Peringatan keras: setiap karya yang dimuat di Writing Session dilindungi UU hak cipta & penjiplakan pada karya tersebut memiliki sanksi!

Minggu, 07 Agustus 2011

Hilang

Oleh: @C_arice‏


Aku mendekap erat tubuh itu.


Namanya adalah Luvina Charica. Cantik. Itulah yang akan terpikirkan orang-orang saat melihatnya. Rambutnya yang berwarna coklat kehitaman, matanya yang hijau, dan senyumnya. Oh Tuhan, senyumannya dapat membuat waktu terhenti.
Pertama kali aku bertemu dengannya adalah di tempat ini, rumah sakit Haley. Waktu itu aku tertabrak mobil dan kakiku cacat. Saat membuka matapun, semua hal yang berarti dalam hidupku hilang. Rumahku terlahap si jago merah dengan ganasnya dan tak satupun. Satu jiwapun dalam kebakaran itu terselamatkan. Saking syoknya, aku hampir saja menerjunkan diriku dari lantai 6 rumah sakit itu. Namun saat itulah, aku bertemu dengan Luvina. Dengan cepat dia menarik tanganku dan menampar pipiku, aku tak memberontak saat melihat mata hijaunya. Matanya yang menatap tajam ke arahku.

Sejak saat itu, setiap hari dia menjengukku. Dan semakin hari, kami bertambah akrab. Dia menunjukan banyak hal dan kesenangan yang dapat dilakukan meski dengan kaki yang cacat. Dia sendiripun duduk di kursi roda. "Seharusnya kau bersyukur karena kau hanya cacat. Bukan lumpuh dan penyakitan seperti diriku ini. Di dunia ini asal kau tau, banyak orang yang memiliki hidup yang lebih menyesakkan dan menderita. Jadi," Dia berhenti dan menatap langit. "nikmatilah hidupmu selagi kau bisa."
Beberapa minggu kemudian, aku dapat berjalan kembali dan keluar dari rumah sakit. Karena rumahku yang sudah hangus, aku tinggal di kontrakan dan bekerja. Tapi setiap hari, aku akan kembali ke rumah sakit hanya untuk menemui Luvina. “Kau pasti akan sembuh sebentar lagi.” Kataku setiap hari. Tapi entah kenapa, setiap aku mengatakan hal itu, dia terus memandang jendela dengan mata menerawang. Membisu. Aku mohon jangan menyerah.
Hari ke-17 aku mengunjunginya. Seperti biasa, dengan membawa sebuket bunga matahari dan lili. Tetapi saat aku membuka pintu kamar itu, gelap sekali. Kontan aku berlari masuk menuju tempat tidurnya. Hanya sedetik saja, pikiranku sudah dimuati dengan berbagai kecemasan dan kekhawatiran. Dan waktu terasa terhenti, disanalah Luvina, terkulai lemas di tempat tidurnya. Pucat sekali. Tidak, ini tak mungkin terjadi! “LUVINA!” Aku memegang kedua bahunya dan menggoyangkannya. Aku mohon, bangunlah, kau pasti bercanda bukan? “Tidak. Jangan lakukan ini padaku Luvina!” Hening. Itulah balasannya. Tidak, jangan lakukan ini padaku. Tubuhku melemas, dengan tangan bergetaran dan pelan, aku mendekap erat tubuh itu. Perlahan-lahan air mataku terjatuh satu persatu dan aku mulai terisak. Aku menangis sekeras-kerasnya sambil mendekap tubuh itu. Kenapa kamu harus meninggalkanku? Aku berteriak, tangisanku seperti air terjun yang tak dapat dihentikan. Tapi walau menangis, tak akan terjadi perbedaan
Semuanya hilang sudah.

1 komentar:

SANGAT DIANJURKAN untuk saling mengapresiasi atau mengkritik tulisan satu sama lain. Kita sama-sama belajar ya!