Fiiuuh, selesai sudah akhirnya aku menuliskan segala suatu yang selama ini terpendam. Kubaca ulang semua tulisan tanganku. Walau tak rapi, tapi aku yakin siapapun yang membacanya kelak akan mengerti apa yang kumaksudkan dalam surat ini. Isinya tak panjang, hanya terdiri atas beberapa paragraf yang mewakili permintaan maafku.
Kulipat surat itu, lalu kuselipkan di dalam kantong piyama unguku. Aku pun menaiki kursi dan memandangi sekeliling kamar pribadiku. Kamar yang telah kuhuni selama belasan tahun. Kuhela nafas, kumantapkan hati. Aku yakin ini adalah jalan terbaik untukku, keluargaku, dan untuk calon suamiku. Tanpa ragu aku mengalungkan leherku dengan tali rafia yang telah kubeli dua hari yang lalu. Rafia merah, warna favoritku. Kukaitkan rafia tadi dengan plafon kayu yang telah kujebol eternitnya. Aku kencangkan ikatannya. Tak kuasa menetes air bening dari kedua pelupuk mata. Ya ini air mata terakhirku. Ku pejamkan mata. Bismillah, kutendang kursi yang kugunakan sebagai pijakan. Rasa sesak langsung terasa. Sakit. Tapi itu tak lama, hanya dalam hitungan menit aku langsung merasa jiwaku melayang. Menatap jasadku yang tergantung di kamarku sendiri. Jasad yang mengandung sosok mungil tak berdosa.
Dua jam kemudian, aku mendengar suara ketukan di pintu kayu itu. Dibarengi dengan suara lembut ibu.
“Nduk, lagi ngapain kamu? Ayo dahar sek,” Ujar ibu dengan logat jawanya yang medok.
Tak ada jawaban.
Ibu mencoba membuka handle pintu. Tapi gagal.
“Nduk, turu toh kamu? Kok lawangne dikunci toh?,” terdengar nada cemas dari wanita berambut putih itu.
Ia pun kembali mengetuk pintu. Namun tetap tak ada jawaban. Dan kembali hening.
Tak selang berapa lama, terdengar lagi suara ibu. Kali ini ia tak sendiri. Ada suara lelaki yang kukenal. Ya, itu suara Arman, kakak lelakiku.
Arman mencoba untuk membuka paksa pintu kamarku. Dia mendobraknya!
Sontak ibu menjerit. Ia terperanjat melihat jasadku tergantung. Ia menghampiriku. Menangis.
Arman tak kalah shock. Ia jatuh terduduk. Walau ia tak sehisteris ibu, namun aku dapat melihat segurat kesedihan dalam tatapannya.
Sejurus kemudian, Arman mendekati ibu. ia memeluk ibu. menenangkan sebisanya.
Setelah ibu sudah cukup tenang, ia mencoba untuk menurunkanku dan membaringkan tubuh mungilku di lantai yang dingin. Disentuhnya nadi tanganku. Tak berdenyut. Ya aku sudah mati!
Entah mendapat bisikan dari mana, Arman merogoh kantong piyamaku. Dan ia menemukan kertas kecil berisi pesan terakhirku. Ia pun membimbing ibu untuk bersama membacanya.
Teruntuk Ibu yang sangat aku hormati,
Ibu, maafkan aku. Sedikitpun aku tak bermaksud untuk mengecewakan Ibu. Aku melakukan ini untuk menghindarkan Ibu dan keluarga besar kita dari aib yang akan membuat Ibu malu pernah melahirkan anak seperti aku.
Ibu, tolong jangan salahkan siapapun. Ini murni salahku. Aku yang tak mampu menjaga diri. Aku yang tak mampu menjaga kesucianku. Aku yang tak mendengarkan larangan Ibu untuk tidak keluar malam dengan gaun hitam itu. Hingga memancing segerombolan pemuda yang sedang mabuk memaksaku untuk melayani nafsunya. Mereka terlalu banyak dan kuat hingga aku tak bisa melawan mereka menggilirku. Aku hamil bu!
Aku malu. Aku malu pada Ibu, pada Ayah, pada keluarga besar kita. Terutama pada Bram, calon suamiku.
Mungkin dengan kepergian aku dan bayi ini, akan membuat Ibu dan yang lain terhindar dari aib yang super memalukan.
Tolong sampaikan permintaan maafku untuk Bram. Katakan padanya aku sangat mencintainya.
Peluk Cium,
Amanda
Selesai membaca pesan terakhirku. tangisan ibu pun kembali pecah. Mengutuki kepergianku pada malam kelabu itu.
Maafkan Amanda Ibu…
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
SANGAT DIANJURKAN untuk saling mengapresiasi atau mengkritik tulisan satu sama lain. Kita sama-sama belajar ya!