Peringatan keras: setiap karya yang dimuat di Writing Session dilindungi UU hak cipta & penjiplakan pada karya tersebut memiliki sanksi!

Kamis, 11 Agustus 2011

Foto Menangis

By: Melissa Olivia (@moliviatjia)


Hikaru baru saja menginjak usia 18 tahun. Seorang pengacara datang ke panti asuhan tempatnya tinggal dan memberitahukan bahwa Hikaru berhak mewarisi sebuah rumah yang dulu pernah ditinggali neneknya 10 tahun yang lalu, sebelum beliau meninggal. Rumah itu memang sengaja tidak dijual karena ingin diwariskan padanya saat Hikaru berumur 18 tahun.

Orangtua Hikaru sudah lama tiada karena musibah kebakaran saat Hikaru masih berusia 1 tahun. Sejak saat itu, Hikaru yang berhasil selamat, diasuh oleh neneknya dari pihak ibu. Usia yang semakin senja, membuat sang nenek tak mampu lagi mengasuhnya, ditambah penyakit paru-paru yang menyerang, membuat sang nenek terpaksa menitipkan Hikaru di panti asuhan. Beberapa hari sekali ia masih mampu mengunjungi Hikaru, melihat perkembangannya. Ketika penyakitnya makin parah, nenek tak mampu lagi mengunjunginya. Tiga bulan setelah Hikaru dititipkan, sang nenek meninggal dunia.

Hikaru terkejut bukan kepalang, tak menyangka neneknya akan mewarisinya sebuah rumah. Keesokan harinya, ia bersama pengacaranya mengunjungi rumah itu.

Sepuluh tahun tak berpenghuni membuat rumah itu tak terurus dan tampak angker. Ditambah cuaca tak bersahabat pada hari itu. Kilat dan petir sudah bersahut-sahutan. Rumah itu hanya terdiri dari 1 lantai dan cukup luas, tapi dikitari oleh halaman dengan rumput liar di sekelilingnya. Kebun itu tak ubahnya seperti kebun semak belukar.

"Jangan khawatir, nenekmu juga telah meninggalkan sejumlah uang untuk merenovasi rumah," kata Pak Pengacara sambil tersenyum menenangkan saat mereka tiba di depan pagar.

Memasuki ruang tamu suasana benar-benar terasa mistis. Banyak sarang laba-laba, debu tebal, lantai kotor tak terkira. Kain-kain putih yang menyelimuti beberapa barang sudah hancur digigit serangga. Chandelier kuno di tengah ruangan sudah miring, siap runtuh begitu disenggol sedikit. Perabot-perabot tua dari kayu juga sudah rapuh dimakan rayap. Rumah ini akan butuh biaya perbaikan yang cukup besar agar layak ditinggali.

Memasuki ruang keluarga, Hikaru melihat banyak foto di meja dekat sofa, di buffet nyaris rubuh, dan di sudut ruangan ada meja khusus menaruh foto-foto. Hikaru menghampiri meja tersebut dan mendapati foto-foto sewaktu ibunya masih muda, bersama ayah dan ibunya.

Ada sebuah foto dimana ibunya berhasil memenangkan lomba Marathon se-provinsi, foto saat nenek ulang tahun ke-45, foto ibunya diwisuda, foto saat ayah-ibunya menikah. Ada juga sebuah foto saat dirinya baru lahir, digendong ibu, dikelilingi oleh ayah dan nenek. Hikaru mengambilnya foto berpigura kuningan itu, mengusap lembut kacanya untuk menyingkirkan debu tebal yang melapisinya. Ia tersenyum dan air matanya mengambang di pelupuk mata. Ia sedih tak dapat mengenal kedua orangtuanya, kenangan akan nenek pun sangat sedikit yang masih diingatnya. Tapi, dengan adanya foto-foto ini, kerinduannya sedikit terobati.

Hikaru lanjut menyeberangi ruangan. Di sana masih tergantung foto keluarga ibunya. Foto yang dilukis dengan cat minyak itu masih terlihat cukup jelas walau posisinya sudah miring. Kakek dan nenek duduk dengan anggun, sementara ibu berdiri di tengah. Mengenakan gaun pink panjang khas 70-an dengan hiasan topi berjala kecil di kepalanya.

Hikaru meraih foto itu dan berusaha merapikannya. Tiba-tiba ia tersentak kaget. Ia melihat di foto wajah ibunya ada tetesan air mata yang mengalir. Spontan ia melepas pigura itu dan melangkah mundur hingga menubruk sofa di belakangnya. Tangannya mencengkeram erat sandaran sofa, ia melihat sekeliling, bulu kuduknya meremang, jantungnya berdegup kencang. "Ap-apakah rumah ini ber-berhantu?" batinnya. Ia segera memanggil pengacaranya mendekat.

"Pak Adolfo!" panggilnya nyaris berteriak.

"Ya, Nona. Ada apa?" Pak Adolfo datang tergopoh-gopoh dari dalam dapur.

Beberapa menit sebelum Pak Adolfo tiba di sisinya, mata Hikaru tertumbuk pada langit-langit di atas foto itu berada.
Hikaru mengamati langit-langit itu, pinggirnya sudah terkoyak dan ada tetes-tetes air hujan jatuh mengenai foto lukisan itu.

"Ya ampun! Ternyata cuma air hujan! Bikin kaget saja hufff..." katanya dalam hati. Hikaru menghela napas lega, lalu berdehem untuk menetralisir ketakutannya barusan.

"Kenapa, Nona? Ada yang bisa saya bantu?" Pak Adolfo bertanya.

"Ehemm, begini..." Hikaru menarik napas sesaat, "Berapa dana yang disediakan oleh nenek saya dan kapan kita bisa mulai renovasi?" tanyanya sambil nyengir.

3 komentar:

  1. Pada awal-awal cerita, gaya bahasa nampak terlalu naratif. Teknik narasi memang sangat mendukung untuk tulisan yang bersifat deskriptif, namun ada baiknya narasi diimbangi dengan aksi, sehingga pembaca tidak bosan.

    Twist yang ada cukup lucu dan segar, membuat pembaca tersenyum sendiri ketika selesai menyantap hidangan ini. :)


    Terus menulis!

    BalasHapus
  2. #_#. . . #@$%

    Pada awalnya kirain air mataku akan diperas lagi...

    ternyata....

    >_< jahat!!!
    Air mataku mengantung

    BalasHapus
  3. Thanks buat inputnya Admin :)

    To Anonim: kali ini saya gak mau peras air mata orang lagi hahaha... *kedip2 biar air matanya gak jadi merembes keluar* :p

    BalasHapus

SANGAT DIANJURKAN untuk saling mengapresiasi atau mengkritik tulisan satu sama lain. Kita sama-sama belajar ya!