By : @iwandegree
“Halo perkenalkan, nama saya Tio dari SMP…”
Aduh! Gawat, sebentar lagi giliranku. Bagaimana ini? Bagaimana ini? Tidaaaaakkkkkkkk!!!
“Berikutnya.”
Kakak senior menyerahkan mic padaku. Berarti ini sudah giliranku dong?
“Ngg… Halo, Ngg… Nama saya… Ngg… Itu, nama saya…”
“Booooooo…..”
Nah! Ini yang paling aku benci dari acara perkenalan. Sorakan dan tatapan menghina dari orang-orang asing. Kenapa harus ada perkenalan? Aku lebih suka sendirian, lebih nyaman, menurutku. Tidak akan ada tatapan menuduh atau konflik-konflik menyebalkan. Dalam prinsip hidupku, aku selalu berusaha menghindari kontak mata dengan orang asing. Aku benci di nilai oleh orang, apalagi oleh orang asing.
“Hey, ayo perkenalkan dirimu.”
Orang disebelah menyenggol pelan pinggangku. Segera aku tersadar sedang berada dimana. Ya, aku sedang berada di acara MOS sekolah. Acara paling menyebalkan dari bagian sekolah ini.
“Ngg nama saya Dio Putra dari SMP 789 Bogor.”
Lega, perasaan itu langsung menjalar ke seluruh tubuh. Akhirnya prosesi perkenalan yang menyebalkan ini selesai juga. Aku menghela napas lega.
***
“Sekarang semua masuk ke kelompok masing-masing dan ikuti instruksi dari pembimbing kalian.”
Ketua OSIS yang entah-siapa-namanya menyuruh kami semua segera bergegas. Ugh..! Aku benci sekali acara ini. Bisa tidak acara ini dipercepat? Kalau bukan karena peraturan kampus, aku pasti tidak akan ikut acara-acara ini. Sejak jaman SMP aku benci sekali organisasi-organisasi seperti ini. Apalagi kalau ada proses kenal-kenalan. Mungkin karena jaman SMP semua mulai berubah. Semakin lama teman-teman kita mulai melihat kita tidak hanya dari dalam, tapi mulai melihat penampilan luar kita. Memegang handphone tipe apa, siapa gandengannya, kesekolah bawa motor apa, mahir di pelajaran apa. Malas sekali rasanya berkenalan dengan orang-orang seperti itu.
“Nah, sekarang coba kalian sebutkan nama kalian sekali lagi satu persatu.”
APA?
Buang-buang waktu saja acara ini. Tadi kan sudah. Sementara orang-orang lain mulai menyebutkan nama, aku kegelisahan sendiri. Keringat dingin mulai menetes dari jidatku. Aduh, kenapa kebiasaan jelek ini tidak bisa hilang? Kenapa Tuhan menciptakan keadaan dimana saat orang merasa gugup mengeluarkan keringat? Kan tidak enak.
“Na-nama saya Di… Dio… Putra.”
Orang disebelahku menahan tawa. Itu orang yang tadi menyenggolku, ternyata kita satu kelompok.
“Eh, kamu kenapa? Gagap ya?”
Matanya menatapku jenaka. Aku memalingkan wajah, pura-pura tidak mendengar omongannya. Mau menghinaku ya? Silahkan saja, aku sudah terbiasa.
“Hei, aku ngajak ngobrol kamu, bukan tembok.”
“Ga kenapa-napa.”
Suaraku kering, aneh rasanya mengobrol dengan orang asing. Orang yang tidak aku kenal.
“Halo, nama saya Ariyo.”
Lelaki bertubuh tambun itu menyodrokan telapak tangannya. Memamerkan giginya yang berkawat. Oh, tipe anak gaul jaman sekarang. Kurang lengkap tanpa kawat gigi alias behel.
“Dio.”
Aku membalas dengan gugup.
“Kamu dari mana?”
“SMP 789.”
“Oh..”
Seharusnya, aku mengajak dia berbicara. Bukankah proses perkenalan seperti ini? Mulanya berbasa-basi kemudian menjadi teman? Tapi aku tidak bisa. Aku tidak biasa dengan proses seperti ini. Aku takut nanti dia mulai menilai cara berbicara ku, apa yang aku punya dan seterusnya.
“Aku dari SMP 386.”
Tanpa diminta dia menjelaskan asal-usulnya.
“Hmm….”
Jawabku pendek. Aku tidak tahu harus berkata apa.
“….”
“….”
Nah ini! Aku benci saat-saat seperti ini. Saat dua orang atau lebih kehabisan bahan pembicaraan. Saat dimana hanya keheningan yang mengisi. Menyeramkan. Itulah yang biasanya terjadi saat aku bertemu dengan orang yang tidak aku kenal.
***
“Si gagap sombong amat ya, tadi gue ajak kenalan bawaanya diem melulu.”
“Lagian lu, udah tau pas perkenalan dia kaya begitu.”
“Gue kasihan aja sih, lagian ga ada salahnya kan kenalan?”
Tubuhku kaku. Ternyata orang-orang asing ini berpikir demikian tentang diriku. Jadi aku dibelakang di panggil si gugup? Aku dikiran anak yang sombong? Dasar orang asing, seenaknya saja menilai diriku. Padahalkan mereka tidak mengenal diriku.
“Huh..”
Hanya itu yang bisa aku lakukan, menghembuskan napas lesu. Memang salahku juga kan? Tidak mau berkenalan dengan mereka. Tidak mau mengenal mereka lebih dekat. Habis mau bagaimana lagi, pikiran negative selalu melandaku ketika bertemu dengan orang asing. Secepat kilat aku berlari ke WC, mencuci muka dan mengutuki diri sendiri.
“Oi, ada orang disitu?”
“Hngg?”
“Eh, kamu yo, ngapain?”
Sial! Kenapa aku harus bertemu si penggosip ini? Aku merutuk dalam hati. Kemudian entah setan apa yang merasuki, sebuah ide meluncur dalam kepalaku.
“Maaf tadi aku diem aja pas kamu ajak ngobrol.”
“Eh?”
“Tadi aku denger pembicaraan kamu sama temen kamu, aku bukan yang seperti yang kalian pikirkan. Aku emang tidak terbiasa sama orang asing.”
Ariyo menghela napas, kemudian menatap kaca kamar mandi sebelum akhirnya berbicara padaku.
“Maafin kita juga, bukan maksud ngomongin kamu, tapi kamu juga aneh, emang ada ya orang yang segitu takutnya kenalan? Enggak pernah peribahasa Tak kenal maka tak sayang?”
Ck, peribahasa itu, sudah sering aku dengar dari orang-orang asing disekitarku.
“Ngg… Begini…”
Entah kenapa, aku menceritakan semua pemikiranku pada orang asing ini. Aku ceritakan kalau aku benci berkenalan karena aku takut dinilai orang. Takut akan pemikiran orang tentang apa yang harus aku punya atau kenakan, tentang bagaimana aku harus berbicara atau bertingkah supaya disenangi orang lain.
“HAHHAHAHA!”
Ariyo tertawa keras. Aku menatapnya dingin. Kenapa tadi aku harus bercerita, pada orang asing pula! Makiku dalam hati.
“Permisi…”
Aku bersiap-siap pergi, dengan muka memerah. Sial, aku benci orang asing.
“Weis, sabar bro! Masa diketawain dikit aja marah. Bukan maksud ngehina, tapi pemikiran kamu itu kaya anak kecil. Masa takut kenalan sama orang karena kaya gitu? Itu rendahan banget tau, emang kamu pikir semua orang kaya gitu?”
“…”
“Kalau belum dicoba, siapa yang tau? Emang kamu pernah nyoba untuk kenal lebih dekat dengan orang asing? Aku rasa kamu terlalu peduli dengan pikiran orang –orang asing, padahal apa pengaruhnya sama kamu? Enggak ada kan.”
DEG!
Perkataan Ariyo tadi menyadarkanku. Kenapa bisa aku berpikiran picik seperti itu? Kenapa aku begitu bodoh, memandang negatif orang lain.
“Lihat aku,” Ariyo menunjuk sendiri tubuhnya. “Gendut, badannya gede atau apalah, tapi pede aja. Kenapa? Karena aku gak peduli sama perkataan orang. Aku nyaman sama diri sendiri. Kenapa kamu begitu peduli sama perkataan orang yang bahkan enggak kamu kenal?”
Mukaku memerah, malu akan ceramah panjang Ariyo. Mungkin karena merasa tidak enak, Ariyo mengehentikan perkataanya.
“Kamu kan sudah besar, lebih baik berpikir dulu sebelum bertindak, oke?”
Aku mengangguk pasrah. Mencerna setiap perkataan Ariyo. Ada benarnya juga, kenapa aku selalu memikirkan perkataan orang.
“Yuk balik ke kantin, masih ada beberapa tugas yang belum di beresin. Entar kita kena hukum senior lagi.”
“Ayo.”
***
Dikantin, aku mencoba mengingat lagi perkataan Ariyo, benar, kenapa aku harus malu berkenalan dengan orang lain? Aku belum pernah mencoba berkenalan dengan teman baru. Ariyo menyapa akrab teman-temannya, disana ada orang yang membicarakan diriku tadi. Aku menghampirinya, tersenyum ramah dan menyodorkan tanganku.
“Halo, nama saya Dio Putra.”
Memang masih canggung, dan keringat dingin masih ada. Tapi kalau tidak kenal, maka kita tidak sayang, kan?