Peringatan keras: setiap karya yang dimuat di Writing Session dilindungi UU hak cipta & penjiplakan pada karya tersebut memiliki sanksi!

Kamis, 25 Agustus 2011

Kain Bersulam Emas



Oleh @momo_DM

Kain merah bersulam emas tergerai menemani malam temaram. Menjuntai ujungnya hampir menyentuh lantai. Tersapu ujung sepatu mengkilat, sedikit tersibak. Sepatu merah mengintip dari balik renda di tepinya. Hak tinggi menghias betis jenjang, ujungnya mengetuk getar hati seorang pria bersepatu mengkilat yang duduk di hadapannya. Aku.

Kain merah bersulam emas itu masih terdiam. Sesekali emas berpendar terbias cahaya lilin. Gemerlap dalam gelap. Sesekali bayangan lilin bergoyang di permukaan kuah bening akibat degup sebuah perasaan grogi. Perasaanku.

Perasaanku terasa sakit seperti beberapa kerat daging yang ditusuk sebilah bambu. Hanya aromanya saja yang berbeda. Aku beraroma wangi sekedarnya, daging itu wangi menggoda. Tiba-tiba ada yang menggelegak saat kata terucap dari bibir di seberang meja.

"Kok diam saja? Ayo dong dimulai."

Aku tergagap dalam kata-kata lembutnya. Kupaksakan mengukir senyum di bibir pucatku. Rasa ini memang tak bisa kubohongi. Aku terpesona. Bukan saja pada tatap matanya, tapi juga pada semua yang tersaji di hadapanku. Semuanya menggugah selera. Sesaat saja.

***

Kumainkan lagi sebuah lagu di kafe itu. Lagu terakhir sebelum aku beranjak dari ingatanku. Kulihat kain bersulam emas itu sendiri, tanpa ada satu pun yang tersaji. Semua telah kulahap bersama kenanganku bersama gadis itu. Malam saat semua sajian berpindah ke saluran pencernaanku dan memberikan nutrisi bagi makhluk kecil yang bersarang dalam lambungku. Dulu, sebelum gadis itu tahu siapa sebenarnya diriku.

Hatiku bergetar saat tiba-tiba saat kursi itu tak lagi kosong. Bukan satu, tetapi dua. Hampir saja syair lagu tak sampai pada nada tertingginya. Kucoba menguasai hati pada pemandangan di depanku. Kulanjutkan nada-nada lagu itu dari hatiku.

Gadis itu, gadisku dulu. Hidangan itu, hidangan untukku dulu. Kini aku hanya bisa menelan ludah dalam luka hati. Semuanya memang terhidang bukan untukku. Aromanya hanyalah cerita pilu. Warna buatannya hanyalah kisah sendu. Kain bersulam emas kini bertambah satu emasnya. Cincin di jari manisnya yang membuatku makan hati.

"Randy, ayo kita ke kafe sebelah," ajak temanku menyadarkan lamunanku.

Aku tersadar dan melangkah bersama Rino, temanku mengamen setiap malam di kafe itu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

SANGAT DIANJURKAN untuk saling mengapresiasi atau mengkritik tulisan satu sama lain. Kita sama-sama belajar ya!