Siang hari itu sangat terik. Daun pepohonan pun tidak ada yang bergerak. Nampaknya angin pun bersembunyi saking teriknya. Terlihat cahaya matahari yang tembus dari balik atap gubuk yang sudah mulai rapuh. Di gubuk itulah, Sari dan kedua anak perempuannya tinggal. Sudah 6 tahun sejak Niman, tulang punggung keluarga itu meninggal karena kecelakaan ketika bekerja sebagai buruh tambang di desa sebelah. Mau tak mau, Sari harus bekerja untuk menyambung hidup keluarganya. Apapun ia kerjakan, mulai dari mencuci pakaian tetangga, sampai membajak sawah. Sejak matahari belum menampakkan diri, Sari sudah keluar rumah untuk mencari apa yang ia bisa kerjakan. Tapi hari itu musim kemarau, tidak ada seorang pun yang mau mempekerjakan Sari. Dia kembali ke gubuknya dengan tangan hampa. Diah, anak suluh Sari melihat raut wajah ibunya begitu penuh arti. Pertanda bahwa hari itu, mereka tak akan makan.
"Bu, apa ga ada sedikit pun?" Diah memegang pundak Sari. Sari hanya bisa menangis dan memeluk Diah.
"Diah masih bisa tahan kok,bu. Tapi kasihan Dian, dia selalu tanya ibu pulang bawa apa"
"Maafin ibu, Diah. Tapi biar adikmu tidur dulu. Siapa tahu nanti agak sore ibu bisa dapet makan. Kamu harus kuat ya"
"Iya bu."
Telinga Diah sudah terbiasa dengan kalimat itu. Dengan penuh harap, Diah berdoa agar hari itu, ibunya bisa mencari pekerjaan.
Matahari mulai sedikit condong, ketika Sari pamit untuk pergi keluar mencari pekerjaan, agar bisa membeli beras. Tidak lama setelah Sari pergi, Dian terbangun.
"Teh, ibu mana?"
"Ibu sedang beli beras. Dian tunggu sebentar ya?"
"Masih lama ga, teh? Perut Dian sakit." Terlihat mata Dian sudah mulai basah.
"Engga kok, Dian sabar ya" Diah memeluk erat adiknya yang mulai menangis.
Sementara sari harus berjalan 4 kilometer sampai akhirnya dia ikut membantu memasak untuk sebuah acara di desa seberang.
"Bu, kalau boleh tau, ini untuk acara apa?" Sari bertanya pada seorang ibu yang tengah sibuk mengaduk masakan.
"Oh, ini acara khitanan, untuk besok, jadi dari sekarang disiapkan makanannya, kebetulan butuh yang bantu-bantu, kan lumayan" ibu itu menjelaskan kepada Sari, bahwa nanti setelah selesai membantu, Sari dijanjikan boleh membawa sedikit makanannya yang ia buat.
"Teh, Dian gakuat, perut Dian sakit" Keluh Dian pada kakanya, sambil terus menangis. Melihat wajah adiknya begitu pucat, Diah hanya memeluknya.
"Kalau begitu kita masak ya. Dian tunggu di sini teteh ambil air dulu ya"
"Emang kita punya apa, teh? Kita mau masak apa?"
"Pokoknya kita makan ya" Dian mencium kening adiknya.
Dian pergi ke belakang gubuk. Dia membawa tungku dan panci. Membawanya ke dalam dan disimpannya di depan adiknya kemudian memeluknya lagi.
"Apa itu teh?"
"Nah, sambil nunggu makanannya mateng, Dian tidur dulu ya" Diah berusaha mengalihkan pertanyaan adiknya. "Nanti teteh bangunin Dian kalau sudah mateng."
"Tapi kan itu batu teh, emangnya bisa dimakan?"
Diah hanya memeluk adiknya yang semakin pucat. Meneteskan air mata.
Diluar sana, Sari berlari cepat kembali ke gubuknya. Dia bisa melihat kedua anaknya makan. Dalam pikirannya saja. Kini dia membawa makanan, senyum nya mulai luntur, ketika dalam digubuknya, Sari hanya mendapati anak bungsunya tidur untuk selamanya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
SANGAT DIANJURKAN untuk saling mengapresiasi atau mengkritik tulisan satu sama lain. Kita sama-sama belajar ya!