Peringatan keras: setiap karya yang dimuat di Writing Session dilindungi UU hak cipta & penjiplakan pada karya tersebut memiliki sanksi!

Sabtu, 28 Mei 2011

KO

Oleh: Muhammad Faris Solihin ( @Farissolihin)

Sasana Tinju Joordan, pukul 6 pagi di suatu minggu. Ketika semua insane Tuhan masih tertiudr lelap terbuai mimpi, aku sudah dua jam di sini, menghajar sandbag usang ini.

Memang beginilah Indonesia kawan. Mereka hanya pandai berkata, tanpa mau merealisasikan perkataan mereka. Mereka membual, tepatnya kawan. Aku sudah banyak sekali mendengar banyak mimpi manusia Indonesia saat masih kelas 1 SD, mereka ingin jadi orang sukses. Entah itu dokter, pengusaha, atau, apapun yang menghasilkan banyak uang. Mereka terinspirasi dar ayah mereka yang kaya raya, banyak uang, rumah besar, mobil mewah, pergi keluar negeri seperti buang air besar saja, menjadi rutinitas wajib setiap bulan. Mereka pun tertantang, atau tergiur tepatnya, akan kesuksesan ayah mereka. Maka mati-matianlah mereka belajar saat SD, lulus dengan predikat terbaik, sempurna, tanpa cela. Baru lulus SD tapi bagai sudah memegang dunia saja. Optimisme tinggi terpancar. Tapi, semakin mereka beranjak dewasa, malah semakin pudarlah mimpi mereka kawan! Mereka makin terperangkap oleh kesenangan dan huru-hara, mereka mulai sering menenggak alcohol, menghambur-hamburkan uang ayah mereka untuk kesenangan semu. Semua itu membuat mereka lupa akan mimpi indah mereka saat masih kecil kawan. Kalau dalam bahasaku, mimpi mereka dipukul KO oleh kesenangan semu. Kenapa semu? Ya mereka menikmati semuanya dengan harta ayah mereka, yang dimana saat kecil mereka berharap bisa memperoleh semua dengan keringat sendiri hasil mimpi indahnya! Kalau ayah mereka mati? Ya mati pulalah mereka. Apa gunanya manusia tanpa mimpi yang sudah terbaring dipukul KO? Dan visualisasi kejadian sehari-hari dari semua itu, ya inilah kawan. Pagi buta seperti ini masih berselimut, padahal bagi petinju sepertiku, pagi hari adalah waktu untuk berlatih fisik, mempertajam teknik. Tambahan, tapi tidak jam 6 pagi seperti ini. Aku sengaja berlatih lebih pagi, karena malam nanti, ya, malam nanti, aku akan melakukan pertandingan personal yang sangat berat.

Aku kembali melancarkan left hook andalanku ke sandbag tua ini. Left hook adalah kebanggaanku kawan. Semua ini kuperoleh dari latihan setiap hari tanpa henti, bukan dari sesumbar omong kosong di jejaring social “Aku akan sukses” tanpa realisasi tindakan nyata. Left hook ini sudah menasbihkanku sebagai juara tinju amatir nasional kawan! Sekali lagi, dengan proses panjang tanpa kenal lelah. aku selalu terinspirasi akan kata Cris John, “Orang hanya mengenal saya seperti sekarang ini; sukses, terkenal, dan memiliki banyak uang. Tapi kebanyakan dari mereka tidak tahu bagaimana saya berjuang, sejak kecil digembleng ayah saya berlatih tinju dan saya hampir tidak mempunyai waktu bermain seperti anak sebaya saya. Dan itulah yang aku alami sejak lulus SD. Itulah yang membedakan mimpiku dan mimpi teman-temanku. Aku merealisasikannya dan menutup semua peluang yang memungkinkanku melenceng dari cita-citaku dengan berlatih keras tanpa peduli, sedang teman-temanku sebaliknya.

Kembali ke topic bahasan tadi, aku berlatih sepagi ini, selain ingin menghirup udara segar, juga karena aku akan menjalani pertandingan personal yang sangat berat. Aku berlatih dua kali lebih keras dari biasanya pagi ini karena seorang wanita. Ya, wanita! Bukan wanita biasa sih memang.

Aku melancarkan left hook terakhirku, menimbulkan suara ‘bug’ yang amat sangat keras. Sejurus kemudian aku duduk di kursi kelelahan, kemudian meminum air dengan cepat. Aku diam sejenak, kemudian melihat jam, sudah jam 7 pagi rupanya. Aku melihat ke arah pintu, yang dibuka oleh seseorang. Ketika melihat sosoknya, aku tersenyum.

“Wah, kamu sudah disini Van? Rajin sekali.”

“Ya, daripada dipukul KO olehmu nanti malam.” Aku tersenyum kepadanya.

“Hahahahahaha dasar.” Katanya sambil menutup pintu. Kemudian menatapku. “Justru aku yang takut, hai juara nasional.”

Aku berdiri dan berjalan mendekatinya, kemudian membelai pipinya, “Kamu terlalu merendah Diandra…ah ough!”

“Jangan coba-coba,” katanya setelah melontarkan straight kanannya. “Kalau mau aku bisa menghajarmu dan membuatmu bertanding penuh luka menyakitkan nanti malam.”

“Aduh, pagi-pagi sudah galak.” Kuusap mukaku. Lebam, memar.

“Hahahaha, bercanda Ivan.” Diandra menjawil pipiku. Aku panas dingin diperlakukan oleh malaikat cantik perkasa ini.

“Keras ya candaanmu nak. Aku balas nanti malam ya.”

“Kalau kamu bisa.” Dia mengedipkan matanya. “Kamu belum sarapan kan? Ayo makan. Aku yakin kamu sudah berlatih keras pagi ini. Kamu pasti lapar.”

“Wah siap ayo.”

Kami berjalan beriringan keluar dari Sasana Tinju Joordan. Kukunci pintunya, karena hari minggu sasana ini memang tutup.
               
“Kemana nih tuan putri?”

“Hmmmm, bubur Mang Ayip yuk!”

“Hah? Jauh-jauh banget. 10 kilometer untuk bubur?” Protesku. Tempat bubur yang dimaksud Diandra itu memang melegenda lezatnya, tapi jaraknya juga tidak tanggung-tanggung. Bandung-Cimahi untuk semangkok bubur?

“Hmmm ayolah aku udah 2 bulan nggak makan di sana.”

“Setiap hari minggu aku sarapan di sana.”

“Ya kan kamu! Ayolah.” Rengeknya. Kemudian dia memegang tanganku, menatapku lekat-lekat dengan mata bundarnya yang polos. Aku menyerah, takluk dengan pesona matanya.

Sejurus kemudian kami sudah dalam perjalanan dengan mobil Diandra. Aku hanya diam, melamunkan gadis cantik di sampingku yang akan aku hajar nanti malam. Ya, kalau aku bisa, aku meringis. Sambil menyetir aku memikirkan betapa ajaibnya Diandra.

Diandra Dwi Putri, cewek yang terlahir kembar 19 tahun yang lalu, sebaya denganku. Kembarannya, Dinda Dwi Putri adalah cewek sejati. Berbanding 180 derajat dengan Diandra. Meski paras keduanya identik, sangat cantik dengan mata bundar besar yang polos, muka bersih tanpa cela, bibir merah ranum, rambut dibiarkan tergerai sepunggung. Tubuhnya? Ah, jangan tanya. Setiap teman cowokku yang pertama kali bertemu dengannya, tertipu dengan muka polosnya, mencoba berbuat nakal kepada tubuhnya yang menggoda. Tetapi akhur cerita dari mereka semua selalu sama: Pulang dengan hidung patah, minimal memar di muka. Di balik aduhai tubuhnya dan pesona wajahnya, dia adalah rangking 1 angkatan 3 tahun berturut-turut semasa SMA dulu. Sempurna sekali.

Diandra Dwi Putri. Anak dari Daud Joordan, satu-satunya petinju Indonesia yang bisa meraih gelar juara di dua kelas yang berbeda. Satu-satunya petinju Indonesia yang memukul KO Chris John. Dan, satu-satunya petinju professional wanita asal Indonesia yang kukenal. Ya, dia sudah pro, sedang aku masih amatir.

Diandra Dwi Putri. Cewek pujaanku sejak SMA. Karena dia jugalah aku lebih termotivasi memenuhi mimpiku sejak kecil, menjadi petinju. Aku masuk ke Sasana Tinju Joordan milik ayahnya, berlatih mati-matian di sana, dan jadi juara tinju amatir nasional. Namun, meski kami jadi dekat sejak aku masuk sasana tinju ayahnya, meski namaku, Ivan Katsuki Putra sudah tercatat sebagai pemegang sabuk tinju amatir nasional, dia belum menunjukkan bahwa dia suka padaku. Aku frustasi, pada akhirnya aku menyatakan perasaanku 3 bulan yang lalu. Jawabannya masih kurekam sampai sekarang.

“Ivan Katsuki Putra, jujur, sepertinya aku menyimpan rasa kepadamu. Hatiku selalu bergetar ketika berpapasan denganmu. Kamu sudah bagai buang air besar, serasa aneh tidak bertemu denganmu sehari saja”

Aku sudah senang mendengarnya tapi agak cemberut disamakan dengan buang air besar.
               
“Tapi, aku tak mau kamu mendapatkan cintaku begitu saja. Aku milikmu jika kamu bisa memenuhi syarat ini.”
               
“Apa?”

“Pukul KO aku, dengan begitu kamu memukul KO keteguhan hatiku.”

Dan begitulah ceritanya. Aku berlatih mati-matian selama 3 bulan dan akhirnya tiba hari ini. Hari dimana aku harus memukul pujaan hatiku demi menaklukkan tembok hatinya.

“Hei halo heeeeeei udah kemana aja sayang? Ngelamun aja, kita udah kelewatan nih! Cepet putar balik!”

Aku terbangun dari lamunanku, kemudian tersenyum saat sadar dia memanggilku “sayang”. Aku hanya tinggal menjatuhkannya nanti malam dan resmilah Ivan menaklukkan hati Diandra.

Akhirnya kami sampai di kios bubur Mang Ayip. Kami benar-benar menikmati pagi beranjak siang di sana. Diandra sangat cantik pagi itu. Memakai baju panjang belang-belangnya dan celana jeans pendek, rambut hitamnya dibiarkan tergerai, wangi parfum strawberry yang memabukkan. Dan semangkok bubur. Diandra ratu dunia pagi ini.

Selesai sarapan, aku pulang ke rumahku yang tak jauh dari kios bubur Mang Ayip dan Diandra pulang dengan mobilnya. Aku bahagia sekali hari ini. Tapi aku ingat, perjuangan mendapat cinta baru akan dimulai malam nanti. Malam ini, mungkin akan menjadi jawaban akan penantian panjang sejak SMA, pukul KO dan dunia milikku, atau kau akan jadi pecundang. Aku sudah berlatih dua kali lebih keras darinya, jadi tidak ada alasan untuk kalah nanti malam.

Tapi…jujur, masih ada yang mengganjal hatiku. Bagaimanapun, memukul jatuh orang yang sangat kusayangi itu sangat berat kawan. Bayangkan saja, sosok yang akan aku pukul adalah pujaan hatiku sejak SMA. Adakah keberanian , lebih tepatnya apakah mentalku siap? Jujur, aku takut jawabannya tidak.

Ketika sedang galau-galaunya, mendadak ada SMS masuk. Kubaca. Deg. Dari Diandra. Kubaca SMSnya.

“Hai sayang. Ini mungkin akan jadi panggilan sayangku yang terakhir. Meski jujur aku punya hasrat kepadamu, namun harga diriku terlalu tinggi untuk dipukul KO. Kecup basah terakhir. Diandra.”

Oke. SMS ini menjelaskan semua kegalauanku tadi. Benar. Harga dirinya terlalu tinggi untuk mengakui keunggulan seseorang dalam tinju. Dia anak Daud Joordan. Jadi tiada tempat untuk kalah. Hatiku kini mantap sudah.

Sasana Tinju Joordan, pukul 7 malam di suatu minggu. Aku mendengar suara sandbag yang dipukul sebelum aku masuk. Ketika kubuka pintu, tampaklah Diandra yang sudah bercucuran keringat. Lengkap dengan hlm pengaman dan sarung tinju.

“Hai.”

“Hai. Mau langsung mulai?” Tanya Diandra tanpa basa-basi. Berbeda dengan tadi pagi, kini dia menatapku dingin dengan muka sedingin es. Dengan helm dan sarung tinjunya yang membuat dia terlihat sangar, tetapi dengan muka cantiknya, dia mirip Megan Fox dengan aura seperti Arnold Schwarzenegger. Indah tapi mematikan.

“Siap.”

“Tiga ronde ya. Mengikuti aturan tinju amatir saja biar cepat. Satu ronde dua menit.”

Aku tak menjawab, hanya mengangguk setuju. Aku sudah tak sabar memastikan hubunganku dengan Diandra. Aku masuk ke ruang ganti, mengganti kostum dan memakai sarung tinjuku. Sebelum keluar dari ruang ganti aku menatap diriku di kaca yang terletak di sana, kemudian bergumam, “Ini saatnya Van!”

Aku pun keluar dari ruang ganti. Tampak Diandra sudah siap di atas ring. Aku pun naik ke atas ring dan mendekatinya.

“Apakah kamu gugup?” Tanya Diandra.

“Tidak sama sekali.”

“Kamu bohong. Aku bisa membacanya.”

“Untuk apa aku gugup? Aku sudah berlatih keras selama tiga bulan ini. Kamu lihat tadi pagi bahkan aku berlatih dari pukul empat. Aku sudah mempersiapkan semuanya. Aku…”

“Bukan gugup itu yang kumaksud.” Potong Diandra.

“Lalu?”
               
“Maksudku, kamu siap memukul jatuh aku?” Diandra menunjuk dirinya.

“Ya. Demi cintamu kan?”

“Kamu terlihat begitu yakin.”

“Kenapa harus ragu?”

“Aku aneh melihat perubahanmu ini. Aku tahu, saat aku menantangmu tiga bulan lalu kamu bimbang. Bagaimana mungkin kamu tega memukul jatuh gadis kecilmu ini? Tapi kamu menutupi perasaanmu itu dengan berlatih sangat keras. Kamu bayangkan aku adalah sandbag kumal itu, harus dihajar dengan left hookmu yang mematikan. Kamu membuang semua perasaanmu padaku, mungkin ya kecuali tadi pagi. Apa yang membuatmu terlihat siap seperti ini?”

“Apakah harus kuberitahukan padamu?”

“Kamu begitu takut.”
               
“Takut pada apa?”

“Kamu takut keteguhan hatimu itu hancur.”

“Kenapa harus takut?”

“Kamu itu takut Ivan.”

“Ya aku takut pada ayahmu. Tapi aku tidak takut memukulmu sekarang yang terlalu banyak bicara!” Aku mulai marah. Kulancarkan pukulan jab kanan-hook kiri. Aku muak dengan tingkahnya yang berusaha menjatuhkanku.

Diandra dengan tenang menangkis jab kananku, kemudian menghindar ke kanan dengan lembut. Hook kiriku memukul udara. Pada saat yang bersamaan dia melontarkan swing dengan tangan kanannya dengan sangat cepat, seperti biasa. Aku yang tak siap karena pukulanku tadi terbawa emosi, menerima dengan telak swing tersebut. Aku mengaduh, tubuhku terhentak ke belakang.

“Apa-apaan itu Ivan Katsuki Putra?! Menyerang dengan nafsu bukanlah naluri juara nasional. Bertandinglah dengan serius!!”

Inilah Diandra Dwi Putri ketika di atas ring. Seksi namun menakutkan.

Aku kembali pasang kuda-kuda.

Diandra, dengan foot stepnya yang cepat tiba-tiba sudah berdiri di depanku. Jab kanan-kiri dia lontarkan. Untungnya back stepku tak kalah cepat. Kami kembali membuat jarak.

Ingat-ingat kelemahannya Ivan…aku terus berusaha mengingat. Namun left hook andalanku pun bisa dihndarinya dengan mudah. Jadi apa dia punya kelemahan? Oh iya! Aku ingat!

Aku pun berputar-putar di atas ring. Mencoba melihat peluang.

Tiba-tiba Diandra sudah di depanku lagi. Kesempatan datang!

Aku dengan cepat melontarkan cross, yang dimana aku tidak pernah menggunakannya dalam bertanding. Kuarahkan tepat ke dada.

Sesuai dugaanku, kosentrasinya hancur. Dia menghindar ke kanan dengan liar tanpa teknik. Hahahaha. Aku sudah sangat hafal akan kelakuannya. Dia paling takut kalau ada cowok yang berkelakuan seperti itu. Kalau sama cowok biasa dengan teknik menghindar seperti itu dia bisa saja langsung memukul hidung mereka sampai patah, seperti biasa. Tapi tidak bisa denganku. Dengan cepat kulancarkan jab kanan, tepat ke rahangnya. Dan…dia pun terjatuh. Knockout!

Aku menjatuhkannya!

Sejurus kemudian, aku bantu dia berdiri. Kulihat sepertinya pukulan tadi cukup sakit, tapi terlihat Diandra seperti tidak merasakan apa-apa. Aku meringis

“Hehehehe, penuhi janjimu Diandra!”

Kulihat dia berdiri dengan cepat, benar-benar cewek perkasa.

                Kemudain Diandra menatap mataku. Pandangan kami beradu. Tatapannya hangat, matanya teduh, seulas senyum berikut lesung pipitnya menghiasi wajah Diandra.

                Bayangkan kawan. Pandangan hangat petinju yang handal nan seksi, cantik lagi. Aku panas dingin. Seperti ada aura lain yang mendorong tubuhku, aku mendekatinya. Jantungku berdebar-debar kencang. Perasaanku bagai benang kusut warna-warni. Indah tapi sulit untuk dijelaskan. Diandra masih diam di tempatnya, tapi akhirnya perlahan berjalan mendekatiku.

                Kini, kami sangat dekat. Hidung kami beradu. Kulihat muka Diandra memerah. Dia tersenyum malu-malu. Matanya menyipit, menatap ke arahku. Dia makin dekat. Aku semakin dekat. Kuambil posisi sedemikian rupa. Jantungku serasa ingin lepas dari tempatnya. Tapi ini sensasinya. Bibir kami pun saling bertemu

                Sasana Tinju Joordan, pukul 8 malam di suatu Minggu. Penantian panjang itu berakhir di sini. Diandra milikku.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

SANGAT DIANJURKAN untuk saling mengapresiasi atau mengkritik tulisan satu sama lain. Kita sama-sama belajar ya!