Peringatan keras: setiap karya yang dimuat di Writing Session dilindungi UU hak cipta & penjiplakan pada karya tersebut memiliki sanksi!

Selasa, 09 Agustus 2011

Malaikat Tanpa Nama



Oleh: Melissa Olivia (@moliviatjia)


Aku terduduk di depan nisan marmer bertuliskan 'Guardian Angel' itu. Tak ada nama, karena aku tak pernah tahu namanya. Air mata tanpa suara terus mengalir deras. Di dalam hati, tak putus aku ucapkan 'maaf' dan 'terima kasih'. Dua kata yang sangat sulit untuk bisa kuucapkan. Orang-orang mulai beranjak dari area pemakaman itu. Seseorang menghampiri dan mengajakku bangkit. Tapi, kaki ini enggan meninggalkan peraduan terakhirnya. Memori itu masih mencengkeram kuat di setiap sel otakku.

Dua tahun yang lalu, tiba-tiba aku tersadar di sebuah kamar rumah sakit. Pandanganku langsung tertuju padanya. Aku berusaha bertanya, tapi suaraku tak bisa keluar. Aku pun merasa sunyi menyergap telinga. Selenting udara tak bisa terdengar. Aku memegang leher dan telingaku dengan panik.

Merasa ada yang tidak beres, wanita itu berlari keluar. Sepertinya memanggil dokter, karena tak lama kemudian, sekelompok pasukan berbaju putih datang dengan tergesa.

Usai memeriksaku, dokter itu berkata sesuatu padanya. Aku sama sekali tak tahu apa yang dikatakan mereka. Dengan raut wajah sedih, ia mengambil secarik kertas dan menuliskan sesuatu:

'Aku tidak tahu harus bagaimana menyampaikannya padamu... Aku takut kamu akan shock'

Kubalas dengan tulisan dari tangan kananku--yang untungnya tidak cedera seperti yang dialami kembarannya:

'Katakan saja. Aku siap mental mengetahui apapun. Pertama, apa yang terjadi padaku dan di mana orangtuaku?'

Sejurus kemudian, wanita paruh baya itu mulai terisak-isak.

'Lady, aku tahu namamu dari kartu identitasmu. Kau mengalami kecelakaan seminggu yang lalu dan mengalami koma. Saat itu larut malam. Supirku sepertinya mengantuk dan menerjang mobil yang ditumpangi keluargamu hingga menabrak tebing.
Ayahmu, ibumu, dan supirku meninggal seketika. Kau sendiri dalam keadaan kritis dan segera dibawa ke sini.
Tadi... Dokter berkata... Sepertinya benturan keras telah mengganggu saraf wicaramu. Dalam waktu yang tak bisa ditentukan, kau tidak akan bisa mendengar ataupun berbicara...
Aku benar-benar minta maaf dan kejadian ini. Oleh karena itu, ijinkan aku merawatmu dengan baik, sebagai bentuk pertanggungjawabanku terhadap orangtuamu. Aku sungguh minta maaf...'

Tak ada yang mampu menggambarkan betapa terpukulnya aku saat itu. Hanya derasnya air mata yang keluar yang mampu mengungkapkan kesedihanku... Aku bahkan tak sempat melihat orangtuaku untuk terakhir kalinya! Setelah hari itu, aku benar-benar tak punya semangat hidup.

Tapi, wanita itu tetap saja tiada henti berusaha agar aku benar-benar hidup seutuhnya seperti diriku dulu. Walau aku bersikap destruktif, tidak peduli, dan selalu kasar padanya. Hatiku penuh kebencian. Karena supirnya telah merenggut kebahagiaanku.

Aku tahu dia tidak sepenuhnya salah. Hanya, aku tak tahu kepada siapa aku harus melampiaskan kepedihan tak terperi yang menghujam dada.

Ia tak pernah marah padaku. Ia tetap sabar mengasuhku selama 2 tahun ini. Jika kesedihanku timbul, ia akan ikut menangis. Berusaha memelukku, menenangkanku, yang seringnya kuganti dengan dorongan keemohan. Ia juga menyewa jasa perawat untuk menjagaku saat dia harus pergi kerja di pagi hari. Ia menawariku kembali ke sekolah. Kutolak mentah-mentah, karena takkan ada gunanya. Yang ada aku hanya dijadikan bahan olokan. Seorang cacat yang belajar di tempat normal.

Ketika aku memutuskan untuk keluar rumah sendirian, ingin menghirup udara segar. Aku yakin, ia mengikutiku dari belakang. Khawatir aku akan berbuat yang tidak-tidak.

Hingga suatu hari aku membaca sepenggal kalimat yang bunyinya: "Kebahagiaan ada di dalam diri kita, bukan di luar diri kita. Kebahagiaan takkan pernah ditemukan jika dicari, kecuali diciptakan oleh hati, yaitu dengan bersyukur dan menerima apa adanya sesulit apapun peristiwa yang kita alami."

Aku tersadar. Selama ini aku telah menyia-nyiakan waktuku dengan meratapi nasib, bahkan menyakiti orang yang selama ini telah merawatku layaknya anak kandung sendiri. Aku merasa berdosa. Mungkin memang sudah karmaku harus mengalami ini. Kehilangan orangtua dengan cara yang tragis, tapi aku telah diberikan pengganti orangtua yang sangat baik.

Aku telah mengunci pintu kebahagiaanku sendiri, menutup mata atas segala kebaikan yang harusnya membuatku bahagia. Hatiku terlalu gelap untuk dapat menerima cahaya kasihnya.

Aku berlari pulang. Aku ingin minta maaf atas perbuatan tak tahu terima kasihku dan berterima kasih atas segala perbuatannya terhadapku.

Saking meluapnya perasaan bersalah itu, aku tak melihat mobil yang sedang oleng ketika aku hendak menyeberang. Sinar lampu itu menyorot mataku. Detik itu juga aku berpikir bahwa aku akan menyusul orangtuaku. Hingga sesosok tubuh mendorongku, menggantikan aku yang harus celaka.

Aku melihat tubuh itu membentur kaca, terpelanting ke aspal, dan terguling. Sekejap saja, aspal itu berdarah. Mobil itu berhenti dengan decitan keras. Pengemudinya yang mabuk, keluar dengan terhuyung. Segera saja kuhampiri tubuh yang berbaring telungkup tak bergerak itu.

Kuhampiri dan kubalikkan badannya. Aku syok berat. Dia wanita itu. Ibu pengasuhku! Kepalanya bersimbah darah. Aku tekan erat-erat, berusaha memperlambat pendaran darahnya. Syalku kujadikan perban sementara. Aku menangis keras... Inginku menjerit sekencang-kencangnya. Aku tak ingin dia mati. Aku ingin balas budi padanya! Jangan ambil dia...! Tapi, hanya angin yang keluar dari mulutku.

Dia sempat membuka matanya, meraih wajahku dan tersenyum bahagia... Sesaat kemudian, tangannya terkulai lemas dan ia menutup matanya... Untuk selamanya... Meninggalkan diriku yang masih berhutang budi padanya.

***

Aku sudah kembali ke rumah. Memasuki kamarnya yang dulu enggan kuinjak. Aku menemukan sebuah buku diari di atas meja tulisnya. Di sekitar meja dan ruangan kamar itu banyak foto keluarganya. Ia, suami, dan bayi yang tak pernah kulihat.

Aku membuka lembar demi lembar catatan hariannya. Saat-saat dia bahagia ketika menikah dan punya anak. Kemudian, sampailah aku pada tanggal naas itu. Kutemukan tinta-tinta yang luntur karena buliran air matanya.

'Kenapa aku begitu bodoh? Harusnya aku tak memilih jadwal pesawat malam itu! Harusnya aku menunda kepulanganku. Dalam satu malam, aku kehilangan dua orang yang amat kucintai. Aku bahkan belum sempat melihatnya tumbuh dan mendengar dia menyebutku mama! Aku juga tak bisa menua bersamanya!'

Di lembar berikutnya:
'Jodoh mempertemukan kami dalam kondisi seperti ini. Dia seorang gadis yang cantik dan manis. Dia juga kehilangan orang yang dicintai dan mencintainya. Aku yakin Tuhan menitipkan anak ini padaku. Aku berjanji akan merawatnya dengan baik seperti anakku sendiri. Meski aku tak bisa membesarkan darah dagingku, aku tak ingin melewatkan kesempatan untuk merawatnya. Kumohon, sadarkan dia dari komanya dan biarkan dia hidup'

'Ia sangat terpukul. Aku mengerti peristiwa ini sangat berat untuk gadis seusianya. Aku harus lebih berusaha agar dia bisa hidup layak dan bahagia.'

'Sudah dua minggu berlalu. Hari ini Lady menolak disuapi. Tapi ketika aku hendak mengantar makan sore, kulihat makan siangnya habis. Aku senang :) Semoga pelan-pelan ia bisa kembali ceria dan bahagia.'

'Ia sudah mulai keluar rumah! Ini baik agar dia tak melulu terkurung dalam ruangan. Ia perlu udara segar. Kesehatannya juga mulai pulih. Tapi, aku takut ia tersesat. Aku akan mengikutinya diam-diam.'

'Sudah hampir 2 tahun sejak peristiwa itu. Aku mulai bisa menerima kepahitan ini. Tapi, sepertinya Lady belum bisa. Walau sudah lebih baik, ia masih dingin padaku. Mungkin ia mengira aku adalah penyebab kemalangannya. Ya, dia tidak sepenuhnya salah. Ini hukumanku dan aku akan bertanggungjawab. Sedingin dan sekasar apapun dia padaku, aku akan tetap menyayanginya. Hanya dengan beginilah aku mampu memaafkan diriku sendiri. Semoga, kelak dia juga bisa mengerti dan berdamai dengan kondisinya. Yang bisa kulakukan adalah tetap mendukungnya ke arah yang lebih baik.'

Hatiku terasa sesak saat membacanya. Betapa jahatnya aku padanya... Dia juga kehilangan orang yang sangat dicintainya. Dia juga terluka. Tapi dia masih mau bangkit untukku. Aku tak layak menerima pengorbanannya. Harusnya aku yang tertabrak kemarin. Kenapa Tuhan mengambilnya? Apakah ini hukuman untukku. Air mata yang belum kering sejak pagi tadi, kini berderai kembali. Penyesalan memang selalu datang terlambat dan sia-sia adalah hasilnya.

Kututup buku hariannya dan kudapati secarik grafir di ujung bawah diarinya. "Angel". Itulah namanya. Nama yang sama sekali tak ingin kuketahui dulu. Nama dari seorang wanita yang menjadi malaikat tanpa nama untukku selama dua tahun ini. Ia sudah menjaga dan melindungiku. Oleh karena itu, aku mengukir 'Guardian Angel' di batu nisannya. Besok aku akan minta agar namanya juga terpahat di sana. Angel Sang Guardian Angel.

Sebagai balas budiku, aku berjanji akan hidup layak dan bahagia. Aku tak ingin lagi menyakiti orang-orang yang sayang padaku. Ayah, ibu, Angel, aku akan hidup bahagia sejak hari ini! Beristirahatlah dengan tenang. Semoga kita berjumpa lagi di kehidupan yang akan datang...

2 komentar:

  1. (.- _ -.) ganti rugi air mataku karena membacanya. . .

    lain kali tuliskan yang buat saya ketawa yach. . .

    BalasHapus
  2. Saya usahakan bikin cerita komedi, tp mungkin gak sepandai Raditya Dika dkk... :P

    BalasHapus

SANGAT DIANJURKAN untuk saling mengapresiasi atau mengkritik tulisan satu sama lain. Kita sama-sama belajar ya!