Peringatan keras: setiap karya yang dimuat di Writing Session dilindungi UU hak cipta & penjiplakan pada karya tersebut memiliki sanksi!

Senin, 29 Agustus 2011

Sarapan

oleh: Anya Yuthika (@anyayuthika)

Pagi yang cerah. Sunyi. Ketika matahari malu-malu menyusup ke dalam rumah dari tiap-tiap celah.

Berapa hari? 5 tahun? Ah, ternyata sudah bukan hitungan hari lagi. Satya duduk termenung di kursi meja makannya yang sudah 5 tahun diisinya sendirian. Matanya memandangi dapur yang kosong. Bersih tanpa cela apapun.

Rumah ini sepi tanpa 'kita'. Seperti burung yang oleng kehilangan sebelah sayapnya. Seperti pohon yang rapuh karena terkikis akar-akarnya.

Pintu kamar mandi tiba-tiba terbuka. Satya terkejut sebelum kemudian sadar, Nanda, putri sulungnya sedang menginap di rumah, dalam usaha mengisi kekosongan yang sebetulnya tidak akan pernah terisi lagi.

"Pa, Nanda mau pergi kerja sebentar lagi, Bapa mau sarapan? Nanda beliin aja, ya?"

Satya mengerutkan kening. Perkataan Nanda seperti merusak paginya yang hampa.

"Engga, engga! Ibumu ga pernah beliin Bapa sarapan. Seumur hidupnya sarapan Bapa selalu dibuat oleh tangan Ibu!"

Nada bersikeras dari ayahnya membuat Nanda sedikit kesal. 5 tahun dan mau sampai kapan lagi Bapa sadar tangan Ibu tidak bisa lagi menyentuh dapur?

"Ibu sudah tidak ada, Pa."

"Jangan berani-berani kamu bicara begitu, Nan! Dia ada di sini, di tengah-tengah kita semua."

Nanda melengos. "Terserah Bapa. Jadi Bapa mau sarapan apa engga?"

Satya menatap anaknya yang acuh tak acuh. Ia pun balas melengos. "Terserah Bapa!!"

Dalam hitungan menit Nanda sudah berlalu ke kantornya. Satya masih duduk rapi di posisi yang sama. Ketika ia menatap dapur, rasa rindunya tiba-tiba menjadi-jadi.

Terdorong oleh entah apa, tiba-tiba saja Satya bangkit dari kursi, berjalan perlahan menuju ke dapur untuk menemukan ruang kosong yang kering dan bersih. Piring-piring bagus menumpuk dengan rapi. Sejak istrinya meninggal piring yang dipakai di rumah memang hanya satu. Begitu pun dengan gelas. Sekumpulan benda-benda itu malah menjadikan rasa kangen Satya menjadi lebih utuh dari sebelumnya. Perlahan ia membuka laci, menarik keluar sebuah buku catatan yang kertasnya sudah menguning. Ada tulisan di depannya: kado pernikahan untuk Sarah.

Dibukanya halaman pertama. Dibacanya dengan teliti. Tiba-tiba saja jantungnya berdebar-debar. Ini kali pertamanya lagi setelah bertahun-tahun tidak menginjakkan kaki di dapur untuk memasak. Tapi mau tidak mau, ia harus mencoba lagi membuat ini. Nasi goreng. Resep khas milik keluarga Sarah, sekaligus juga favorit Satya.

Didukung sedikit kenekatan, Satya membuka kulkas. Cabe. Bawang merah. Bawang putih. Telur. Apalagi? Ketumbar? Apa itu?

Dengan sigap Satya kembali ke ruang tengah. Ia menyambar telepon, menekan nomer Nanda yang sudah dihapalnya sejak lama.

"Halo? Nan? Nanda? Ketumbar itu yang mana, ya? Ditaruh dimana?"

Nanda sedikit terkejut mendengar pertanyaan ayahnya.

"Di lemari, Pa. Biasanya ditaruh di toples bekas selai kacang. Bapa lagi ngapain, sih?"

"Ooh tunggu sebentar, ya!" Terdengar suara Satya berlari kecil menjauhi telepon. Lalu derap kakinya mendekat lagi. "Aah, ada ada. Tadi kamu tanya apa? Bapa lagi ngapain? Terserah Bapa aja!"

Telepon ditutup. Satya kembali sibuk di dapur. Dengan kemampuan apa adanya, ia mulai menumis bumbu, sesuai yang tertulis di dalam buku Sarah. Asap mengepul, mengisi seluruh ruang dapur. Harum sekali. Menggelitik perut yang tadinya tidak lapar.

"Pa, sedang apa? Ibu bantu, deh,"

Satya menoleh. Dalam pandangannya Sarah sedang mendekat. Dengan kaos bekas Satya yang kebesaran di tubuhnya yang ramping dan celana selutut warna coklat muda yang biasa ia pakai jika sedang di rumah. Bayangan Sarah yang masih nampak muda meski di penghujung umurnya. Ceria, dengan sunggingan lebar di bibir merah mudanya.

Tangan Satya dengan mudah memecah telur, menumpahkan isinya ke penggorengan lalu mengaduknya dengan cekatan. Sepintas Satya merasa lebih jago dari tukang nasi goreng depan komplek yang biasa mangkal malam hari.

"Bapa, mau pake daging ayam ga?"

Satya menoleh lagi ke arah istrinya sambil berpikir. Daging ayam? Sepertinya enak.

"Lho? Mana? Bapa ga simpan ayam, ya?"

Satya terperangah. Oh iya. Ia sudah tidak pernah menyimpan hal-hal semacam itu lagi di dapur. Toh tidak ada yang bisa mengolahnya menjadi makanan yang enak, sejak istrinya meninggal.

Setelah memasukkan kecap asin dan nasi secukupnya, akhirnya aroma nasi goreng itu menjadi sempurna. Sengaja Satya mencari-cari piring yang paling bagus, lalu memindahkan nasi gorengnya dari penggorengan dan menatanya pula dengan bagus. Di sudut ruangan, Sarah memperhatikannya sambil tersenyum.

Lalu Satya kembali ke meja makan. Duduk di tempatnya semula, dengan sepiring nasi goreng di hadapannya. Ragu-ragu ia sendok sedikit. Dipejamkannya mata agar ia bisa mengecap dengan lebih leluasa.

"Enak ga, Pa?"

"Enak, kok!"

"Ini kerupuknya, lain kali kalo mau kerupuk udang titip Nanda aja, dia pasti mau."

"Iya, Bu."

"Ibu ke belakang dulu ya? Bapa sarapan yang bener!"

"Tunggu, Bu! Ibu balik lagi, ga?"

Matahari masih malu-malu menyusup lewat celah. Rumah terasa hangat meski tetap sunyi dan hampa. Sepiring nasi goreng yang ia buat tadi persis sama rasanya seperti yang dibuat tangan Sarah. Tapi tetap saja, rindunya tidak terobati.

2 komentar:

SANGAT DIANJURKAN untuk saling mengapresiasi atau mengkritik tulisan satu sama lain. Kita sama-sama belajar ya!