Peringatan keras: setiap karya yang dimuat di Writing Session dilindungi UU hak cipta & penjiplakan pada karya tersebut memiliki sanksi!

Jumat, 05 Agustus 2011

Karena Salahnya

By: Rahmi Afzhi W. (@Afzhi_)

Semua berawal dari dia. Dia yang membuatku terluka. Dia yang memberikan sayatan dari sebuah pisau tajam. Tanpa ragu-ragu langsung menusuk ke hati. Menyisipkan luka yang membuat air mata jatuh tak terbendung lagi. Dia tidak mengerti. Dia tidak memahami. Membawaku terjatuh dihempaskan ke bumi. Aku sudah terlena selama ini. Aku tidak sempat mempersiapkan semuanya. Itu semua karena dia.

Dirinya, telah membuatku malu. Hanya malu sendiri. Tanpa membawa dirinya serta. Sempat kuminta padanya agar membiarkan aku berusaha menggapai citaku, membahagiakan kedua orang tuaku, menciptakan kebahagiaan dan kebanggaan yang terukir manis di hati mereka. Tetapi, itu semua sudah dia musnahkan, hancur tidak berkeping lagi. Namun telah menjadi bubuk bagaikan pasir di tepi pantai. “Untuk apa kamu belajar lagi? Toh otakmu juga sudah cerdas bukan? Biarkanlah otakmu yang sudah bekerja selama ini refreshing sebentar?” Itulah ucapan konyol yang dia katakan padaku. Dasar orang jahat. Maunya menang sendiri. Egois.

Aku menyesal selama ini tidak mendengarkan kalimat-kalimat indah yang terucap dari mulut ayah dan ibuku. Aku menyesal telah menjadi orang bodoh yang tidak tahu diuntung. Begitu besar cinta dan kasih kedua orang tuaku, namun malah kubalas dengan siraman air panas yang membuat hati mereka melepuh. Ini semua masih karena dia. Ini semua salahnya. Hanya gara-gara cintanya yang tidak lebih besar dari batu-batu kerikil di jalanan, aku terbuai. Melupakan buku-buku ilmu pengetahuan yang menjadi panduan ketika kubelajar. Menyampakkan buku-buku catatan yang berisi goresan-goresan dari tanganku sendiri yang seharusnya kuhafal dan kupelajari. Ujian semester kenaikan kelas saat itu sangat tak berharga rasanya bagiku. Itu semua karena dia.

Dia yang mengajakku pergi jalan-jalan entah kemana. Dimana dia selalu mengatakan itu dengan sebutan kencan. Menghabiskan waktuku yang seharusnya untuk belajar. Pagi sekolah, siang pergi berhura-hura nggak jelas sampai sore dengannya. Malamnya, serangan kantuk ini sungguh berat sehingga aku tertidur pulas sampai pagi. Sedangkan dia, ternyata belajar malam harinya dengan guru private yang dipesan papi maminya. Maklum, aku tahu dia orang kaya. Tapi, aku membencinya. Bukan karena hartanya. Namun karena kekriminalannya. Dia membuat raporku diisi dengan angka-angka merah alias kebakaran. Aku tahu dia selalu iri padaku. Walau pun aku tidak mendapat juara kelas, namun Alhamdulillah aku selalu masuk 15 besar. Sedangkan dia selalu di bawahku. Aku pun tahu dia ingin menyingkirkan kedudukanku. Dan caranya berhasil. Aku dan ibuku menangis saat pengambilan rapor. Tetapi, Alhamdulillah guruku mengerti kemampuanku. Beliau masih memberiku kesempatan dengan naik kelas bersyarat. Sejak itu aku tidak mau lagi berhubungan dengannya atau pun sekedar teman. Karena aku benci penjahat kampungan sepertinya.

2 komentar:

  1. Seperti gumpalan permata yang malu malu memancarkan kelap kelipnya....

    Atau jeritan hati yang tertutup oleh sebuah kabut. . .

    BalasHapus
  2. maaf, Itu maksudnya apa? Aku gk ngerti.

    BalasHapus

SANGAT DIANJURKAN untuk saling mengapresiasi atau mengkritik tulisan satu sama lain. Kita sama-sama belajar ya!