Oleh: Tyas We ( @deboratyaswe )
“Mau jadi apa kamu!? Ayah membesarkan kamu bukan untuk mengerjakan pekerjaan perempuan!” seorang pria berusia hampir kepala lima berteriak dengan marah. Kedua tangannya mengepal, matanya memancarkan amarah yang luar biasa.
Sementara itu yang menjadi sasaran kemarahan hanya diam aja walaupun ia sedang berusaha menahan emosinya agar tidak meledak. Baginya, api tidak boleh dibalas dengan api. Setelah menghela napas panjang, ia angkat bicara.
“Saya bukan ingin melawan Ayah, tapi saya juga punya cita-cita. Saya punya tujuan hidup sendiri, Yah.”
“Cita-cita!? Yang seperti itu kamu sebut cita-cita!? Itu pekerjaan perempuan dan pembantu rumah tangga!” Nada suara pria itu kembali meninggi.
“Ayah, sudahlah… Sam sudah besar, biarkan dia menentukan pilihannya sendiri.” seorang wanita paruh baya, mengusap-usap punggung pria itu.
Pria yang disebut ‘ayah’ itu mendengus, lalu ia menatap objek kemarahannya. “Jika pilihannya salah, kita tidak bisa diam saja!” lalu ia bangkit dari duduknya dan masuk kedalam ruangan di sebelah ruang keluarga.
“Sam, Ayahmu lagi marah besar. Kamu iyakan saja dulu kata-katanya.”
“Iya, bu….”
*
Samuel – biasa dipanggil Sam, baru saja lulus SMA beberapa hari yang lalu. Ia sudah diterima di salah satu perguruan tinggi negeri ternama jurusan teknik pertambangan. Sebuah jurusan yang ‘sangat laki-laki’ bukan? Sejak dulu, Sam dipersiapkan untuk menjadi penerus di perusahaan pertambangan batu bara milik ayahnya. Ibarat kerbau dicucuk hidungnya, selama ini Sam selalu mengikuti kemauan ayahnya. Padahal ia sama sekali tidak berminat untuk belajar pertambangan. Sam beribu kali lebih tertarik untuk…… memasak.
Sam bukanlah laki-laki kemayu, tetapi ia sangat mencintai dunia kuliner. Ia gemar memasak. Awalnya ia hanya merasa senang menonton acara memasak di televisi dan melihat ibunya memasak makanan enak di dapur. Hingga pada suatu hari neneknya mengajak Sam untuk mengunjungi dapur sebuah restoran terkenal di Jakarta. Melihat hingar bingar dapur dan orang-orang yang lalu lalang dengan sibuknya, membuat Sam tertarik untuk menjadi seorang koki.
Kecintaannya pada memasak membuat bakatnya di bidang ini tumbuh dengan sendirinya. Hanya dengan mencicipi sedikit saja, ia mampu membuat ulang masakan itu dengan rasa yang dua kali lipat lebih lezat.
Memasak mempunyai magical tersendiri bagi Sam. Ketika ia berada di dapur untuk meracik bumbu, menumis bahan, menggoreng, memanggang, ketika ia sibuk di dapur, Sam merasa menyatu dengan dunianya, ia merasa luar biasa bahagia. Dan adalah suatu kepuasan tersendiri ketika melihat wajah-wajah senang setelah memakan makanan hasil masakannya.
*
“Jadi kuliah dimana lo, Sam?” Tanya Agga, sahabat sekaligus teman satu kelas Sam.
“Pertambangan.” Jawab Sam singkat.
Dahi Agga berkerut, “Kagak jadi masak-masak?”
Sam menggeleng dan tersenyum sinis. “Kagak. Bokap gue mana ngizinin.”
“Bukannya itu cita-cita lo dari dulu?”
“I have no choice, Ga.”
“Percuma kalo lo sukses setelah kuliah pertambangan dan lo kerja di bidang yang sama tapi lo nggak suka. You have to love what you do.”
Sam terdiam, tetapi ia sudah memastikan bahwa ia tidak punya pilihan. Ia tidak bisa menjadikan ‘memasak’ sebagai suatu cita-cita. Mungkin memasak tak akan lebih dari sekedar hobi saja, sebagai pembunuh waktu luang.
*
Ayah Sam tersenyum senang ketika melihat anaknya menjadi mahasiswa pertambangan. Sam mengalah, ia menuruti kemauan Ayahnya. Ia mencoba melupakan impiannya untuk menjadi koki, untuk memasak.
Tahun pertama sebagai mahasiswa, Sam melewatinya dengan baik dengan IPK tidak pernah kurang dari 3,6. Begitu juga dengan tahun kedua, ia bahkan nyaris menyentuh angka sempurna jika tidak mendapatkan nilai B di satu mata kuliah. Sesuatu yang cukup hebat untuk jurusan Teknik Pertambangan. Tapi hati Sam tidak berada disana, hatinya masih tertinggal di dapur, sedang memasak. Dua tahun kuliah, ia masih belum bisa melupakan cita-citanya itu.
Pada liburan semester genap, Sam mendapat sebuah kabar dari Agga. Agga yang bekerja di sebuah stasiun televisi, menawari Sam untuk ikut audisi. Salah satu program di stasiun televisi itu membutuhkan seorang koki untuk membawakan acara masak memasak. Sam yang belum memiliki pengalaman bekerja di restoran manapun merasa ragu untuk mengikutinya. Tetapi Agga terus berusaha meyakinkan Sam.
Akhirnya Sam setuju mengikuti audisi itu, tetapi tanpa sepengetahuan orangtuanya.
*
Proses audisinya cukup panjang, saingannya sangat berat. Bahkan ada salah satu koki yang pernah memasak untuk keluarga kerajaan di Arab Saudi.
Tetapi jika kita yakin, kita pasti bisa. Sam berhasil membuat juri terpukau dengan hasil kreasi masakannya. Ketika tahap akhir audisi, Sam diminta untuk menggabungkan masakan Eropa dengan Asia. Alangkah bahagianya Sam ketika melihat raut senang yang tergambarkan di wajah para juri ketika mencicipi spaghetti saus padang buatannya. Suatu masakan yang terdengar aneh, tetapi di tangan Sam keanehan itu menjadi sebuah keunikan rasa.
“Menurut lo gimana, Ga?” Sam menyodorkan sebuah map biru pada Agga. Didalamnya selembar kopian surat kontrak. Surat kontrak yang asli ada di produser acara.
“Take that!” Agga kembali menyerahkan dokumen itu pada Sam. “It’s a big opportunity. This is the way to prove that cooking can give you bright future.”
“Yeah, maybe you’re right!”
*
Sam yang lolos audisi menjadi koki sekaligus presenter di sebuah acara masak memasak, dikontrak enam bulan oleh stasiun televisi. Beberapa minggu lalu ia sudah mulai syuting, dan siang ini acaranya akan ditayangkan di layar kaca. Ayah dan Ibu Sam belum tahu jika anaknya kini menjadi seorang koki dan tampil di layar kaca.
Sam ingin sekali memberitahu kedua orangtuanya perihal ini. Tetapi apa yang akan dikatakan ayahnya jika tahu anak laki-lakinya yang kuliah pertambangan kini memasak. Ia bimbang. Dengan berat hati, ia mengambil telepon genggamnya di meja lalu memencet nomor telepon ibunya. Lebih baik jika kedua orang tuanya tidak tahu hal ini dari orang lain.
“Halo Sam, ada apa Nak?” terdengar suara lembut seorang perempuan diseberang.
“Ibu dan Ayah, nanti jam duabelas lihat TV ya. Lihat saya…”
*
“Apa-apaan kamu!? Kamu mau bikin malu ayah?!!” Ayah Sam menggebrak meja. Ia menatap tajam anaknya yang duduk berhadapan dengannya.
“Saya cuma mau buktikan pada Ayah bahwa cita-cita saya tidak memalukan.” Jawab Sam datar.
Ayah Sam berdiri, dengan tangan kiri bertolak pinggang dan tangan kanan menunjuk wajah Sam. “Tidak memalukan katamu?! Ayah tidak habis pikir! Apa yang bisa kamu banggakan dari memasak!?”
“Saya baru saja memulainya, Yah. Tapi saya yakin bisa membuat Ayah dan Ibu bangga dengan profesi saya.” Jawab Sam datar.
Ayahnya tidak bergeming, ia masih saja berdiri ditempatnya dengan kedua tangan terlipat di dada. Sam bangkit dari duduknya, kemudian ia berlutut di hadapan ayahnya.
“Saya sudah ambil cuti kuliah dua semester, Yah..”
“Kamu ini……” dada ayahnya naik turun, menandakan kemarahannya sudah sangat diambang batas. Sebelum ia melanjutkan kalimatnya, Sam sudah kembali berbicara.
“Saya mohon pada Ayah, beri saya waktu satu tahun untuk membuktikan bahwa saya bisa sukses dengan hal yang saya sukai. Tapi jika saya gagal, saya akan kembali ke jalan yang Ayah tentukan.”
Ayahnya tidak menjawab, ia berbalik pergi meninggalkan ruang keluarga menuju kamarnya. Kemudian terdengar suara pintu dibanting. Sam masih terdiam dengan posisi berlutut, ia yakin pilihannya tidak salah.
“Ayah pasti butuh waktu, Sam. Sebisa mungkin ibu akan bantu membujuk Ayah..” ucap Ibunya seraya membelai rambut Sam. Sam mengangguk pelan.
*
“Baiklah, Ayah beri kamu kesempatan. Jika sekali ini kamu gagal, jangan harap Ayah akan memberikan kesempatan kedua.”
Sam yang sedari tadi duduk diam dengan perasaan campur aduk, seketika melonjak dari tempat duduknya.
“A… ayah serius?” tanya Sam dengan suara tercekat.
Ayahnya mengangguk. “Jangan buat Ayah berubah pikiran, Sam”
“Ayah, terimakasih banyak..” Sam menyalami ayahnya dan memeluk pria itu.
“Satu lagi, Sam..” Sam menatap Ayahnya. “Jangan pernah memohon kecuali pada Tuhan.”
Sam mengangguk.
*
Enam bulan berlalu. Acara televisi yang dibawakan Sam bisa dibilang sukses, ratingnya tinggi dan bayaran yang diterima Sam cukup fantastis. Kini ia dibayar mahal untuk memasak. Bahkan Ganjar Wijasena, seorang koki senior yang sudah malang melintang di dunia kuliner mengajak Sam bergabung dalam timnya, untuk pergi ke Eropa demi memperkenalkan kuliner Indonesia dalam sebuah acara pameran kebudayaan di London.
Tanpa pikir panjang, Sam mengambil kesempatan itu. Ini adalah kesempatan bagus dan kesempatan tidak akan datang dua kali. Hal ini menjadi titik awal pembuktian Sam pada ayahnya bahwa dengan memasak ia akan membuat Ayah dan Ibunya bangga.
Banyak orang yang menyukai hasil masakan Sam ketika di London. Suatu kehormatan bagi Sam, bahwa perdana menteri Inggris juga menyukai masakannya. Jalan hidup yang digariskan Tuhan memang tidak dapat ditebak. Tak disangka, seorang pemilik restoran nomor satu di Inggris menawarkan Sam untuk bekerja di restorannya. Awalnya Sam ragu menerima tawaran ini, tetapi dukungan teman-teman satu profesinya membuat Sam berpikir untuk menerima tawaran ini. Hanya saja ia belum bicara pada Ayah dan Ibunya.
Ayahnya setuju. Kini hatinya sudah luluh dan mendukung Sam sepenuhnya. Sukses dengan memasak di acara televisi dan bergabung tengan tim Ganjar Wijasena sudah membuat ayahnya bangga, begitu juga dengan ibunya.
Berawal dari mahasiswa pertambangan yang sebenarnya gemar memasak dan ingin menjadi koki, kemudian memasak di sebuah acara televisi, lalu diajak koki senior pergi ke London untuk memasak. Kini Sam sukses menjadi head chef di sebuah restoran nomor satu di Inggris walaupun ia belum pernah belajar memasak secara resmi. Ini sudah cukup membuktikan bahwa kecintaannya pada memasak, membawanya ke masa depan yang cerah.
Sam sangat mencintai pekerjaannya, yaitu memasak.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
SANGAT DIANJURKAN untuk saling mengapresiasi atau mengkritik tulisan satu sama lain. Kita sama-sama belajar ya!