. Masa harganya masih beratus-ratus ribu begitu?”

“ Harga aslinya kan Rp500.000,-, Dek. Jadinya harga baju itu Rp
175.000,-, ujar kakak kasir itu dengan halus.
“Nggak bisa gitu dong. Rp35.000,- aja mbak.”
“Disini nggak bisa ditawar, dek.”
“Di pasar tradisional aja bisa. Masa di pasar modern kaya ini gak
bisa.” Perdebatan itu berlanjut dan berakhir dengan Lina ditarik
satpam mall ke luar. Aku malu melihatnya. Dia begitu liar.
Malamnya aku melihat sebuah kiriman di dinding facebooknya Lina.
“Gimana ke mallnya? Seru? Wkwkwk. Itu dari Wendy. Dan kulihat balasan
dari Lina. “Seru dari Hongkong!”. Sejenak aku tertawa kecil mengingat
peristiwa tadi siang. Dan juga ketika Lina menolakku mentah-mentah
saat menagih janjinya untuk mentraktirku makan bakso.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

SANGAT DIANJURKAN untuk saling mengapresiasi atau mengkritik tulisan satu sama lain. Kita sama-sama belajar ya!