Oleh: Charlie Trisuligna
“Osama mati,….Osama mati”, seketika suasana riuh sesaat didalam bar itu setelah Presiden Barrack Obama mengakhiri pidatonya tentang kematian orang yang paling dicari dalam satu dasawarsa ini. Ratusan orang-orang turun kejalan merayakannya kebahagiaan terpancar di wajah mereka, namun entah aku malah merasa hatiku kosong.
Lewat sepuluh tahun sejak tragedi tanggal 11 September 2001, Osama menjadi orang yang paling dicari diseluruh dunia karena ia dinilai bertanggung jawab atas serangan-serangan yang menewaskan ribuan orang-orang tidak berdosa, termasuk kerabat-kerabat kami.
tidak lama berselang Presiden saat itu, George Walker Bush, menyatakan perang atas Aghanistan karena dinilai melindungi Osama, ribuan anak-anak muda kembali dikirim ke Afghanistan untuk memburu Osama, meskipun banyak yang menilai akhirnya perang tersebut berhasil kami menangkan namun tidak dapat dipungkiri perang itu telah memakan lebih banyak lagi korban di keduabelah pihak.
Tiba-tiba seseorang menepuk bahuku dan berkata,“hey, bung, mengapa kau masih termenung, iblis itu telah mati sekarang, ayo aku traktir kau bir untuk kemenangan umat manusia ini”.
Aku tersenyum kecil menanggapi tawarannya, “tidak, terimakasih, mungkin aku akan merayakannya bersama orang-orang di jalanan sana saja” aku menjawab sambil berlalu.
Aku melangkah keluar dari bar itu, kulihat sudah banyak orang-orang turun ke jalan, aku menyalakan rokok ku dan berjalan menjauhi keramaian itu. di dalam hati aku tidak berhenti bertanya mengapa aku tidak bisa berbahagia seperti mereka. seharusnya dengan kematiannya akulah yang paling berbahagia, ialah yang bertanggung jawab atas bencana yang telah menewaskan istriku dan putriku tercinta, dan karena bom bunuh diri yang dilakukan oleh para pengikutnya pula putraku tersayang meninggal di medan perang, ialah yang paling bertanggung jawab merebut semua kebahagiaanku, hingga aku terpuruk saat ini namun mengapa aku tetap tidak bisa merasakan semua kebahagiaa itu?.
Begitu mahalkah harga yang harus kutanggung atas semua dendam ini. mengapa ketika dendam itu terbalas perih dihatiku tetap tidak mau hilang. Aku tidak kuat lagi menahan semuanya,dan dilorong kecil itu, diantara semua tawa riang kebahagiaan orang, aku meraung-raung sendirian. Sungguh hanya orang-orang yang tidak pernah merasakan kesedihan akibat perang lah yang dapat dengan mudahnya menyatakan perang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
SANGAT DIANJURKAN untuk saling mengapresiasi atau mengkritik tulisan satu sama lain. Kita sama-sama belajar ya!