Peringatan keras: setiap karya yang dimuat di Writing Session dilindungi UU hak cipta & penjiplakan pada karya tersebut memiliki sanksi!

Sabtu, 13 Agustus 2011

Petugas Pengerek Bendera

Oleh : Rahmi Afzhi W. (@Afzhi_)

Payah! Sungguh payah! Kenapa sejak awal aku dilahirkan sampai sekarang
tidak pernah bisa menjadi seperti mereka? Terlalu banyak halangan dan
tantangannya. Kenapa aku harus terikat di saat duduk di bangku Sekolah
Dasar dengan pionika yang aku mainkan di setiap Upacara Bendera hari
Senin? Dan kenapa aku harus merasakan yang namanya kekalahan oleh
orang-orang yang sudah terkenal di mata guru-guru mengenai prestasi
mereka saat aku SMP ini? Sedangkan aku, tidak begitu terkenal. Itulah
sebabnya aku jarang diajak untuk hal-hal yang barubagiku seperti
menjadi pengerek bendera.
Hari ini contoh nyatanya. Pemilihan peserta lomba PASKIBRAKA antar
kelas berlangsung di dalam kelas dipimpin oleh ketua kelas.
“Jadi, kesimpulannya siapa yang mau ikut perlombaan itu, acung tangan.
Jangan ada paksaan. Harus sportif.” Perkataan ketua sebentar ini telah
membuat otakku untuk meresponnya dengan mengacungkan tangan. Itu
pertanda aku mau ikut lomba PASKIBRAKA.
“Karena banyak yang ingin ikut, maka kita akan melakukan
seleksi,”lanjutnya. Kupandangi satu persatu pemilik tangan yang sedang
diacungkan. Ada Bulan, Mika, Lury, dan beberapa orang lain yang
kira-kira jumlahnya 18 orang. Huft! Tipis sepertinya harapanku untuk
ikut. Mereka yang kusebutkan namanya adalah orang yang ¬nge-top di
sekolah. Mereka adalah anggota OSIS yang sering ikut lomba apa saja.
Dan salah satu dari mereka adalah Wakil ketua OSIS, Bulan. Akan
tetapi, tetap kucoba lakukan yang terbaik. Siapa tahu, aku mendapatkan
hokiku hari ini.
“Kaki kamu diangkat lebih tinggi dong, Dis?” Anton yang paling jago
dalam urusan PBB menegurku dengan nada kesal.
“Iya, ya.” Aku sebel dengan orang-orang yang berada di depanku saat
ini. Rasanya inginku pukul wajah cakep mereka itu. Kalau saja aku
tidak sabar menghadapi mereka yang berusaha menjatuhkan
pesaing-pesaingnya dengan menyorak-nyorakkan kekurangan-kekurangan
lawan sudah kujadikan ikan pepes dalam daun pisang mereka. Rasanya
persaingan begitu ketat. Yang ikut 18 orang, yang bakalan dipilih cuma
8 orang. Itu artinya, 10 orang akan tereliminasi. Disa langkah kamu
kecilin dong, gerakkan kaki kamu lambatin dong, badan kamu tegapin
dong, pandangan kamu lurus ke depan dong, dan masih banyak lagi
ocehan-ocehan mereka tentangku yang membuatku tambah badmood.
Semua ini hampir sama dengan kejadian tiga tahun lalu. Tepatnya saat
aku duduk di bangku kelas V SD.
“Disa, kamu saja yang menggantikan Marwa, ya?” Ibu Mun memintaku
menggantikan Marwa yang tidak hadir hari ini, Sabtu. Padahal pada hari
Seninnya adalah giliran kelasku yang bertugas di saat Upacara Bendera.
Biasanya, yang menjadi petugas pengibar bendera untuk kelasku adalah
Tata, Bunga, dan Marwa. Sedangkan aku selalu menjadi anggota korsik
setiap minggunya memainkan alat musik pionika. Kalau aku ingin menjadi
petugas lain dalam upacara, walaupun untuk sekali, pelatih korsikku
akan selalu berkata, “Kalau kamu tidak ikut, maka korsik kita tidak
akan lengkap. Bunyi musiknya pun akan terdengar lambat dan tidak
bersemangat lagi.” Dan kali itu, adalah kesempatan emas untukku. Tidak
ada teman-temanku yang lain yang mau mengacungkan tangan sebagai
pengganti Marwa selain diriku.
“Baik bu. Saya bersedia,” aku menjawab pertanyaan Ibu Mun tadi.
Jadilah hari itu aku latihan bersama Tata dan Bunga. Kukerahkan
tenagaku untuk bisa mengisi kesempatan ini. Kesempatan melihat Bendera
Merah Putih berkibar gagah setelah aku menarik tali yang membawanya ke
ujung tiang. Latihan hari itu berakhir. Aku merasa senang tentunya.
Dua hari kemudian, tepatnya hari Senin, aku pergi sekolah pagi-pagi,
lebih cepat dari biasanya. Sebabnya, akan ada latihan sebentar sebelum
Upacara Bendera dimulai. Malang bagiku, ketika sedang menikmati
latihan, tiba-tiba Marwa muncul di belakangku. Menepuk pundakku
seperti mengusirku.
“Aku udah dateng. Jadi, kamu boleh nggak gantiin aku.” Perih bak
tersayat rasanya hati ini. Aku tidak mampu melawan. Tata dan Bunga pun
sepertinya lebih berpihak kepada Marwa. Secara, Marwa adalah teman
dekat mereka. Mau tidak mau, aku mundur. Membiarkan Marwa bergabung
dengan ketiga temannya. Dan aku kembali kepekerjaan rutinku, bermain
korsik. Namun, yang membuatku kesal dan juga tergelak adalah, hasil
kerja dari tiga orang pengerek bendera tadi sangat memalukan.
Benderanya terbalik menjadi Putih – Merah. Apa-apaan ini? Enak saja
dia mengganti-ganti warna bendera yang butuh perjuangan beratus-ratus
tahun untuk bisa mengibarkannya. Mungkin itu juga bisa jadi pelajaran
bagi mereka khususnya Marwa.
Bicara soal bendera, aku juga teringat dengan perlombaan tahun lalu
dalam memperingati hal yang sama dengan perlombaanku kini ‘Peringatan
Hari Kemerdekaan RI’. Teman-teman pasukan PASKIBRAKA dari kelasku,
VIIA mengalami kegagalan dalam mengibarkan bendera. Memang, bendera
yang digunakan bukan bendera Merah-Putih, melainkan bendera
berlambangkan lambang sekolahku. Karena tidak mungkin kan, kalau
bendera Pusaka kita itu dinaik-turunkan seenaknya. Bendera yang
dinaikkan tidak pas dengan lagu Indonesia Raya yang telah selesai
diperdengarkan. Benderanya tersangkut di tengah-tengah. Akhir cerita,
bendera itu menjadi bendera setengah tiang yang mengundang tawa
seantero sekolah. Malu deh teman-temanku. Aku sebagai salah satu siswi
yang kelasnya ditertawakan, juga merasa sedikit malu walaupun aku
tidak ikut serta dalam perlombaan.
Kejadian ini mengawali aku suka untuk menonton acara Upacara
Kemerdekaan di Istana Merdeka melalui televisi. Pasukan PASKIBRAKAnya
lebih tegap, hebat dan keren. Serta, ketika mereka mengibarkan Sang
Saka Merah Putih, semuanya pas. Bulu kudukku sampai merinding
dibuatnya saat melihat bendera itu berkibar dengan gagahnya.
“Dis, maaf sebelumnya. Sebenarnya aku tidak mau mengatakan hal ini.
Tapi, ini sudah keputusan kelas. Kamu tidak bisa ikut mewakili kelas
kita,” sang ketua kelas dengan wajah sok memelas berkata padaku seusai
latihan.
“Baiklah. Mau dikata apa. Terserah kalian aja deh.” Walaupun aku
kesal, kenapa tidak sejak tadi dia memberitahu kalau aku tidak
terpilih? Kenapa aku harus berpanas-panas dahulu membuat kulit
cokelatku menjadi bertambah gelap.
“Dasar Eri! Ketua gendut. Bilang dari tadi kek, kalau gue nggak ikut.
Muka gue jadi belang nih.” Eri sang ketua kelas hanya mampu nyengir
saat Hani, siswi yang bicaranya sedikit pedas yang juga tidak terpilih
menjadi peserta lomba memberikan omelannya.
Beruntung bagiku, saat aku sampai di rumah, adikku menyambutku sambil
berkata dengan gaya telonya, “Kak, kata Papa hali Labu besok kita
pelgi bellibul ke lumah Om Galih selama tiga hali.”
“Hah? Hari Rabu besok? Tepatnya tanggal 18 Agustus, saat
diselenggarakannya perlombaan di sekolah. Lalu, gimana sekolah kakak?”
Adikku hanya mengangkat bahunya. Aku tidak perlu jawaban darinya.
Mungkin akan seperti hari-hari sebelumnya. Jika ada keperluan seperti
ini, papa akan meminta izin kepada wali kelasku. Tentu aku tidak akan
bisa melihat penampilan teman sekelasku. Tapi aku tidak menyesal.
Malah aku merasa senang bisa berlibur. Sebab, walaupun begitu, aku
masih bisa melihat pengibaran bendera di televise nanti. Mudah-mudahan
saja, teman-temanku tidak melakukan kesalahan dalam mengibarkan
bendera seperti pengalaman teman-temanku dahulu.

4 komentar:

  1. buat yg udh baca cerpen ini tlg komentarin ya. Makasih.
    By: penulis, @Afzhi_

    BalasHapus
  2. Waakakakkaa.. .. Cerita yang mengalir indah, sedikit nakal pada akhirnya hihihihi. . . .

    Cerita yang punya kekuatan dan solid, tergambar bagus . .. kekurangannya hanyalah jika seseorang memukul

    Ketua gendut tentu akan sangat mengembirakan hati ku ini hihihi. . . :P

    BalasHapus
  3. @anonim trims komennya. Tp kn kasian kalo ketuanya di pukul.
    @shelly trims jempolnya kak.
    By: penulis, @afzhi_

    BalasHapus

SANGAT DIANJURKAN untuk saling mengapresiasi atau mengkritik tulisan satu sama lain. Kita sama-sama belajar ya!