Peringatan keras: setiap karya yang dimuat di Writing Session dilindungi UU hak cipta & penjiplakan pada karya tersebut memiliki sanksi!

Senin, 29 Agustus 2011

Waffle oh Waffle

oleh : Atik R. Widyasari (@Atikribo)



Gelap. Dari balik pintu aku melihat kilauan logam yang menakutkan. Aku sedang memerangi ketakutanku selama ini. Dapur. Benar, dapur. Tempat kita membuat makanan yang enak maupun yang tak enak. Kata ayah, dulu ada orang yang mati di sana… entah itu benar atau salah. Aku hanya tidak suka dapur. Suara pisau yang diasah, bau amis dari ikan-ikan, suara tok-tok-tok dari pisau yang beradu dengan talenan dan dengungan dari mesin-mesin yang membantu memasak. Berisik. Aku tidak suka prosesnya. Yang kusuka hanya harum makanan yang sudah matang.
 
Ayah pergi, kamu bikin sarapan sendiri ya.
Catatan tulis tangan itu tertempel di meja makan.
Aku terpaku. Berarti aku harus ke dapur. Aku harus masak. Aku menelan ludah. Kuambil langkahku ke dalam dapur, menyalakan lampu. Kubuka kulkas untuk mengambil beberapa butir telur dan susu. Kemudian mengambil terigu serta mentega dari kabinet. Aku memutuskan untuk membuat waffle diiringi siaran radio di pagi hari. Mereka bilang akan ada hujan besar  beberapa jam lagi. Aku melihat keluar jendela. Langit memang mendung, cahaya matahari tampak suram tertutup awan.
 
Aku mendesah, sungguh hari yang buruk. Sangat buruk sampai-sampai ayah pergi dan aku harus memasak. Aku membuat adonan kemudian kutuangkan ke cetakan. Sambil memanggang aku mengambil piring serta selai anggur dan stroberi dari kabinet tak lupa garpu dan pisaunya dari laci. Kulihat jam dinding, setengah jam itu lama juga kalau berada di tempat yang tidak kita sukai. Alunan musik klasik terdengar lembut di pagi hari yang mendung ini. Jadi ngantuk. Kulihat lagi ke luar jendela. Awan-awan semakin bergerumul. Aku yakin hujan akan segera turun. Bukan dalam beberapa jam lagi, dalam beberpa menit lagi.
 
Aku membaca koran pagi sampai tersadar terlihat asap keluar dari cetakan waffle itu. Bagus, sudah matang. Aku meletakkannya di atas piring dan mengambil dua potong waffle untuk sarapan. Tak lupa aku mengambil segelas susu untuk pelengkapnya. Terdengar gemuruh guntur ketika aku membawa sarapan ke ruang tamu. Aku mengambil sepotong besar waffle yang hendak kumakan tanpa dipotong. Dan ketika melahapnya tiba-tiba petir menyambar dan ruangan menjadi gelap seketika; mati lampu. Aku mendengar suara rintih seseorang. Aku bergidik dan melihat sekeliling, tak ada orang. Apa-apaan? Aku mengunyah waffle itu tapi suara rintihan semakin keras, ada sesuatau yang memukuli mulutku dari dalam. Karena sakit aku melontarkan waffle itu ke luar. Aku mengelus-elus pipi.
 
“Sakit tau!” kata seseorang. Suaranya kecil namun tinggi. Aku mengerutkan alis, mencari-cari dari mana asal suara tersebut. “Di sini, Non!” aku melihat ke bawah. Sesuatu yang berwarna coklat, dan kotak-kotak berbicara. Waffle. Berkaki, bermata, bertangan. Layaknya boneka namun tidak lucu. Aku mengerjapkan mata, tidak percaya dan aku mendengar si waffle itu berkata lagi, “Lihat apa kamu, Non?” Spontan aku berteriak seiringan suara guntur yang menyambar.
 
Aku beranjak dari tempat duduk dan berlari ke telepon rumah yang menempel di dinding. Kutelpon ayah. Kulirik waffle hidup itu yang tampak berkacak pinggang. Enam…tujuh…delapan deringan tidak diangat. Sial. Aku kembali menekan angka, kutelpon tetanggaku yang sudah akrab. Dia mengangkatanya pada deringan pertama. “Halo?” kata pemuda di seberang telepon.
 
“SUMBAGA CEPET KE SINI!” secara tak sadar aku berteriak ke tetanggaku itu, saking ketakutannya.
 
“Hah?’”
 
“Ke.si.ni.ce.pet.an.” kataku sambil mengatupkan gigi.
 
“Tapi ujan.” Aga berkata dengan nada kebingungan.
 
“Peduli amat!” aku membanting telpon.
 
Aku berbalik. Si waffle masih melihatku dengan tatapannya yang aneh. Aku ke meja makan untuk mengambil pemukul lalat. Aku mengendap-endap mendekati sofa dan kupukul makhluk itu dengan sekuat tenanga. Waffle itu masih hidup. Heran. Dia mati kalau diapain sih?  “Non, mau akau gepeng apa?” Si waffle mentapku sinis.
 
“Non, non, aku punya nama tau!” cibirku. Tak lama kemudian terdengar suara bel berbunyi. Aku mengambil langkah lebar-lebar supaya cepat sampai pintu dan mempersilakan Aga masuk rumah. Ia menggunakan jas hujan dan tampak basah kuyup. “Ada apa sih?” tanyanya bingung.
 
Waffle hidup.” Kataku. Ia tampak bingung dan terlihat bodoh. Karena tahu menceritakannya aka memakan waktu lama aku menarik Aga dan membawanya ke ruang tamu. “Lihat?” aku menunjuk si Waffle yang sekarang malah melipat tangannya. “Apa?” kata makhluk aneh itu.
 
Aku bisa melihat Aga yang membentuk huruf O pada mulutnya. Anehnya mata Aga menunjukkan rasa excited yang kentara. “HEBATWAFFLE HIDUP!” katanya namun berhenti sejenak. “Eh, tapi sejak kapan ada waffle bisa ngomong?
 
Aku menepuk jidat. Orang ini lemot atau bodoh sih. Aku pun menceritakan awalnya aku membuat waffle dan sedikit tentang mitos ada orang mati di dapur. “Tau kamu ngga suka masak kenapa ngga mesen aja sih?” katanya polos. Memangnya sudah ada yang buka jam delapan pagi seperti ini. “14045 kan 24 jam?” Aku menepuk jidat lagi. Aku merasa bodoh.
 
“Non –,” kata si waffle yang aku cepat potong, “Indhi!”
 
“Ya… Indhi, ternyata kamu tahu juga ya cerita itu. Yang mati itu adalah aku. Aku adalah pemilik rumah ini yang dulu.” Kata si Waffle. Ia menunduk. Alisku berkedut. Apa-apaan? “Waktu  itu sama seperti hari ini, aku membuat waffle. Pagi hari yang mendung, hujan badai malah. Petir menyambar-nyambar. Aku pun sendirian dan sangat kelaparan. Akhirnya aku memutuskan membuat waffle dengan saus apel.
 
Wafflenya tentu saja lebih besar dari ini dan membutuhkan waktu lama dari yang kau lakukan tadi. Sambil memanggang adonan aku membuat saus apelnya. Ketika aku mengupas kulitnya, tiba-tiba saja petir menyambar. Aku terkejut dan secara tidak sengaja pisaunya jatuh mengenai tanganku. Pergelangan tangan. Darah mengalir. Aku panik mencari bantuan, tapi badanku sangat lemas. Tak sanggup berjalan, belum lagi ditambah rasa lapar. Darahku habis. Aku mati. Terkapar. Tak berdaya di sana. Lantai dapur itu.” Si Waffle menunjuk ke arah dapur.
 
“Kamu tau Dhi,” kata Aga, “mungkin itu sebabnya kamu ga suka dapur.” Aku hanya mengangkat bahu.
 
“Lalu…supaya kamu tenang gimana?” Aku bertanya tidak sabar.
 
“Buatkan aku waffle dengan saus apel.” Si Waffle yang tidak punya kepala tampak mengangguk-angguk. “Sama persis seperti yang kubuat dan sebelum hujan berhenti harus sudah selesai. Kemudian akan kumakan.”
 
Apa? “Hujan mana bisa diperediksi?” aku protes. Agak kesal juga dengan permintaan orang, makhluk, apalah itu.
 
Waffle kok makan waffle.” Celetuk Aga yang langsung mendapat tatapan maut dari si Waffle.
 
“Tidak ada toleransi. Jika tidak aku akan menghilang namun akan kembali lagi dalam bentuk yang lain.”
 
Aku berdecak kesal dan beranjak ke dapur. Kesal dan takut. Kutarik Aga ke sana untuk membantuku membuat Waffle itu. Sekali lagi aku mengeluarkan bahan-bahan yang akan kujadikan adonan. Ditambah dengan apel untuk bahan utama sausnya. Aku menyuruh Aga untuk mengupas apelnya dan menghancurkannya dengan potato masher sedangkan aku sekali lagi membuat adonannya. Meskipun aku tak suka di dapur tapi aku seirng melihat ayah memasak. Dari jauh tentu saja.
 
Aku membuka-buka kabinet dan mencari cetakan waffle yang lebih besar. Dan kudapat di kabinet paling pojok. Yang menyeramkan adalah ada bercak darah yang sudah mengering. Ini pasti cetakan yang dipakai oleh si waffle. Aku mengumpat namun sudah tidak merasa aneh lagi. Melihat waffle bicara saja sudah ajaib apalagi setelah mendengar ceritanya. Tak heran. Aku mencuci cetakannya. Dan menuangkan adonan di sana.
Aga sudah selesai mengupas dan menghancurkan si apel di dalam panci. Ia memanaskannya di atas kompor dan aku menambahkan gula merah serta kayu manis.
 
Sambil menunggu Aga berkata padaku, “Dhi, aku kira kamu ngga bisa masak.”
 
“Aku bisa tapi aku benci dapurnya.” Kataku dingin. “Auranya jelek. Ternyata gara-gara si Waffle sialan itu.”
 
“Sudahlah….” Aga menepuk-nepuk pundakku.
 
Lima belas menit kemudian kami menghidangkannya pada Waffle jadi-jadian itu. Di luar masih hujan, bahkan tambah deras. Lampu masih belum menyala dan semua tampak gelap. Aku menyalakan sebatang lilin saking gelapnya. Si Waffle memegang garpu dan memakan waffle dengan saus apel itu sampai habis. Wow.
 
“Ini enak!” si Waffle berkata dengan lebih ceria. “INI ENAK!” ia tertawa dengan suara tinggi. Kulihat dari tubuhnya tampak ada butiran-butiran cahaya. Ia mulai menghilang dari kaki bersamaan dengan butiran cahaya itu. Dan kulihat ia tersenyum. Aneh. Ada waffle senyum-senyum. Dan kemudian ia menghilang. Si hantu dan waffle bikinanku. Sarapanku… Lagi-lagi aku kelaparan. Ck ayah belum pulang juga.
 
Aga menatapiku. Aku mengerutkan alis. “Apa?” tanyaku padanya.
 
Aga menggeleng dan meihat ke luar jendela. “Hujan. Hujannya berhenti.”
 
Aku tertawa kecil. Yah…. Tiba-tiba pintu depan terbuka. Ayah. Ia melihat sekeliling terutama dapur. Ayah tahu aku tidak suka dengan dapur. Makanya ia tampak terkejut melihat dapur kecilnya berantakan. “Kamu masak apa, Nak? Tampak yang heboh begini.” Ia melihat Aga dan menyapanya, “Hai Aga.” Aga mengangguk.
 
Waffle.” Kataku. “dan hantunya sudah pergi bersama waffle yang kubuat.”
 
Ia tampak kebingungan namun tidak begitu mempedulikannya. “Omong-omong tentang waffle, ayah baru saja membawa pulang waffle. Buat sarapan.” Katanya sambil tersenyum.
 
“Hoo…ree?” aku tersenyum maksa. Waffle? Gila. Aku eneg.
 
***

1 komentar:

  1. Unik dan lucu. IMO, Tadinya agak aneh karena dari awal nggak dijelaskan kalo ternyata si Indhi itu sebetulnya bisa masak. Jadi kesannya ada yang ganjil gitu. Untung pas akhir-akhir dijelasin juga. Hehe.

    BalasHapus

SANGAT DIANJURKAN untuk saling mengapresiasi atau mengkritik tulisan satu sama lain. Kita sama-sama belajar ya!