Peringatan keras: setiap karya yang dimuat di Writing Session dilindungi UU hak cipta & penjiplakan pada karya tersebut memiliki sanksi!

Kamis, 25 Agustus 2011

Bayu dan Sekotak Makanan


Oleh: Sintia Astarina (@sintiaastarina)
 
 
Aku melirik jam dinding di kamarku. Menatap jarumnya yang bergerak perlahan. Detik demi detik. Menit demi menit. Sekarang waktu sudah menunjukkan pukul 1 siang. Perutku terasa kerocongan setengah mati. Aku belum makan dari kemarin malam.
“Bi Sariiiii…!!! Makan siangnya udah siap belum, Bi? Aku udah laper banget, nih! Bi Sariiii…!!!” gerutuku dari dalam kamar. Tapi Bi Sari tidak menjawab pertanyaanku. Aku langsung turun menyusuri beberapa anak tangga menuju dapur.
“Bi Sari! Aku panggilin dari tadi kok nggak ada sahutan, sih? Bi, aku udah laper banget, nih. Mana makan siangnya?”
“Eh, haduh Non Felly… Maaf, ini Bi Sari lagi masakkin masakan kesukaan Non Felly. Ditunggu sebentar lagi, ya,” jawab Bi Sari ramah. Aku tidak terlalu memedulikan ucapannya karena aku masih terkonsentrasi pada perutku yang meronta-ronta.
Beberapa menit kemudian, Bi Sari menyajikan 3 menu favoritku. Udah goreng saus mayonaise, ayam goreng dengan bumbu pedas, dan kangkung cah seafood. Aku semakin lapar! Bi Sari memang yang paling tahu tentang makanan kesukaannku. Tanpa pikir panjang, aku segera melahapnya.
“Eh, Non Felly makannya udahan? Kok nggak dihabiskan? Lauknya masih banyak begini. Nggak baik, lho buang-buang makanan. Boleh Bibi simpan terus nanti Bibi panasin lagi kalo misalnya Non Felly mau makan nanti?,” tanya Bi Sari kepadaku ketika aku menyatakan menyerah untuk menghabiskan makanan yang ia sajikan di atas meja.
“Ya ampuuunn, Bi, kalo aku udah kenyang, masa aku harus maksain diri aku buat menghabiskan semua makanan ini? Hemm… Lebih baik dibuang aja, deh Bi. Ntar malem aku mau makan di luar. Udah ya, Bi, aku mau berangkat ke kampus dulu, ada acara di sana. Tolong jaga rumah ya, Bi Sari. Daaahh…” Aku pun berlalu meninggalkan ruang makan. Tanpa aku sadari, Bi Sari memerhatikan kepergianku seraya menggeleng-gelengkan kepalanya.
 
***
 
Sore itu di kampusku sedang ada seminar mengenai hubungan kondisi lingkungan hidup dengan sumber limbah terbesar di dunia. Aku menjadi salah satu panitia dalam penyelenggaraan acara ini. Aku memerhatikan dengan seksama jalannya seminar tersebut. Sedikit banyak aku mengetahui kalau sumber sampah terbesar berasal dari sisa-sisa makanan. Sisa-sisa makanan tersebut kian menumpuk dan pada akhirnya akan mencemari lingkungan kita.
“Eh, Fell!” seseorang mengagetkan dari belakang. Ternyata Vanie, sahabat dekatku di kampus. “Seru banget merhatiin seminarnya? Hehehe. Oh ya, besok kita ada bakti sosial di daerah Jakarta Selatan. Rencananya, kita mau jadi guru sukarelawan dan kita juga mau makan bareng sama anak-anak di sana. Gimana, lo mau ikutan nggak?” tanyanya setengah berbisik.
Aku diam sejenak lalu manggut-manggut sendiri. “Hemm… boleh, tuh. Kebetulan banget gue juga lagi nganggur besok di rumah. Selain kita, siapa lagi yang ikut bakti sosial ini?”
“Ada banyak, kok. Ada Kelvin, Tania, Desy, Krisma, Sindhu, Riri, Ronald, dan masih banyak lagi. Beruntung banget deh kampus ini punya banyak mahasiswa yang jiwa sosialnya tinggi. Ya nggak? Hehehe. Eh iya, lo seriusan nih mau ikut? Ya udah, besok kita kumpul di kampus jem 9 pagi. Jangan telat ya, Fell!”
“Sipp!”
Aku pun kembali mendongkrak kembali rasa antusiasku kepada seminar itu sampai selesai.
 
***
 
Langit cerah menanungi kota Jakarta. Sinar matahari yang begitu terik menyengat hampir menembus permukaan kulit. Jalan raya hari itu menjadi lebih padat dengan berbagai macam kendaraan yang melintasinya. Untungnya, pagi itu aku sudah sampai di kampus. Untung saja aku tidak terlambat. Hari itu aku akan pergi ke daerah Jakarta Selatan untuk melakukan bakti sosial bersama teman-teman satu kampus.
“Oke, guys, kita semua akan dibagi ke dalam 2 kelompok besar. Ini pembagian kelompoknya,” tutur Vanie seraya menyodorkan beberapa lembar kertas putih bertuliskan pembagian kelompok kepada teman-temannya. “Nah, tugas masing-masing kelompok sama, kok. Yang berbeda hanyalah masalah tempat. Kelompok 1 akan ditempatkan di timur dan kelompok 2 ditempatkan di sebelah barat. Semuanya ngerti, kan? Sipp. Yuk mari kita langsung ke TKP! Berangkaaattt!” ujar Vanie begitu semangat.
Perjalanan menuju tempat diadakannya bakti sosial memakan waktu kurang lebih 1,5 jam. Sesampainya di sana, mereka langsung menjalankan tugasnya masing-masing. Aku melihat keadaan di sekelilingku. Terdapat banyak slum area di sini. Rumah-rumah yang tak beraturan seperti ini membuat pemandangan yang sungguh tak karuan, batinku.
“Vin, tolong bantuin Felly ngurusin makanan untuk anak-anak, ya. Hitung jumlahnya dengan benar, jangan sampe ada yang nggak kebagian. Gue sama yang lain mau ngajarin pelajaran Matematika dulu. Oke?” pinta salah satu mahasiswa yang ikut berpartisipasi dalam bakti sosial tersebut. Orang yang dimintai tolong pun mengangguk setuju.
Tak terasa, hari sudah semakin sore. Waktu jam makan siang sudah lewat sekitar satu jam yang lalu. Kami pun memutuskan untuk menyudahi aktivitas belajar-mengajar kami dan beralih pada waktunya mengisi perut yang kosong. Inilah waktu yang ditunggu-tunggu.
“Adik-adik, semuanya baris yang rapih, ya. Kakak-kakak mau ngebagiin makan siang buat kalian. Siapa yang udah laper?” tanya Riri, salah satu mahasiswi yang ikut kegiatan bakti sosial ini.
Suara riuh menghiasi tempat itu. Anak-anak kecil yang merasa kelaparan itu dengan senang hati menerima pemberian makanan. Ternyata, mereka sudha lapar. Aku memerhatikan wajah-wajah polos mereka dan kami pun ikut makan bersama dengan mereka.
“Makannya dihabisin, ya! Nggak boleh ada yang disisain. Oke?” sahut Desy kepada anak-anak yang sedang lahap memakan makanan mereka masing-masing. Mereka semua yang berada di tempat itu memperlihatkan raut wajah bahagia nan puas. Kebersamaan seperti ini memang tidak ada yang bisa menggantikan.
“Kakak, kakak nggak makan?” tanya seorang anak laki-laki berambut keriting itu kepadaku.
“Kakak udah kenyang,” jawabku lalu tersenyum.
“Tapi makanan kakak masih banyak, ya? Kenapa nggak dihabiskan saja?”
Aku menggeleng pelan. “Kamu sendiri kenapa nggak makan? Temen-temen kamu yang lain lagi asyik makan, lho! Kamu nggak ngerasa lapar?”
Anak kecil di sebelahku itu terdiam. Aku melihat wajahnya yang polos dengan seksama. Hatiku tertegun sejenak. Mencoba menerka-nerka apa yang sednag ada di dalam pikirannya.
“Aku nggak mau makan, Kak. Aku mikirin adik-adikku di rumah. Mereka pasti sedang lapar. Aku mau bawa pulang makanan ini ke rumah aja, biar adik-adikku bisa makan enak kaya temen-temen di sini.”
Hatiku mencelos. Kali ini, gantian aku yang mengunci bibirku rapat-rapat. Perkataan anak itu membuat sel-sel di otakku berkerja lebih dari apa yang aku harapkan. Aku mengelus-elus rambut anak itu dan merangkulnya hangat.
Aku merasa senang dengan segala kepunyaan yang aku milikki saat ini. Aku bisa makan enak setiap hari tanpa harus menunggu ada orang yang berbelas kasihan padaku. Aku bisa makan apa saja yang aku mau hanya dengan meminta, lalu Bi Sari akan menyiapkannya segera untukku. Bahkan, terkadang aku merasa semua itu begitu melimpah, sampai-sampai aku harus membuang makanan yang tidak sanggup aku habiskan. Tapi, bagaimana dengan nasib anak kecil di sampingku ini? Batinku mengoyak.
“Adik manis, nama kamu siapa?” tanyaku lembut.
“Nama aku Bayu, Kak.”
“Bayu, Kak Felly masih punya 2 kotak makanan. Ini buat kamu dan adik-adik kamu di rumah. Kamu nggak perlu khawatir kalau mereka akan kelaparan. Nah, sekarang, kita makan bareng yuk! Kamu pasti juga laper, kan?”
Bayu mengangguk mantap. Aku memandanginya dengan penuh rasa haru. Bocah kecil di sampingku ini begitu membuka mataku. Ia tersenyum manis padaku dan aku pun membalas senyumannya.
“Terima kasih, Kak.”

1 komentar:

  1. heyhooo writing session!
    makasih ya tulisanku dimuat lagi di blognya.
    walaupun belum berhasil jadi BOTN hehehe.
    semoga temanya semakin menantang yaaa :DD

    BalasHapus

SANGAT DIANJURKAN untuk saling mengapresiasi atau mengkritik tulisan satu sama lain. Kita sama-sama belajar ya!