Peringatan keras: setiap karya yang dimuat di Writing Session dilindungi UU hak cipta & penjiplakan pada karya tersebut memiliki sanksi!

Sabtu, 13 Agustus 2011

Makna yang Hilang

Oleh: @Laksmita

Pagi itu sinar matahari menari-nari di atas puluhan anak-anak yang tegap berjajar. Kemeja putih dan bawahan merah, mereka semua memakai baju yang sama. Sesekali dari kejauhan terlihat ada beberapa anak yang menggerakkan tubuhnya karena pegal. Peluh mereka mulai tertarik turun ke bumi karena matahari yang terlalu bersemangat. Entah ke mana tumbuhan yang mereka sebut dengan pohon itu, sepertinya sudah dieksekusi.

Bila diamati secara mendetail, ada satu anak yang berdiri tegap penuh khidmat. Mungkin gempa bumi pun tak sanggup menggoyahkan kakinya dan melemaskan tangannya yang kaku dalam posisi hormat. Mimik wajahnya serius, berbeda dengan ekspresi anak-anak lain di sekitarnya yang sudah layu. Matanya berbinar-binar memandang kain yang separuh atasnya berwarna merah dan sisanya berwarna putih. Angin meniup kain dua warna itu dengan cukup keras, benda itu berkibar dengan anggun. Kibaran bendera itu tambah menyentuh hatinya.

“Sang Merah Putih, besok aku akan berjuang untuk mendapatkanmu. Aku berjanji akan memberikan yang terbaik besok karena aku sudah berlatih,” gumamnya sambil mengingat bagaimana cara latihannya selama 1 minggu terakhir ini. Push up dan sit up 50 kali sehari, berlatih lari sprint minimal 500 meter tiap hari. Meskipun kedengarannya sederhana, ternyata agak capek juga. Sebenarnya dia sendiri ragu apakah latihan ini diperlukan untuk lombanya, sayangnya ia hanya tahu tentang berusaha. Semua ini dia perjuangkan untuk sepeda BMX terbaru sebagai hadiah lomba 17 Agustus di kampungnya.

Lombanya tidak terlalu sederhana seperti biasanya. Lebih mirip triatlon, namun tidak dalam jarak yang jauh dan lebih fokus pada rintangan. Secara berturut-turut, peserta harus melewati lomba balap kelereng, lomba balap karung, lomba egrang, beberapa lubang, beberapa tanjakan, dan yang terakhir mengambil bendera merah putih untuk ditancapkan pada garis finish. Memang belakangan ini pengurus kampung jadi lebih kreatif dan inovatif gara-gara pengurus baru kebanyakan adalah para pemuda. Mereka berhasil menyedot perhatian warga dengan bukti lomba-lomba 17 Agustus sangat banyak pesertanya. Tiap warga sangat antusias, tapi anak yang satu ini jauh lebih bersemangat. Sesekali ia tersenyum ketika melihat bendera berkibar. Bukan gambar bendera yang ada di pikirannya, tapi gambar sepeda itu.

**

Kali ini matahari sore manis sekali, tidak terik dan tetap nampak, momen yang tepat. Anak dengan mata berbinar-binar itu sudah siap berjuang. Dengan tanpa alas kaki, kaos yang berlambang pemain timnas sepak bola dengan namanya sendiri di punggung, dan ikat kepala dari kain putih untuk membuatnya agak keren dari yang lain menurutnya.

Permainan belum dimulai, sementara para panitia membenahi peralatan, ia memutuskan untuk mencari tempat duduk dulu. Kursi plastik putih di sebelah ujung adalah tempat yang tepat untuk menunggu dan mengamati apa yang panitia sedang lakukan. Disandarkan punggungnya pada kursi itu sambil menghela napas.
“Sebenarnya untuk apa ya lomba seperti ini diadakan?” ia bertanya cukup lirih sampai-sampai orang tak akan tahu bahwa ia sedang bicara.
“Apakah hanya untuk buang-buang uang? Kenapa harus diperingati dengan cara ini?” naluri kritisnya mulai muncul. “Mungkin dengan mengikuti lomba ini sebagai bukti bahwa aku juga mencintai negaraku sendiri.”

“Nak, ayo sini! Lombanya sudah mau mulai.”
“Iya, Pak RT,” pikiran kritisnya dihentikan dan ia memfokuskan diri pada lomba.
“Nah, itu dia bendera yang harus kurebut. Itu benderaku!” ujarnya sambil menatap bendera setinggi 1,5 meter dari garis start.

“Siap? Yak!” aba-aba sang wasit.
Belasan anak laki-laki berlari sekencang yang mereka bisa, seperti tidak mempedulikan rintangan apapun yang berani menghadang mereka. Si anak dengan mata berbinar tadi terus memimpin di tiap rintangan. Sampai pada akhirnya ia hampir mencapai bendera. Kurang sepuluh meter, tidak ada yang sanggup menyusulnya, senyumnya merekah. Kurang lima meter, tiba-tiba ada yang menyusulnya, senyumnya pudar. Tangan kedua bocah itu menggapai tiang bendera bersamaan. Mengerahkan seluruh tenaga masing-masing agar bisa melepas bendera dari tangannya, berebut cukup lama. Dan kemudian entah bagaimana tangan mereka sudah sama-sama berada di bendera itu sendiri, dan masih berebut.

Sreekk!

Suara bendera robek itu menyakiti telinga. Mereka malah terlihat seperti kompeni yang ingin mengganti bendera dengan yang merah-putih-biru. Tapi mereka masih berebut tiang, anak yang penuh semangat tadi lengah, tiang itu lepas dari tangannya. Ia masih mengejar lawannya beberapa langkah ke depan dengan muka pasrah. Ia melihat lawannya menancapkan tiang tanpa bendera dengan tatapan memelas. Hatinya remuk, ia tidak dapat mewujudkan keinginannya. Namun lebih remuk lagi perasaan Pak RT, panitia, dan warga yang melihat bendera itu robek. Mengapa mereka jadi menyelenggarakan lomba peringatan kemerdekaan untuk merobek bendera merah putih?


1 komentar:

  1. admin, berdasar email yg saya kirim, penulisan judul sudah benar lo.
    tidak seperti ini.. coba dicek kembali ;)

    BalasHapus

SANGAT DIANJURKAN untuk saling mengapresiasi atau mengkritik tulisan satu sama lain. Kita sama-sama belajar ya!