Peringatan keras: setiap karya yang dimuat di Writing Session dilindungi UU hak cipta & penjiplakan pada karya tersebut memiliki sanksi!

Selasa, 10 Mei 2011

Diki A.

Oleh: Lidya Christina (@lid_yang)

Lcy-thoughts.blogspot.com

“Pak, itu Diki bukan?” Kata Pino, anak tetangga sebelah. Pak Amir hanya mengangguk.



Di layar televisi, tampak seorang pria muda tampan, berdiri di samping seorang bapak tua yang seumuran dengan Pak Amir sendiri. Pria muda itu menggandeng tangan bapak tua tersebut. Di bawahnya ada sebaris tulisan :



Penyerahan Resmi Bank Inova dari Bapak Rio Agustio kepada Anaknya, Diki A.



Perasaan bangga bercampur dengan sedih di hatinya. Dia senang, anak yang dididiknya itu kini sudah menjadi seseorang yang berprestasi, seseorang yang sukses. Ternyata tidak salah dia menyerahkan anaknya itu kembali kepada ayah kandungnya. Ah, tidak, bukan anaknya lagi. Diki sudah bukan anaknya semenjak dia pergi meninggalkannya, bersama dengan ayah kandungnya.



Dia masih ingat, saat dia menemukan Diki di depan rumahnya. Diki Agustio. Namanya dan keterangan lain tentangnya dituliskan kertas kecil yang diselipkan di dalam keranjang tempat Diki kecil sedang tidur pulas. Dia membawa bayi mungil itu ke dalam rumahnya, dan mulailah kehidupan barunya.



Pak Amir sudah lama hidup sebatang kara. Istrinya meninggal dalam kecelakaan dengan anak semata wayangnya. Sejak menemukan Diki, kehidupannya berubah. Rumah yang biasanya sepi, diramaikan oleh tangis dan tawa Diki. Ruangan yang biasanya hanya berisi perabot dipenuhi oleh mainan-mainan dan buku-buku. Seiring dengan semakin besarnya Diki, dinding dihiasi oleh foto-foto Diki, foto dari dia kecil hingga tamat SMA.



Dia teringat hari itu, hari saat bapak kandung Diki datang berkunjung. Beberapa hari selanjutnya, Diki sering termenung. Dia tahu Diki susah memilih antara mereka berdua, antara dia dan bapak kandungnya. Dia sendiri yang menyarankan Diki untuk pergi dengan bapak kandungnya, pemilik bank ternama itu.



“PAK AMIR!!” Teriakan Pino menariknya kembali dari lamunannya. “Kok bengong seh? Ini nih Diki mau bicara!” Dikuatkannya volume televisi.



“Saya ingin mengucapkan terima kasih kepada banyak orang, terutama kepada ayahku.”



Hati Pak Amir berdenyut kencang. Pembawa acara meminta Diki untuk melihat ayahnya yang duduk di sampingnya. Diki hanya menggeleng dan terus melihat ke arah kamera.



“Terima kasih ayah, sudah membesarkan Diki. Terima kasih, ayah, yang mengajarkanku bagaimana bersepeda, bagaimana bermain bola, membaca dan menulis, bagaimana menjadi seorang yang lebih baik. Terima kasih selalu menungguku saat saya pulang telat, selalu menjagaku saat saya sakit hingga akhirnya ayah pula yang jatuh sakit. Terima kasih telah memarahiku, saya tahu, ayah lebih sedih saat saya berbuat salah. Terima kasih telah membelaku saat mereka menuduhku. Terima kasih telah mempercayaiku saat semua orang tidak. Terima kasih telah menegurku saat saya hampir mengambil jalan yang salah. Terima kasih telah memberiku kesempatan untuk sukses. Ayah, tanpamu Diki tidak akan bisa seperti ini. Namaku Diki A. A dari Ayah, A dari Amirulah. Diki Amirulah. Dulu, sekarang, dan selamanya.”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

SANGAT DIANJURKAN untuk saling mengapresiasi atau mengkritik tulisan satu sama lain. Kita sama-sama belajar ya!