Peringatan keras: setiap karya yang dimuat di Writing Session dilindungi UU hak cipta & penjiplakan pada karya tersebut memiliki sanksi!

Selasa, 23 Agustus 2011

Si Cupu Anti Tanda Seru

Oleh : Ninuk Anggasari

@AngeLinuks
http://angelinuks.blogspot.com

Dia tidak suka tanda seru. Katanya, tanda baca mirip tiang listrik bertitik bawah itu tidak cocok dengan kepribadiannya. Tentu saja, dia tipikal makhluk tenang monoton yang hidupnya tentram dan damai. Bangun tidur, gosok gigi, mandi, sarapan, berangkat sekolah, dan duduk nyaman hingga akhir pelajaran. Aku percaya dia lebih suka naik ayunan tua dengan bunyi kriet lemah daripada naik jet coaster di taman hiburan. Cowok culun yang membosankan seperti dia, lebih cocok dibumihanguskan. Dengan tanda seru ya, dibumihanguskan!

“Bimbim jelek!” aku berseru tepat di sebelah bangkunya, berdiri dengan posisi berkacak pinggang sempurna.

Bima, si-cupu-anti-tanda-seru itu menoleh dengan tatapan sok polosnya. Lalu sambil membenarkan letak kacamatanya, dia bertanya, “Ada apa?”

“Sok manis! Kamu kan yang tiga hari ini ngasih aku bunga mawar diam-diam? Aku lihat! Tadi pagi tuh aku lihat! Norak tahu! Aku nggak suka!!!” aku membuang sebatang mawar putih ke lantai.

Seperti yang kuharapkan, seisi kelas riuh dengan suit-suit dan ciye panjang. Mereka akan lihat bahwa selama ini, Bima yang sok kalem itu ternyata mencintai Gladis mati-matian. Tapi berhubung arus hidupnya kelewat tenang, jadi dia tidak mampu bergerak dan bertindak, hanya sanggup menitipkan cinta melalui setangkai bunga yang diselipkan diam-diam. Oh, ya? Mengenaskan.

Lalu aku kembali berkacak pinggang. Menunggu apakah Bima merespon dengan muka merah merona dan keringat dingin bercucuran, atau sekedar pura-pura bertanya lagi ‘Ada apa?’ untuk kedua kalinya. Tapi sepertinya—

“Aku nggak pernah memberi kamu bunga.” Katanya.

Hening sejenak.

Kulihat matanya begitu jujur, sama sekali tidak panik padahal aku sudah mempermalukannya habis-habisan. Emosiku naik. Kutendang keras-keras tulang kering cowok kolot itu sebelum kemudian aku bergegas keluar. Sebal! Benar-benar sebal!

Maka jika aku bertemu dia di jalan, aku membuang muka. Jika kulihat dia makan es buah sendirian di rombong Bang Asmuni, aku lewat saja. Jika kulihat dia terlalu repot membawa buku-buku dari perpustakaan, aku pura-pura buta. Aku, sekuat tenaga mengacuhkan keberadaan Bima. Tentu saja, mana bisa aku bersikap biasa setelah dia menunjukkan padaku penolakan terang-terangan?!

Ah, baiklah, aku mengaku saja. Aku menyukai Bima!

Aku menyukai semua hal dari cowok kalem itu. Cara dia bicara, cara dia tertawa, cara dia bergaul dengan teman-temannya, bahkan cara dia berkacamata. Maka aku pun mendekatinya, dengan berbagai cara. Dia kemana aku turut serta, menguntit diam-diam seperti penggemar dengan idola. Aku hidup begitu nista dengan berharap bahwa Bima akan menyadari aku ini menyukainya.

Dan kupikir, Bima menyukaiku juga. Aku tidak bohong. Aku yakin melihat kilat yang aneh jika Bima meresponku ketika bercanda. Aku yakin tawa renyah yang timbul setiap dia mendengar leluconku itu tulus adanya. Aku percaya dia melihat aku secara berbeda. Sungguh, aku ini warna baru bagi hidupnya yang hitam putih. Aku percaya sekali lho. Percayalah aku ini tidak bohong, please!

Lalu kepercayaanku yang berlebihan ini mengacaukan semuanya. Aku, sok berani mengambil tindakan yang sama sekali menyalahi etika. Aku merekayasa. Berpura-pura bersikap seperti Bima sedang berusaha mengejarku dengan mengirimi aku bunga setiap pagi. Kupikir dengan begitu, Bima akan sadar aku menyukainya. Lalu dengan terpaksa, dia pun mengaku bahwa sebetulnya dia juga menyukaiku. Tidak susah kan, seharusnya? Bahkan aku sudah membantunya menarik keluar perasaan cinta yang disembunyikannya rapat-rapat itu.

“Bodoh!!!”

Aku menjerit, menendang batu yang menghalangi jalanku pulang kerumah. Aku yang bodoh, ya? Karena akibat ketololanku, kini aku tidak lagi bisa menyapa Bima dengan ‘Bimbim Jelek’ seperti biasa. Mestinya, aku masih bisa pura-pura membanyol di depannya setiap hari. Tanpa perlu berani berharap kalau si-cupu-anti-tanda-seru itu akan berubah jadi laki-laki gentleman yang sewaktu-waktu akan menyatakan cinta kepadaku. Tidak mungkin semudah itu.

“Aku nggak suka tanda seru.” Aku mengingat lagi dialog kami hari itu. Ketika aku dan Bima sedang sama-sama berada di kursi lapangan basket. “Aku nggak suka hidup seperti kamu, yang kamu bilang seru, lucu, apapun lah.” Katanya melanjutkan.

“Kamu—monoton ya?” aku menyeringai, “Sesekali, hidup kamu perlu dikasih warna dong. Tapi dengan warna yang memperindah lho, bukan yang merusak. Yaaa, cuma mencegah aja sih, supaya kepala kamu nggak cepet botak! Hahaha.” Aku terbahak keras, sementara Bima cuma tersenyum, menerawang langit yang memang kala itu sedang biru, bersih sekali.

Nah, kan? Indah sekali kenangan-kenanganku dengan Bima, yang tidak bisa lagi kuulangi hari-hari ini. Setetes air kecil kuhapus dari sudut mataku. Aku hampir menangis. Hanya karena mengingat si-cupu-anti-tanda-seru itu. Sialan. Kupikir aku harus mencari pengalih perhatian, menyembuhkan luka dengan tidak lagi mengingat Bima.

Maka ketika ponselku bergetar pertanda sms masuk entah dari siapa, kupilih untuk mengabaikannya. Aku terus berjalan, menyegerakan diri untuk sampai di kamar. Lalu tidur.

Menjelang malam, ponselku bergetar lama sekali. Telepon.

“Halo...” suara sengauku menyambut siapapun di seberang sana.

“Gladis...”

Aku terkesiap. Ku cek layar ponselku, dan menemukan nama ‘Bimbim! Jelek!’ tertera disana.

“Sms-ku nggak kamu balas, padahal...”

Kutekan loudspeaker, kemudian kupencet-pencet keypad untuk membuka tiga pesan yang memang belum sempat kubuka. Satu dari Alin, satu dari Toni, dan satu lagi—dari Bima.

Aku di pinggir lapangan basket. Kamu bisa kembali?

“Aku—“ bima bicara, dengan suara terbata-bata.

“Masih di lapangan basket?!”

Lalu telepon terputus.

Aku terkesiap. Melonjak dari tempat tidur dan merapikan diri seadanya. Tanpa mengganti seragam yang memang ternyata sejak tadi belum kuganti, aku keluar rumah. Setengah berlari. Kembali ke sekolah lagi dengan perasaan campur aduk. Hari sudah gelap, mau apa Bima menunggunya disana?

Sesampainya di lapangan basket, nafasku putus-putus, keringat mengucur membasahi anak-anak rambut dan poniku. Kuedarkan pandangan ke sekeliling lapangan yang sudah mulai temaram. Kursi-kursi beton di bawah pohon tempat aku dan Bima pernah duduk bersama—ternyata kosong. Tidak ada orang sama sekali. Orhg! Demi siapapun setan panik yang menguasaiku, awas saja!

“Hei,” seseorang menepuk punggungku.

Aku berbalik dan terkejut menemukan sebatang bunga mawar putih sedang terjulur tegas, menunggu kusambut. Seseorang yang memegangnya, menunduk dengan sebelah tangan diletakkan dibelakang punggung. Orang ini! Darimana dia belajar posisi berdiri yang seperti ini?

“Bimbim...” kuambil bunga putih itu dengan kedua pipi menghangat. “Kamu bilang nggak pernah ngasih aku bunga!” ekspresi menyebalkan seperti biasa, ku tampakkan didepannya.

Dia tertawa kikuk, “Ini—bunga pertama, nggak ada salahnya kukasih, kan? Karena...” dia menerawang suasana lapangan yang mulai petang. “Aku sudah mulai suka tanda seru.” Lalu dia tersenyum. Tenang, seperti Bima yang biasa.

“Wah, ada kartu ucapannya!” pekikku setelah melihat sebuah kertas terikat pada tangkai bunga yang kupegang. Sebelum kubuka kertasnya, kulihat Bima berbalik melangkah pergi. “Eh, mau kemana Bim! Tungguin dong, woy! Udah gelap niiiiih! Aku masa pulang sendi—“ aku berhenti memanggil Bima.

Terpaku. Karena kertas ucapan itu, isinya, kata-katanya, tanda bacanya, membuat pipiku memanas dan merona.

2 komentar:

SANGAT DIANJURKAN untuk saling mengapresiasi atau mengkritik tulisan satu sama lain. Kita sama-sama belajar ya!