Peringatan keras: setiap karya yang dimuat di Writing Session dilindungi UU hak cipta & penjiplakan pada karya tersebut memiliki sanksi!

Senin, 30 Mei 2011

Malaikat itu adalah..

Oleh @TengkuAR

            Jika kamu tanya siapa Malaikatku, aku akan menjawab dengan tegas yaitu ‘Kamu’. Banyak hal yang kamu telah ajarkan kepadaku. Meskipun kadang aku menerima ajaranmu yang bisa dikategorikan agak sedikit keras yang mungkin orang lain tidak sanggup untuk mengambil pembelajaran yang kamu berikan atau mungkin akan kapok untuk berada di dekatmu. Tapi tidak buatku. Aku bertahan karena rasaku padamu. Aku bertahan dan mau belajar karena aku adalah pasanganmu saat itu yang memang harusnya bisa mengerti dan tahu kamu seperti apa. Ini dapat dihubungkan dengan rasa sayangku kepadamu. Rasa yang kurasakan. Di sini. Di dalam hatiku.
            Sebagai Malaikat yang telah kupilih memang sudah sepantasnya aku menerimamu apa adanya bahkan dalam kondisi saat kamu sudah tidak lagi mencintaiku. Sudah tidak ada lagi rasa kepadaku. Sudah tidak ada lagi hubungan. Dan aku siap untuk segalanya.
            Ingatkah kamu saat kita pertama kali berkenalan? Saat aku datang ke tempatmu? Saat aku mengajakmu makan malam? Ingatan itu masih terlihat jelas di pikiranku. Momen-momen yang tak pernah kulupakan, seandainya saja dapat kubingkai lalu kupasang di dinding kamarku pasti akan terlihat indah dan menambah pemandangan yang menyegarkan. Tapi itu dulu, sekarang sudah tak mungkin lagi untuk diulang.
            Ibarat sebuah pohon yang sudah termakan usia dan tak lagi produktif untuk melakukan pembuahan dan mempunyai selembar daun pun. Kering kerontang dengan ranting-ranting yang bila di sentuh akan patah lalu jatuh ke tanah. Tak bernyawa hanya jasadnya saja yang tetap utuh dan menunggu waktu untuk segera hilang. Itulah aku.
            Aku bisa setegar ini sekarang karena kamu.
            “I’ve been thinking Babe..”, tiba-tiba kamu membuka obrolan selagiku sedang asyik menonton televisi. Segera kukecilkan suara dari televisi itu.
            “What Tak?”, kubalas dengan sebutan sayangmu dariku, yang dari dulu aku mempredikati kamu dengan sebutan ‘Botak’. Sebutan itu muncul karena potongan rambutmu botak dari awal hingga saat itu.
            Kemudian, sambil meraih tanganku, kamu melanjutkan kalimat yang menggantung.
            “Ya, aku sudah memikirkan..aku..bagaimana aku harus bicara ya..aku bingung, Babe.”
            “Katakan Tak..aku menunggu.”, jawabku penasaran.
            “Kamu percaya bahwa cinta tak harus memiliki, maksudku, dua orang yang saling tetap cinta akan selalu merasakan hal yang sama seperti sayang, kangen dan lain-lain tapi kondisilah yang membuat mereka tidak bersatu, tidak saling bertemu dan tidak tinggal bersama.”, jelasnya.
            “Aku masih belum mengerti Tak. Tapi coba kamu lanjutkan lagi.”.
            “Aku..”, kamu terdiam sesaat untuk menarik napas dan meneruskan pembicaraan.
            “Aku masih sayang sama kamu Babe. Tapi satu sisi aku mau hubungan kita berakhir. Dan aku ingin kita tetap berteman atau mungkin sebagai kakak-adik yang saling menjaga dan tetap bisa sharing cerita apapun.”
            “Kamu..kita putus?”, kali ini aku juga ikutan menarik napas dan percakapan yang tidak pernah ada dipikiranku. Saat itu.
            “I..iya. Aku ingin kita menyudahi hubungan ini. Aku ingin mengurus keluargaku. Aku ingin focus ke mereka. Aku mau..”, kamu berusaha menjelaskan.
            “Tapi kenapa Tak?”, tanyaku dengan mata mulai berkaca-kaca.
            “Seperti aku jelaskan tadi. Aku ingin focus mengurus keluargaku. Sometimes suddenly people changes kan Babe. Salahin aku dalam hal ini. Aku sudah memikirkan ini tanpa sepengetahuan kamu sejak lama. Dan memang tidak bisa aku ceritakan itu karena aku masih butuh waktu untuk mengungkapkannya sama kamu, Babe. Aku tahu kamu pasti tidak akan terima penjelasan-penjelasanku tadi. Tapi aku juga lelah jadi orang munafik dan membohongi perasaanku..”
            “Jadi kamu sudah tidak sayang dan cinta aku lagi? Begitu Tak?”, potongku.
            “Bukan…bukan begitu. Saat ini aku masih sangat sayang sama kamu. Aku masih cinta. Tapi banyak hal yang harus aku korbankan untuk tidak menjadi orang munafik dan harus memasang topeng dihadapan kamu, Babe. Aku hanya ingin mengurus keluargaku. Dan aku harap kamu mengerti itu.”, tuntutnya.
            “Aku harus mengerti kamu dengan keputusan kamu yang sepihak dan mendadak itu. Aku harus menerima setiap kata-kata yang kamu ucapkan. Aku..”, tergagap dengan cucuran air mata.
            “Babe, kamu masih sayang aku kan? Aku yakin dengan kemungkinan terburuk tanpa aku nantinya kamu bakalan tetap kuat menjalani hidup ini karena aku tahu kamu. Kita bertahan hampir lima tahun dalam hubungan seperti ini dan selama itu aku tahu kamu luar-dalam. Kamu orang yang kuat, pintar dan gak gampang nyerah…”
            “Cukup Tak!”, bentakku karena tak kuat untuk mendengarkan lagi alasan-alasan yang kamu berikan saat itu.
            “Iya, aku mengerti. Aku mengerti Tak!”, aku berkata sambil beranjak pergi dari ruang tamunya untuk bergegas pulang. Saat itu aku hancur. Aku berantakan. I am none. I don’t belong to anyone. Empty.
***
            Sekarang, beberapa tahun kemudian, berkat kamu. Aku menjadi pribadi yang tegar dan punya nurani dengan orang-orang sekelilingku. Aku menjadi pribadi yang ceria. Memang kita tak pernah berhubungan lagi semenjak keputusan sepihak kamu. Namun banyak pelajaran yang aku ambil dan maknai dari kejadian itu. Dan aku tidak pernah lupakan apa yang pernah kamu ajarkan hingga saat ini. Sekarang.
            Seandainya ada kesempatan bertemu hanya satu hal yang ingin aku ucapkan yaitu “Terima kasih, Tak!”.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

SANGAT DIANJURKAN untuk saling mengapresiasi atau mengkritik tulisan satu sama lain. Kita sama-sama belajar ya!