Peringatan keras: setiap karya yang dimuat di Writing Session dilindungi UU hak cipta & penjiplakan pada karya tersebut memiliki sanksi!

Minggu, 07 Agustus 2011

Dua Tangis Satu Malam

Oleh: Shelly Ferawati



Ketika malam mulai menyambut
Dan semua saksi berseru secara absolut
Bulan pada senyumannya
Langit pada doanya
Pohon Eboni dalam senandungnya
Gubuk reot, jerami, serta bilik kayu yang turut mendengarkan dan melihat
Menantikan sebuah peristiwa, terpusat pada dunia tempat berpijak
Pada sebuah jendela kayu kuno yang ditutupi tirai butut yang membuat mereka berebut untuk mengintip momen indah ini
Sebuah cahaya membersitkan dirinya, digantikan dengan desiran berbisik, “Ya, inilah      saatnya. Ia menatap dunia.”

Tidak. Tidak sesingkat itu. Harus ada beberapa proses untuk itu. Harus ada beberapa tahap sebelum kehadirannya. Khususnya saat ini, yang kurasa mulai melibatkan seluruh otot tubuhku—beberapa pembukaan sebelum kontraksi pada uterus, merasakan sensasi nyeri karena beberapa tahap persalinan, pengedanan, merasakan adanya keringat, lendir dan darah yang bercucuran, memperjuangkan nyawanya dibanding diriku, menantang maut sekaligus meregangkan nyawa seperti yang dikatakan orang-orang, kelahirannya yang telah terlanjur disaksikan oleh pemandangan malam yang memancarkan atmosfer penantian—yang tak dapat kutunggu-tunggu lagi. Tidak bisa. Aku begitu merindukanmu. Merindukanmu.
Berbagai cara kulakukan demi kelancaran brojolnya si mungil—menarik nafas dalam-dalam agar dapat mengedan sekuat mungkin, berteriak sebisa mungkin karena mulai menyadari bahwa satu-satunya penyemangatku adalah kehadiran dirinya yang kunantikan selama sembilan bulan—jadi aku biarkan malam dengan sayup-sayup samar ini membisikkan bahwa aku akan berhasil, setengah meyakinkan diri bahwa semua akan baik-baik saja mengingat tenagaku mulai terkuras habis mengingat—    
 “Eaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa,” kudengar malaikat kecilku menangis, masih betah berada dalam perut buncitku, kurasa, hingga akhirnya aku menyadari bahwa rasa sakitku memang telah sirna bahkan sesaat setelah aku mendengar tangisan dan jeritan yang dapat kita sebut sebagai sahutan dari panggilan malam yang saat ini malah tersenyum, tertegun menyaksikan kelahiran si mungil yang kini berada di tangan si paraji untuk dibersihkan, menyerukan bahwa ia terlahir dengan sempurna dan berkelamin laki-laki.
Ya, akhirnya, setelah melewati fase-paling-menantang ini, menarik nafas begitu dalam seraya melepaskan harapan pada-Nya sebagai pengganti doa, mengikuti beberapa instruksi si paraji yang secara keseluruhan berlangsung hampir selama dua jam (tentu saja berdasarkan informasi dari si paraji karena aku sudah tidak peduli lagi dengan waktu karena sudah terlalu merasa bahagia sekaligus senang dengan si jabang bayi) namun rasanya waktu berlalu begitu cepat, apalagi rasanya kedua tangan ini sudah sangat ingin memeluk raga sang malaikatku ini.   
Ya, semuanya tersenyum. Pohon eboni beserta daun kayu hitamnya yang menyanyikan lagu kegembiraan dengan nada yang begitu harmoni, langit malam beserta awan tipisnya yang bergerak begitu tenang dan selaras yang dapat kita sebut itu sebagai tarian mereka, bulan yang bersinar dengan cahaya ilahi, desiran angin malam yang sekarang dapat kuhirup dengan tenang, termasuk si paraji yang kurasa turut merasakan yang kurasakan. Semuanya bersyukur, seakan saling menggumam dan tersenyum satu sama lain, berpadu dalam sebuah senandung yang sama, nyanyian yang sama, dan sajak yang sama.
Kecuali aku, yang terbaring lemah di atas kasur kapuk dalam gubuk bututku yang dipenuhi noda—darah, keringat, lendir, juga rasa lelah yang telah memuncak—membuatku merasa begitu rapuh, tak berdaya, dan bahkan tak berintegrasi dengan saksi-saksi lain pada malam ini. Satu-satunya hal yang dapat kulakukan adalah berdoa, lalu tersenyum saat kurasakan air mata haruku jatuh. Tangisanku, tangisannya, malam ini adalah saksinya.
Kemudian aku tersenyum, bangga sekaligus senang luar biasa atas dirinya. Dirinya yang begitu kuat, begitu suci, dan yang tak kalah penting adalah berharga bagiku.
Ya, inilah saatnya kau menatap dunia, Sayang. Biar malam menjagamu, melindungimu dan selalu menjadi saksi dirimu. Pohon eboni tempat kau akan menghirup udara sejuk kapanpun kau mau, bulan yang selalu dapat menjadi penunjuk jalanmu sekaligus penghangat dirimu dari dinginnya udara malam, senandung mereka yang dapat kau dengar dan nyanyikan bersama mereka, serta langit tempat kau akan melihatku.
Selamat datang di dunia, sayang. Semoga dunia dapat menjagamu, karena setiap malam akan membuatmu semakin kuat, semakin tangguh, dan semakin dekat denganku.
Sampai bertemu di surga, sayang. Ibu akan selalu merindukanmu.



080711








2 komentar:

SANGAT DIANJURKAN untuk saling mengapresiasi atau mengkritik tulisan satu sama lain. Kita sama-sama belajar ya!