Peringatan keras: setiap karya yang dimuat di Writing Session dilindungi UU hak cipta & penjiplakan pada karya tersebut memiliki sanksi!

Minggu, 07 Agustus 2011

Air Mata Setiaku

Oleh: @z417un‏

Menangis adalah sedihku, kecewaku, marahku, senangku, haruku.


Ada banyak malam yang kulalui bersama tangisan. Air mata yang temaniku sampai terlelap, dan menyisakan bengkak di kelopak mata. Lalu jejak sedih masih terus terbawa sepanjang hari berikutnya. Tapi aku tidak menyesal. Setiap tangis itu usai, ada yang lain tersisa, kekuatan.


Jatuh adalah ketika aku merasa terpuruk sendiri di sudut kamar, menunggu sesak berakhir sambil terus terisak oleh aliran air mata. Ia enggan berhenti, bahkan sampai napasku hilang dan hanya bisa menghirup oksigen lewat rongga mulut. Waktu yang kukira mungkin akan terjadi tarikan napas terakhirku, keadaan terlemah saat tubuh hampir tidak bisa bergerak dan kepala yang teramat sakit untuk menampung lebih banyak beban. Waktu yang kukira menjadi saat yang tepat untuk malaikat maut memisahkan jiwa dan ragaku. Bukan hanya sekali, beberapa kesempatan terasa sesak seperti itu.


Tapi nyatanya aku salah, berkali-kali. Tuhan masih mengijinkan napasku kembali keesokan harinya. Dan saat aku terbangun untuk menyadari bahwa aku belum boleh lari dari masalah yang mencengkeramku kuat, aku sadar bahwa aku benar-benar tak bisa lari. Aku harus berdiri lagi, aku harus hadapi hari ini walaupun ditemani sisa kesedihan yang tergambar jelas di wajahku.


Lantas pikirku kembali jernih, setelah banyak air mata tumpah. Paling tidak aku tahu, ada sebagian beban yang menghilang, menguap bersamaan dengan tangisku semalam. Selalu ada yang berubah di pikiranku setelah menangis, bahwa harus ada yang dilepaskan, bahwa tidak semua harapku dan hasratku bisa menjadi nyata. Bahwa kecewa itu telah berlalu dan aku harus memaafkan, maaf untuk diriku sendiri. Dan marahku berlalu sebatas itu, sebanyak air mata yang keluar meninggalkan tubuhku.


Tangis gembiraku membuncah setiap saat, haruku kadang pun ditemani air mata. Namun ini tidak sesak, air mata tanpa sakit adalah yang terindah. Dia sekedar menemaniku, begitu saja. Kau tahu? Ketika aku mendapati hal yang kupikir mustahil sebelumnya, namun seketika terwujud di hadapanku. Itu saat terindah air mata menemaniku. Aku bahagia.


Aku tak pernah menghindari air mata. Ia memberiku kekuatan.

1 komentar:

SANGAT DIANJURKAN untuk saling mengapresiasi atau mengkritik tulisan satu sama lain. Kita sama-sama belajar ya!