Peringatan keras: setiap karya yang dimuat di Writing Session dilindungi UU hak cipta & penjiplakan pada karya tersebut memiliki sanksi!

Kamis, 11 Agustus 2011

Foto di Balik Bantal

Oleh: @kaniamehta
www.kaniamehta.blogspot.com


Kirana masuk ke dalam kamarnya dengan terburu-buru. Tidak ia pedulikan panggilan Mama untuk melepas sepatu, tas, atau tetek bengek sekolah lainnya. Semalam ia lupa menyembunyikan foto Andri, yang selalu ia lihat dengan pipi bersemu sebelum tidur, menemaninya terbang ke dalam mimpi indah.
Kirana tidak peduli lagi dengan rok birunya yang lecek dan kotor. Ia segera naik ke tempat tidurnya dan mengecek di bawah bantal sebelah kanan dan kiri. Ah! Ini foto Andri! sejurus kemudian ia terkesiap. Mama pasti lihat! Mama pasti lihat foto ini!
Kirana selalu tidur di bagian kiri kasur. Dan foto Andri selalu berada di bawah bantalnya, tapi kenapa saat ia cek siang ini, fotonya berada di bawah bantal sebelah kanan? Mama pasti lihat!
Dengan kesal Kirana memukul jidatnya sendiri. Ini salahnya! Kenapa ia bisa bangun kesiangan dan lupa menyembunyikan foto keramat ini di balik kamus bahasa inggris, seperti biasanya???
Buru-buru ia mengirim pesan singkat berisi SOS untuk sahabatnya, Rena. Ren, mama lihat foto itu. Gmn dong. Mati gue.
Tidak sampai dua menit Kirana menunggu, Rena sudah membalas. Omg. Kok bs? Gimana dong. Tenang. Jgn panik. Kalo lo panik, nyokap lo pasti curiga. Kabarin gue ya.
Kirana tidak pernah sekalipun membohongi Mama. Semua hal di sekolah pasti diceritakannya pada beliau. Bagaimana mungkin ia bisa menutupi hal ini dari Mama?
Masih sibuk dengan handphone-nya, Kirana tidak menyadari Mama sudah melongok ke dalam kamarnya, “Na, kamu belum ganti baju? Cepat sana! Kita makan siang di bawah,”
Kirana terkesiap. “Iya, Ma. Nana ganti baju dulu,” katanya pelan.
Mama tersenyum dan menutup pintu kamar Kirana. Sambil menuruni tangga Mama tertawa pelan, ia tahu kenapa Kirana tidak tenang sepanjang perjalanan pulang dari sekolah dan kenapa ia langsung berlari menuju kamarnya, bahkan sebelum ia melihat makanan di meja makan, seperti biasanya.
Pagi tadi, sewaktu membereskan kamar Kirana, Mama menemukan foto di bawah bantal. Foto cowok yang Mama pikir cukup ganteng dan terlihat anak yang baik. Mama tahu siapa dia. Andri. “Sahabat” Kirana. Beberapa kali Kirana menceritakan tentangnya. Andri yang baik hati, yang selalu membantu Kirana saat piket di kelas. Sekali atau dua kali Mama juga pernah bertemu dengannya saat pembagian rapor. Dan sepanjang ingatan Mama, ia juga anak yang sopan.
Sepuluh menit Mama memandangi foto itu sambil tersenyum sebelum ia menghubungi Papa dan berbagi cerita tentang anak gadis mereka yang sudah beranjak dewasa. Mama sengaja mengembalikan foto itu ‘tidak pada tempat’nya. Ia hanya ingin tahu bagaimana reaksi anak sematawayangnya pada kejadian ini.
Mama melihat Kirana yang sedang mengambil nasi dengan pandangan ragu. Ia tersenyum, “Bagaimana sekolah, Na?”
Kirana memutar otak. Jangan panik. Jangan panik. “Biasa, Ma. Nggak ada yang special,” Kirana mengambil tempe di hadapannya, matanya tidak memandang Mama.
Mama tersenyum lagi, ia tidak memandang mataku. Kiranaaa…kamu lucu sekali Na. “Rena apa kabarnya, Na? Dia masih sibuk pindah rumah?”
“Oh. Nggak kok, Ma. Pindah rumahnya udah selesai. Sekarang dia jadi jauh yaa rumahnya. Akhir minggu ini Mama mau temenin Nana ke rumah Rena nggak?” hmm.. Mama kayaknya nggak tahu nih. Kalo aku tanya banyak pertanyaan, Mama pasti lupa sama masalah foto kan?
“Sama siapa? Andri juga ikut?” Mama mulai bermain api. Mimik wajah Mama sama sekali tidak berubah.
Kirana terkesiap. Diliriknya Mama dengan ekor mata, Mama masih sibuk mengambil sayur lodeh untuk Kirana dan untuk dirinya sendiri. Jangan panik. Jangan panik. “Andri? Kayaknya enggak, Ma.”
Mama mengambil keputusan dalam hati, jika memang Kirana sudah siap untuk bercerita, maka pasti ia akan bercerita dengan sendirinya. Selama ini Kirana adalah anak yang terbuka. Ia selalu menceritakan ini itu yang terjadi di sekolah. Tentang Andri, Mama nggak akan memaksa Kirana untuk bercerita hari ini. Tapi beliau tahu, siang ini perasaan Kirana sama sekali tidak bebas. Pasti ia takut. Takut ketahuan bahwa ia sudah mulai naksir cowok. Yang Kirana sama sekali tidak tahu, bahwa Mama sama sekali tidak akan marah. Tapi…..
Sepuluh menit Mama dan Kirana sibuk dengan pikiran masing-masing, sampai pada akhirnya Kirana memecah keheningan dengan dentingan sendok yang jatuh ke atas piringnya.
Kirana mulai terisak.
Mama menoleh ke arah Kirana dan langsung memeluknya. Kirana masih terisak. “Maafin.. Na..na.. Ma..”
Mama tersenyum. “Mama tahu, Na. Mama tahu semuanya. Perasaan Nana.” Mama menambahkan pelan. “Kamu suka sama Andri Na?”
Kirana mengangguk, masih terisak kecil, “Mama nggak marah?”
Mama mempererat pelukannya dan berkata pelan. “Mama nggak marah karena kamu menyimpan foto Andri. Mama nggak marah karena kamu.. suka sama Andri. Tapi Mama kecewa karena kamu nggak cerita sama Mama. Mama ini sahabat kamu bukan?”
Kirana mengangguk.
“Gimana kalau kamu membohongi sahabat kamu sendiri? Sahabat kamu pasti sedih. Mama juga begitu. Mama adalah sahabat kamu, Na. Kamu bisa cerita semua hal sama Mama. Apa pun yang kamu beritahu Rena, pastikan Mama juga tahu. Karena Mama juga sahabat kamu.”
Kirana tersenyum, mempererat pelukannya.

2 komentar:

  1. Cerita yang kental dengan nilai moral dan disampaikan dengan begitu manis. Sayang, beberapa kalimat nampak kurang sinkron dengan kalimat berikutnya, sehingga dalam paragraf yang sama beberapa kali ditemukan gagasan utamanya 'lari' atau melenceng.

    Tidakkah anda, penulis, merasa cerita anda agak terlalu terburu-buru? Cobalah baca lagi, meski hanya untuk sejenak. Dengan begitu anda akan mengerti :)


    Terus menulis!

    BalasHapus
  2. > . < can I have that mama?

    BalasHapus

SANGAT DIANJURKAN untuk saling mengapresiasi atau mengkritik tulisan satu sama lain. Kita sama-sama belajar ya!