Oleh Katherina Liandy (@KatherinaLiandy)
“Cha, sorry banget nih. Kayaknya, aku ga bisa dinner sama kamu malam ini. Ada rapat mendadak nih. Lusa nanti, aku janji, aku ga akan batalin lagi dinner kita. Sekali lagi, sorry banget ya, Cha. L”
Lagi, lagi, dan lagi. Kenapa kamu selalu membatalkan janji sih, Dim? Tanyaku dalam hati.
Ya, aku memang wanita yang bodoh. Seharusnya, sudah dari dulu, aku berpisah dengannya. Berpisah? Kenapa? Ya, karena dia selalu membuatku makan hati untuk kesekian kalinya. Mulai dari janji nonton bersama, belajar bersama, sampai janji untuk merayakan hari kami jadian saja dibatalkan olehnya.
Seharusnya, malam ini adalah malam yang indah buat kami. Akan tetapi, semua pupus begitu saja disaat Dimas ‘seenak jidatnya’ membatalkan janjidinner kami –untuk merayakan hari jadi kami pacaran atau istilahnya anniversary- dengan alasan yang sangat klasik, rapat senat mendadak.
Lucunya, dia bukan telepon lalu meminta maaf dengan nada yang sangat menyesal. Dia hanya membatalkan janji melalui pesan singkat. Tidak hanya itu saja, dia juga tidak mengucapkan sedikit katapun mengenai anniversary kami. Ya ampun, sebenarnya dia pacaran sama siapa sih? Aku yang merupakan kekasih setianya yang sudah menemani ia selama tiga tahun? Atau anggota senat yang baru dikenalnya selama hampir dua tahun sejak ia menjabat menjadi ketua senat?
Untuk kedua kalinya, aku harus makan malam dengan menu yang sama di malam anniversary yaitu HATI! Iya, aku MAKAN HATI lagi untuk kesekian kalinya.
Vicha.. Vicha.. Kok kamu mau sih untuk makan hati lagi untuk kesekian kalinya?
Masih segar dalam ingatanku ketika Dimas pertama kali menyatakan perasaan sebenarnya padaku. Ya, Dimas mengucapkan kata ‘sayang’ dengan mimik yang sangat serius di kafe ini. Kafe yang menjadi saksi bisu kisah kami.
“Cha, aku...” Dimas tidak berani memandangku.
“Aku apa sih, Dim?” tanyaku sambil terheran-heran melihat muka Dimas yang sudah tidak ‘tengil’ seperti biasanya.
“Aku... Aku sayang sama kamu, Cha.” Dimas memegang tanganku dengan erat dan tentunya pandangan matanya membuatku meleleh seketika.
Apa? Dimas bilang sayang sama aku? Ini mimpi atau imajinasi sesaat nih?
“Cha...”
“Cha...”
Dimas menepuk lenganku. Seketika perasaan dimana aku sedang terbang ke langit ketujuh sambil ditemani cupid-cupid layaknya iklan suatu merek kopi di TV terhenti.
“Cha, kok kamu diam sih? Apa jangan-jangan kamu ga sayang sama aku?” tanya Dimas yang sudah mulai cemas dan takut kalau perasaannya tidak sehati denganku.
“Dim, aku.. aku ga nyangka aja kalo kamu ternyata....”
Sudah tiga tahun lamanya, Dimas menyatakan perasaan itu di kafe ini. Dimas, yang biasanya selalu membuatku tertawa renyah dengan lelucon-leluconnya, mampu menjadi pribadi yang sangat serius kalau berurusan dengan cinta.
Akan tetapi, semua perhatiannya yang semula tercurahkan untukku seketika terbagi menjadi dua. Senat dan aku. Awalnya, aku tidak keberatan sama sekali kalau dia sibuk menjadi ketua senat. Siapa sih yang tidak bangga dengan status ‘ceweknya ketua senat’? Semua wanita pasti iri denganku. Iri melihat aku, seorang wanita beruntung yang berhasil merebut hati sang ketua senat dengan senyuman yang melting itu.
Sayangnya, itu tidak bertahan lama. Rasa iri yang kerap kali dialami mahasiswi-mahasiswi di kampus –baik mahasiswi baru atau lama- tidak membuatku bangga lagi. Untuk apa bangga, kalau pacar kita sendiri menomorduakan kita setelah organisasi senat? Justru, aku yang iri melihat anggota senat –yang tentunya berjenis kelamin wanita- ‘kenyang’ melihat Dimas berkeliaran di ruang senat kampusku.
“Maaf mbak, apa sekarang anda mau memesan makanan?” sapa waiter dengan nada yang ramah.
“Ehmm... Saya... Saya ga tau mesan apa.” Jawabku dengan nada pasrah. Pasrah karena lagi-lagi harus ‘menelan pil pahit’ untuk kedua kalinya di malamanniversary.
“Bagaimana kalau anda melihat terlebih dahulu buku menu?” tanya waiter sambil menyodorkan buku menu.
“Ehm, enak makan apa ya?” balasku sambil acuh tak acuh melihat buku menu. Pikiranku masih melayang-layang pada sosok Dimas.
“Bagaimana kalau anda mencoba menu baru kami?” Waiter tersebut menunjuk salah satu foto makanan di buku menu tersebut.
Wild Mushroom and Chicken Pasta.
Pasta? Ehm, boleh juga. Lagipula pastanya menggiurkan sekali. Apalagi ditambah potongan jamur, keju, dan saus pasta. Wah, sepertinya enak. Cocok juga untuk suasana hati yang kacau balau seperti ini. Yah, lebih enak mengusir rasa kecewa dengan makan pasta, daripada harus makan hati lagi?
“Ya sudah, saya pesan Wild Mushroom and Chicken Pasta sama Ice Lemon Tea saja.” Kataku sambil menunjuk foto Wild Mushroom and Chicken Pasta yang menggiurkan itu.
“Ada lagi?” Waiter tersebut masih menawarkan menu dessert yang juga tak kalah menggoda rasa laparku.
“Ga deh mas, saya pesen yang tadi saja.” Jawabku sambil menolak halus tawaran waiter itu.
“Baik, Wild Mushroom and Chicken Pasta satu, Ice lemon Tea juga satu. Mohon tunggu sebentar ya mbak.” Balas waiter tersebut sebelum meninggalkan mejaku.
Ya, sepertinya pilihanku tepat. Pilihan yang tepat untuk mengobati rasa kecewaku pada Dimas. Pasta yang ditamburi dengan keju dan jamur, serta diselimuti saus pasta. Lezat sekali pastinya. Yah, walau harus ‘makan hati’ untuk memakan pasta seenak itu seorang diri tanpa kehadiran Dimas. Dimas... Ah, pikiranku kembali melayang..
“Maaf, mbak. Ini Wild Mushroom and Chicken dan Ice Lemon Tea sudah siap. Selamat menikmati.” Kata-kata waiter tersebut menyadarkanku untuk kembali alam nyata dari alam memoriku bersama Dimas dulu.
Tak lama, Wild Mushroom and Chicken Pasta dan Ice Lemon Tea langsung tersaji di hadapanku. Wow, bau aroma pasta yang berpadu dengan aroma jamur dan ayam sungguh lezat. Mencium aromanya saja sudah dapat merasakan lezatnya pasta ini. Apalagi melihat taburan keju yang cheesy banget. Sungguh menggoda mata, hidung, dan mulut untuk mencicipi pasta yang lezat dan yummy ini.
Dimas, kamu pasti menyesal tidak dinner bersamaku malam ini. Salah sendiri, kenapa kamu lebih suka meluangkan waktumu bersama anggota senat yang centil-centil itu dibandingkan aku. Andai, kamu memilih aku, kita pasti bisa menikmati pasta yang lezat ini. Ah, terus saja seperti ini. Lagi-lagi, aku selalu membayangkan Dimas menyesal membatalkan janjinya. Akan tetapi, selalu saja, Dimas tidak merasakan penyesalan seperti yang kuharapkan. Benar-benar, aku dibuat makan hati karena Dimas. Kenapa ya, aku tidak bisa berpisah dengannya walau ia terus membuatku makan hati seperti ini? Kenapa?
Aku terus memakan pasta yang kupesan tadi sesekali meminum lemon tea. Sebenarnya, aku ingin merasakan kelezatan pasta itu, tapi rasa kekesalanku terhadap Dimas terus membayangiku. Sampai akhirnya...
Apa ini? Kenapa ada benda aneh ada di dalam pastaku? Benda apa ini? Tunggu.. Benda ini... Apa? CINCIN? Ada apa dengan kafe ini? Bagaimana bisa koki kafe begitu ceroboh menaruh cincin di dalam pasta yang mereka sajikan untuk tamu? Tidak habis semua tanyaku, hingga akhirnya aku memutuskan untuk memanggil waiter. Tiba-tiba...
“Kamu pasti kaget kan, pas nemuin cincin itu di pasta kamu?” Bisik seorang pria di telingaku.
Tunggu, aku.. aku kenal dengan suara ini!
“Cincin itu cincin yang pernah dipakai oleh ibuku pada saat ibuku bertunangan dengan ayahku.”
Tidak salah lagi dia pasti...
“Maaf ya, kalau aku tadi bohong sama kamu. Aku sengaja merencanakan ini semua cuma buat kamu.”
DIMAS!!!!!
Aku segera menoleh mukaku ke belakang. Benar dugaanku.. Kali ini, mataku beradu dengan matanya.
“Happy Anniversary, dear. I love you so much..” Suara yang lembut itu, benar-benar membuatku melting seketika.
“I Love you too, Dimas...”
Tidak selamanya, makan hati itu tidak enak ya?
-FIN-
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
SANGAT DIANJURKAN untuk saling mengapresiasi atau mengkritik tulisan satu sama lain. Kita sama-sama belajar ya!