Peringatan keras: setiap karya yang dimuat di Writing Session dilindungi UU hak cipta & penjiplakan pada karya tersebut memiliki sanksi!

Minggu, 08 Mei 2011

Pilihan

Oleh: Lidya Christina (@lid_yang)

Lcy-thoughts.blosgpot.com

“Selamat sore,” Pelayan dari café langgananku menyapaku saat aku mendorong buka pintu kayu itu. Senyumannya selalu hangat, seperti minuman yang dijual di café ini. Tidak terlalu panas, tidak dingin, kehangatannya pas.

“Sore juga,” Aku lontarkan senyumanku. Setelah mencatat pesananku, dia pergi meninggalkanku dan bukuku.

Tidak lama setelah itu, pesananku datang.

“Permisi,” kata pelayan tadi.

Sejenak aku melirik minuman dan makanan yang diletakkannya di mejaku. Saat mataku kembali melihat pelayan itu, dia membalasku dengan senyuman yang hangatnya itu.

“Terima kasih,” kataku. Dan dia mengembalikanku kepada bukuku.

Benar-benar hari yang indah. Ditemani alunan musik country dan buku kesayanganku, aku melewati sore yang indah ini. Sayang sekali cafe ini tidak ramai sekarang, tidak bisa aku membagikan kesenanganku dengan orang lain.

Tidak lama kemudian, manager café datang ke mejaku dan duduk di sampingku. Dia teman baikku sejak SMP. Hanya saja dia memutuskan untuk bekerja setelah SMA, dan aku meneruskan pendidikanku ke jenjang kuliah.

Musik Country, bukuku, teman baikku, cake kesukaanku. Sore yang perfect.


“Tumben sendiri?” Katanya.

“Sore yang indah, ya,” Kataku. Tanpa menanggapi tatapannya yang penuh pertanyaan, aku memasukkan sesendok cake ke mulutku.

“Ela,” Katanya.

Setelah minum sedikit kopi, aku memalingkan mukaku padanya.

“Sudah putus,” kataku. Matanya membesar, ada yang ingin dikatakannya padaku. Aku hanya tersenyum.

“Tadi,” lanjutku. “Lima menit sebelum aku ke sini. Ini smsnya.”

“Tidak sedih? Nangislah, aku di sini untukmu,” katanya sambil memegang tanganku yang tengah menyodorkan handphone kepadanya.

Aku menggeleng. “Buat apa? Aku tidak sedih, kok.”

“Ela, jangan dipaksakan.”

“Tidak, aku tidak memaksakan diriku. Kata-katamu tadi, sudah meyakinkanku kalau aku harus senang. Aku ada kamu, ada keluarga, ada banyak orang di sekitarku.”

Dia diam. Biasanya dia suka berkomentar, tampaknya hari ini dia jadi anak manis untukku.

“Ah, aku benar-benar tidak bisa minum kopi. Kamu harus tegur itu, pelayan barumu. Salah terima pesanan aja dari tadi,” Kataku sambil berdiri. Pelayang tadi masih sibuk mondar-mandir ke meja-meja dan minta maaf. “Catat aja, yah, akhir bulan nanti aku bayar.”

Aku tinggalkan dia yang melongo menatapku. Di depan pintu, aku buka payungku. Hujan lebat sekali.

Dia sudah berdiri di belakangku. “Ela.”

Aku tersenyum. “Kebahagiaan itu pilihan. Dan aku memilihnya.”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

SANGAT DIANJURKAN untuk saling mengapresiasi atau mengkritik tulisan satu sama lain. Kita sama-sama belajar ya!