Peringatan keras: setiap karya yang dimuat di Writing Session dilindungi UU hak cipta & penjiplakan pada karya tersebut memiliki sanksi!

Selasa, 05 Juli 2011

BUKAN ALIBI




@eunikeglr


Lampu di kamar ini remang-remang. Tidak tahu berapa wattnya, yang
pasti serangga pun enggan mendekati lampu berwarna kuning itu. Aku
duduk di sebuah kursi kayu yang salah satu kakinya lebih pendek dari
yang lain. Sama sekali tidak nyaman. Heem. Sejak kapan interogasi ada
yang nyaman.

Di ruangan ini hanya ada aku dan perempuan mungil yang sedari tadi
melipat tangannya dan memandangku dengan penuh kecurigaan. Wajahnya
memerah, matanya terbelalak, bibirnya menyeringai. Mengerikan. Bahkan
hampir selama satu jam, dia terus menanyaiku dengan hal yang sama.

“Di mana kamu tadi pagi?”

Apapun jawabanku, dia pasti langsung berteriak.

“BOHONG!!! ALIBI KAMU TIDAK KUAT!!”

Aku jadi serba salah. Aku bicara jujur dibilang pembohong, aku bicara
bohong dibilang penipu. Intinya, interogasi ini tidak berfungsi kalau
dia tidak percaya padaku. Siapa yang mau percaya. Posisiku kan
terdakwa.
10 menit kemudian ruangan masih sunyi senyap. Perempuan itu
mengepalkan tangannya kuat-kuat. Bahkan mungkin aku sampai mendengar
suara kertakan tulang. Aku menelan ludahku. Masakan aku mati di tangan
seorang perempuan?

“Sampai sekali lagi kamu berbohong, jangan harap kamu bisa kembali
lagi ke rumahmu!!”

Perempuan itu mulai mengancam. Aku mencoba mengingat-ingat peristiwa
tadi pagi. Tapi sungguh, yang aku ingat, tadi pagi aku hanya pergi ke
kampus seperti biasa. Tidak ada yang istimewa. Aku bahkan tidak sempat
sarapan pagi karena terlambat. Aku tidak sempat berpamitan pada ayah
ibu. Aku tidak sempat mengisi bensin motorku. Aku tidak sempat
menyalin catatan teman. Kesalahan apa yang sebenarnya aku lakukan.

“Heh!! Matanya jangan kemana-mana dong!! Mau cari alasan apa lagi?!
Sudah terbukti salah kok masih cari-cari alasan,”

Serba salah. Ya ampun, Tuhan, tolong ingatkan aku, kesalahan apa yang
aku buat tadi pagi. Apakah gara-gara aku membunuh cicak di kamar? Aku
tahu, Tuhan, cicak itu ciptaan-Mu. Tapi dia sangat mengangguku.

“Emm, sebenernya apa salahku? Cicak semalam memang mati, tapi kamu
harus tahu kalau cicak itu sudah mengganggu hidupku selama 3 bulan
terakhir,”
Akhirnya aku membuka mulutku, memberanikan bertanya, sebelum cairan
otakku meleleh karena berpikir.
“Cicak, cicak. Bodo amat dengan cicakmu! Memang kamu tidak tahu apa
yang terjadi tadi pagi?!”

Aku menggeleng pelan. Aku tidak berani membalas teriakannya. Kata ibu,
kalau perempuan lagi marah, biarkan saja. Satu jam kemudian pasti
melunak. Tapi, ibu, ini sudah hampir dua jam dan dia masih belum
berubah. Malah makin menggila.

“Ooo. Jadi perlu aku yang bongkar kejahatanmu?”
Aku mengangguk lagi. Lebih pelan dan lambat dari sebelumnya.

“Nggak! Aku nggak akan beberin kejahatan kamu. Kamu harus mengakuinya
sendiri!!”

Perempuan ini sangat menyusahkanku. Sebagai seorang pria normal, mana
aku ingat hal-hal kecil di otak. Volume otakku terlalu besar untuk
diisi hal-hal sepele. Mau sekeras apapun aku berpikir, aku tidak akan
ingat. Tapi apa boleh buat, daripada aku disekap lebih lama. Aku
kembali mengingat-ingat kejadian tadi pagi. Terlambat bangun, lupa
sarapan, lupa pamit, gagal salin catatan, terlambat masuk kelas, kuis
mendadak, makan di kantin sambil memaki-maki dosen. Arrrrggghh. Aku
tidak ingat sama sekali.

Eh, tunggu. Aku ingat. Aku lupa kalau hari ini hari ulang tahun
pacarku. Dengan percaya diri, aku mengeluarkan suara.

“Aku tahu kesalahanku. Aku lupa kalau hari ini hari ulang tahun…..”

“MASIH MINGGU DEPAN!!”

Belum selesai aku menyelesaikan kalimatku. Dia sudah berteriak.
Interogasi ini sama sekali tidak berhasil. Aku melirik jam. Hampir jam
9 malam. Entah kenapa aku lebih memilih mengerjakan segudang tugasku
dibandingkan interogasi ini. Aku tidak punya alasan apa-apa, karena
aku merasa tidak melakukan kesalahan apa-apa.

Kursi kayu ini mulai mengangguku keseimbangan tubuhku. Aku mencoba
berdiri sejenak. Tiba-tiba sebuah ide terlintas di kepalaku. Aku
berdiri, kemudian memeluk perempuan itu. Kemarahannya luntur. Ia
menangis.

“Pertama, aku sudah menunggu kamu dua jam di depan rumah tapi kamu
nggak datang-datang. Kedua, aku telpon handphone kamu, tapi kamu nggak
angkat. Ketiga, sampai sore kamu nggak kasi kabar sama sekali sampai
aku pergi ke rumah kamu dan ternyata kata ibu kamu, kamu baru saja
pergi. Pergi ke mana kamu? Kamu selingkuh ya?! Ayo jawab! Masih perlu
alibi apa lagi?”

Akhirnya dia membeberkan semua kejahatanku. Aku menghela nafas panjang
dan tersenyum kecil. Aku baru ingat. Tadi pagi aku bangun kesiangan.
Aku lupa kalau harus menjemput perempuan mungil ini alias pacarku di
rumahnya. Aku lupa membawa handphone dan aku lupa memberi kabar. Hari
ini benar-benar hari yang sangat sibuk bahkan sampai sore tadi aku
sama sekali tidak berkomunikasi dengannya.

“Maaf. Aku nggak perlu alibi. Aku memang salah. Tapi aku nggak
selingkuh, cuman lupa bawa handphone,”

Selalu berhasil. Pelukan sayang selalu jadi senjata paling ampuh.

“Alibi. Tiap nggak ada kabar pasti alasannya lupa bawa handphone.
Nggak bisa lebih kreatif?”

Aku hanya tersenyum, mengusap air matanya. Perempuan mungil ini masih
terisak, tangan kananku membelai rambutnya sedangkan tangan kiriku
diam-diam aku mengambil handphone dari kantong.

To : Putri
Hari ini dibatalin dulu ya. Si dia lagi marah-marah. See you tomorrow, babe.

MESSAGE SENT

1 komentar:

  1. ^ ^ way to go man. . .
    kemarau setahun hujan sehari. . .

    BalasHapus

SANGAT DIANJURKAN untuk saling mengapresiasi atau mengkritik tulisan satu sama lain. Kita sama-sama belajar ya!