Peringatan keras: setiap karya yang dimuat di Writing Session dilindungi UU hak cipta & penjiplakan pada karya tersebut memiliki sanksi!

Kamis, 26 Mei 2011

Kata-Kata yang Tertunda

Oleh: Lidya Christina (@lid_yang)

http://Lcy-thoughts.blogspot.com



Aku hentikan langkahku sesaat setelah berpamitan pada ibuku. Tanganku masih pada pegangan pintu, hanya badanku yang ku toleh ke belakang.



“Ada apa?” tanya ibuku, nadanya lembut. Hari ini suara ibu kedengaran lebih lemah dibandingkan dengan hari lainnya. Ah, tidak, bukan. Hanya imajinasiku saja. Wajah ibu, senyumannya masih seperti biasanya, seperti matahari yang menerangi hatiku.



“Saya…” kata-kataku terputus. Ah, besok saja lah, kan masih ada kesempatan lain, pikirku dalam hati. “Nggak kok, ma. Nggak apa-apa. Saya berangkat, ya.”



“Iya, hati-hati.”



Sebenarnya sudah lama aku ingin mengatakannya pada ibuku. Tetapi, selalu saja ku tunda, selalu saja ada alasan yang ku buat untuk memaafkan diriku.



Seperti hari itu, hari ulang tahun ibu. Ibu terlihat begitu senang dengan pesta kejutan yang direncanakan oleh anak-anaknya yang kelebihan waktu dan tenaga ini. Meski hanya pesta kecil, hanya aku, kakakku, dan tentu saja ibuku, ibu begitu bahagia. Itu pertama kalinya ibu meminta kami untuk mengambil foto. Biasanya ini permintaan kami, dan biasanya, selalu saja ditolak oleh sang idola di keluarga kami ini. Saat ibuku memotong kuenya, saat memberikan hadiah padanya, hampir saja kata-kata itu keluar dari mulutku. Tetapi, selalu saja aku telan kembali. Lain kali saja lah, nanti suasananya aneh pula, alasanku selalu saja berhasil menggagalkan niatku.



*



Kerja paruh waktu. Salah satu caraku untuk meringankan beban ibuku. Ayahku pergi meninggalkan kami sejak aku masih kecil, menelantarkan kami, boleh dikatakan begitu. Ibuku dengan susah payah membesarkan aku dan kakakku. Kakakku, agar aku dapat meneruskan pendidikanku, memutuskan untuk tidak kuliah dan memasuki dunia kerja begitu tamat SMK. Untuk keluargaku ini, aku kuliah sambil kerja. Hasilnya memang tidak banyak, tetapi aku puas dan ibuku bangga. Itu saja sudah cukup.



“Risa, ada telpon tuh. Hpmu bunyi.”



Aku bergegas ke ruang karyawan. Dari kakak.



“Sa, cepat ke rumah sakit. Penyakit mama kambuh, sedang kritis. Cepat.”



*



Sepanjang perjalananku ke rumah sakit, pikiranku hanya ibuku, hari-hari bersamanya, dan juga, kata-kata yang belum sempat ku ucapkan. Kata-kata yang selalu tertunda karena alasanku yang banyak itu.



“Ma, Risa sayang mama. Risa janji akan jaga mama. Jadi, berikan Risa kesempatan itu, ya. I love you.”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

SANGAT DIANJURKAN untuk saling mengapresiasi atau mengkritik tulisan satu sama lain. Kita sama-sama belajar ya!