Peringatan keras: setiap karya yang dimuat di Writing Session dilindungi UU hak cipta & penjiplakan pada karya tersebut memiliki sanksi!

Kamis, 11 Agustus 2011

Wanita Dalam Foto

Oleh: Salita R (@salromarin)




Aku terbangun dari tidurku dengan susah payah. Badanku terasa sakit semua seperti remuk, terutama daerah sekitar tulang rusuk. Ah, apa yang terjadi? Ada luka tusukan di situ sepertinya. Aku tidak tahu mengapa aku bisa terdampar di rumah sakit. Yang pasti karena lukanya. Tapi bagaimana kronologisnya aku tak tahu sama sekali. Tetapi yang lebih menyakitkan bagiku adalah sebuah kekosongan yang aku rasakan begitu dahsyatnya yang tidak bisa kujelaskan.



Kuedarkan pandangan ke sekeliling. Ada tasku sedang bersandar ke kursi tak jauh dari kasur tempat aku berbaring. Kucoba mengambil tasku. Ugh, rasanya sakit sekali kalau aku bergerak. Aku ingin memeriksa apa semua barangku masih utuh. Kubuka dengan perlahan. Ada sekumpulan foto. Kuperhatikan foto itu satu-satu. Ada foto keluargaku di depan rumah di Padang. Ah, bulan depan aku akan pulang. Tercatat tanggal 15 Februari 2008 di situ. Lalu sebuah foto lagi berisi gambar seorang wanita. Siapa ya ini? Tanggal yang tercantum adalah 14 Februari, tanpa tahun. Foto lainnya hanyalah pemandangan taman tempat aku biasa hunting foto dengan tanggal 13 Februari 2009. Rasanya sudah lama sekali tidak ke sana. Mungkin aku harus menyempatkan diri lain waktu untuk sekedar memotret keramaian di sana lagi. Tapi demi Tuhan, apa yang telah terjadi padaku hingga aku bisa menginap di sini? Lalu siapa ini? Mengapa aku membawa-bawa fotonya sampai hampir lusuh begini? Kulihat ada tulisan yang tidak terlalu jelas di belakang foto itu. Yang terbaca hanyalah “Pengingatku”. Itu tulisan tanganku.



Yang bisa kuingat adalah terakhir aku mengendarai mobil hendak pergi ke Tasikmalaya. Sial, bodohnya aku. Mungkin aku kecelakaan, atau mungkin dirampok ketika jalanan sepi dan kebetulan aku sedang berhenti dan aku berusaha melawan. Dan mungkin saja aku terkena amnesia. Duh, sialnya aku ini.



Pandanganku kembali ke foto wanita misterius itu. Ada sesuatu dengan foto ini. Foto yang misterius yang terus membuat pikiranku bertanya-tanya. Apa yang sebenarnya terjadi malam kemarin? Siapa wanita itu? Mengapa ada tulisan “Pengingatku” di baliknya? Aku mendapat firasat ini semua berhubungan. Mungkin saja. Wanita yang ada di dalam foto itu sedang tertawa sambil menggenggam setangkai bunga mawar putih. Wajahnya manis, rambut hitam legam sebahu membingkainya. Cantiknya... Aku merasakan sesuatu yang begitu menghangatkan hatiku saat kupandangi foto itu. Perasaan yang aneh membuatku membayangkan dirinya sedang di sampingku. Semoga saja, siapapun kamu, baik-baik saja di manapun kamu berada.



Ah, mimpi apa aku semalam sampai terbangun di sini tidak mengingat apa-apa sama sekali dan tiba-tiba saja ada foto wanita cantik di dalam tasku.



Tiba-tiba sesuatu mengusik lamunanku. Pintu kamarku tergerak oleh seseorang dari luar. Seorang perawat tampak berbicara dengan seorang wanita. “Silakan masuk, Nyonya.” Kata perawat itu kepada orang yang hendak masuk kamarku itu.



Sesosok wanita yang wajahnya kukenali masuk ke kamar. Wanita yang ada dalam foto tersebut! Wanita itu mendekatiku dengan agak gemetar. Wajahnya menyiratkan kelelahan yang kentara di matanya, membuat kecantikannya menjadi tersamar. Seperti dalam mimpi saja aku mendapati diriku didatangi wanita asing yang baru saja kukhayalkan.



“Kamu nggak apa-apa, sayang?” Tanya wanita itu sambil mengambil kursi untuk duduk dekat denganku. Aku merasakan ada yang tidak beres dengannya. Tapi siapa dia?



“Siapa kamu? Kamu wanita di foto ini kan?” Ya, aku cukup terkejut dengan kedatangan wanita itu yang tiba-tiba.



“Ah, iya, aku lupa ini sudah berganti hari. Aku istrimu, Rini. Aku istrimu selama dua tahun belakangan ini. Kamu menikahiku Desember 2010. Percayalah… Kamu ini punya anterograde amnesia, semenjak kecelakaan mobil di tahun 2009. Ingatanmu hanya bertahan kurang lebih sehari semalam.” Ia membelai kepalaku, ada kehangatan yang sama seperti yang aku rasakan ketika melihat fotonya. Sepertinya aku bisa percaya padanya. Tapi, aku menikah dengannya dua tahun dan tidak ingat? Ini mustahil rasanya. Ke mana saja aku dua tahun itu?



“Tunggu. Ini mustahil… Kalau begitu, tahun berapa sekarang?”



“Sekarang tahun 2012. Lihat, aku bawa koran hari ini.” Ia menyodorkan koran dari tasnya.



Aku mengambil koran itu kemudian membacanya. Kulihat tanggalnya dengan seksama. Kubaca satu persatu berita di dalamnya. Tanganku seketika lemas. Ini tidak bohong kan? Aku benar-benar telah melewati waktu sebanyak itu. Dua tahun lebih. Rasa ngeri menjalari tubuhku. Apa saja yang telah terlewati tanpa bisa aku mengingatnya? Dua tahun lebih sudah berlalu sejak hari terakhir ingatanku berfungsi dengan baik. Tanganku gemetar. Rasanya aku seperti ingin meledak saja saat itu.



“Rangga, aku kesini jauh-jauh hanya untuk...” Tiba-tiba wanita itu menyela lamunanku.



“Sebentar. Tunggu dulu. Aku masih bingung. Lalu di mana keluargaku? Mengapa tidak ada yang menghubungiku?” Ya, benar. Di mana keluargaku? Apa mereka tidak tahu anak mereka mengalami kecelakaan separah ini?



“Keluargamu…” Ada nada getir dalam kata-katanya. “Mereka kan sudah meninggal, semuanya. Di peristiwa gempa Padang awal tahun 2010. Mereka belum sempat mengunjungimu. Maaf, aku mengingatkanmu…”



Air mata keluar begitu saja memenuhi mataku. Dalam hening aku menangis. Aku langsung mual dan pusing. Dalam beberapa menit saja aku menemukan diriku dalam keadaan yang sama sekali tidak pernah kuduga. Jadi yang kupunya hanya dia? Wanita itu mendekatiku, memelukku dari belakang lebih erat. Mengeluarkan sapu tangan dari sakunya, mungkin untuk menyeka air mataku…



“Aku sayang kamu, Rangga. Tapi maaf, aku harus melakukan ini…” Tiba-tiba ia membekap mulutku dan hidungku dengan saputangan itu. Aku mencium bau yang pahit. Apa ini? Racun?



“Aku yang berusaha membunuhmu kemarin malam. Aku juga yang membawamu ke sini… Aku tidak tega melihatmu mati bersimbah darah.” Pelukannya semakin kuat. Ia dengan sengaja menekan lukaku. Kurasakan darah segar merembes keluar ke bajuku. Aku berusaha berontak sekuat tenaga. Apa yang dia katakan? Apa dia sudah gila? Dia mencoba membunuhku? Mengapa?



“Kamu tahu apa yang kamu lakukan? Kamu telah membunuh anak kita! Menenggelamkannya di bak mandi hanya karena ia menangis terus... Malam itu, kamu menjadi tidak waras karena mabuk sebelumnya dan menganggap aku dan anakmu orang asing seperti biasanya. Lalu semua terjadi begitu saja. Dan kamu tidak pernah ingat akan itu! Aku, aku begitu mencintaimu! Kalau tidak, mana mungkin aku mau repot-repot mengurusimu! Tapi apa yang kamu lakukan padaku tidak bisa kumaafkan! Maaf sayang, tapi aku hanya ingin kamu pergi dari dunia ini, kita susul anak kita...” Wanita itu terus membekap mulut dan hidungku sambil memeluk diriku dengan kuat. Suaranya bergetar. Aku mulai merasa lemas. Jantungku sakit dan kepalaku sakit sekali.



“Rin…” Aku berusaha bicara, tetapi lukaku yang juga ikut tertekan karena pelukannya dan usahaku berontak menambah rasa sakit ini. Pengaruh racun itu juga membuat tenagaku terkuras. Aku mulai berhenti berontak. Akhirnya wanita itu melepaskan pelukannya. Wajahnya basah oleh air mata. Aku ingin meminta maaf padanya. Tapi suaraku tercekat di tenggorokan. Napasku tersengal-sengal. Demi Tuhan aku rela melakukan apa saja agar aku bisa mengenalnya lagi dan menebus kesalahanku kepadanya. Tapi sepertinya semua sudah terlalu terlambat baginya. Aku hanya menatapnya menjauh.



“Selamat tinggal, Rangga…” Ia meminum sebotol kecil cairan. Tak lama kemudian tubuhnya jatuh lemas.



Sekuat tenaga aku berusaha mencari tombol emergency. Pandanganku sudah mulai kabur, napasku sesak sekali dan rasanya jantungku mau pecah. Sedikit lagi... Terdengar seseorang berlari dari kejauhan. Kemudian aku hanya melihat kegelapan yang semakin jelas. Sekelebat bayangan tentang foto keluarga milikku terlintas dengan jelas di benakku. Aku, Rini, dan anakku yang masih kecil.



***

Empat hari kemudian…



Aku terbangun dari tidurku dengan susah payah. Badanku terasa sakit semua seperti remuk, terutama daerah sekitar tulang rusuk. Ah, apa yang terjadi? Ada luka tusukan di situ sepertinya. Aku tidak tahu mengapa aku bisa terdampar di rumah sakit. Yang pasti karena lukanya. Tapi bagaimana kronologisnya aku tak tahu sama sekali. Tetapi yang lebih menyakitkan bagiku adalah sebuah kekosongan yang aku rasakan begitu dahsyatnya yang tidak bisa kujelaskan. Namun kali ini, rasanya kekosongan itu semakin besar. Di dekatku ada foto seorang wanita asing. Aku memandanginya. Ada sesuatu yang membuat wanita itu begitu menghangatkan hatiku saat kupandangi foto itu. Semoga saja, siapapun kamu, baik-baik saja di manapun kamu berada.

4 komentar:

  1. Glek . . .

    >_< takut . . .

    BalasHapus
  2. Sebuah cerpen yang tersusun dengan sangat baik, kendatipun dibatasi dengan waktu. Tidak ada celah yang cukup lebar untuk dikritik dengan pedas, karena penulis sudah memiliki gayanya sendiri dalam merangkai kata.

    Mungkin, lain kali coba membuat cerita dengan alur yang mundur? ;)


    Terus menulis!

    BalasHapus
  3. keren! ada sedikit hawa2 psycho yg dikemas apik. Salut! b

    BalasHapus
  4. Wah,makasih banyak buat masukan dan respon dari teman-teman. :D

    Saya jarang nulis di WS nih... Hehe...

    BalasHapus

SANGAT DIANJURKAN untuk saling mengapresiasi atau mengkritik tulisan satu sama lain. Kita sama-sama belajar ya!