Oleh Lidya Christina (@lid_yang)
“Eh, jangan lah…” kata temanku. “Dia itu aneh. Sininya ada problem,” katanya sambil menunjukkan jari telunjuk pada kepala.
Aku hanya menggeleng. Tidak mungkin, jawabku. Gadis sebaik dan sepintar dia, gadis yang senyumannya dapat meluluhkan hati siapapun.
Aku tidak pernah menghiraukan kata-kata temanku itu. Toh, selama ini dia tidak menunjukkan kelainan apa-apa. Memang kadang dia terlihat bicara sendiri. Tetapi itu normal, bukan? Kita semua, sebagai manusia, kadang-kadang memang secara tidak sengaja akan mengatakan apa yang sedang kita pikirkan. Dia hanya lebih sering begitu.
Oh ya, gadis ini namanya Wilna, sekelas denganku. Saat aku pindah ke sekolah ini, dialah yang pertama menyapaku. Senyumannya segera menarik perhatianku padanya. Ternyata, dia bukan hanya manis, dia juga murid teladan di sekolah. Dia selalu ramah dan suka membantu. Masih banyak lagi sisi baiknya yang membuatku semakin ingin mengenalnya.
Masih aku ingat dengan jelas. Hari itu aku sendirian bertugas di perpustakaan, dialah yang tiba-tiba muncul dan membantuku. Secara tidak sengaja, aku memegang tangannya. Saat buku-buku di bagian atas rak berjatuhan. Tanpa pikir panjang, langsung aku tarik tangannya. Tetapi, aku pula yang cedera. Lenganku terbentur tembok. Spontan aku teriak kesakitan. Ah, malunya, pikirku. Dia pasti menertawakan kebodohanku.
Dia bergegas mengambil kotak P3K dan mengobati luka ini. Raut wajahnya yang khawatir membuat hatiku berbunga-bunga. Sentuhan tangannya yang lembut membuat hatiku berdebar kehilangan kontrol. Saat dia berdiri untuk mengembalikan kotak P3K itu, aku seperti bangun dari hipnotis. Aku benar-benar terpesona olehnya. Ternyata, dia juga mahir dalam hal ini.
Sejak hari itu, hubungan kami semakin membaik. Dia selalu saja muncul di saat aku paling membutuhkannya. Eh, maksudku, saat aku paling membutuhkan bantuan seseorang. Seperti seorang bidadari, seorang malaikat. Dan yang paling membuatku bahagia, kadang dia mengizinkan ku untuk mengantarnya pulang. Ternyata ini perasaannya saat jatuh cinta.
Dan aku memberanikan diri untuk menyatakan perasaanku padanya. Apapun kata-kata dari orang-orang sekitar tidak akan ku pikirkan. Aku sudah membulatkan tekadku. Usaha-usaha selama ini tidak sia-sia. Dia menerimaku. Tidak ada kata-kata yang dapat mengekspresikan perasaanku.
*
“Rio, kita kan sudah dua bulan jadian?” Wilna menghentikan langkahnya saat aku mengantarnya pulang hari itu.
“Lalu?”
“Ada seseorang yang ingin aku perkenalkan,” katanya.
Otakku mulai bekerja dengan keras. Siapa? Pikirku. Orang tuanya? Kakaknya? Semuanya sudah aku kenal. Siapa lagi yang akan dia perkenalkan.
“Keluarlah,” katanya saat dia menoleh ke belakang. Aku merapikan baju dan rambut, ingin memberikan kesan pertama yang terbaik.
“Rio.” Wilna tiba-tiba menggandeng tanganku dan tersipu malu.
“Pernahkan kamu tanya ke aku biasanya aku suka curhat ke siapa. Ini dia. Namanya Daisy,” kata Wilna sambil menunjuk ke depannya, sebelum menjinjit untuk meraih telingaku dan membisikkan “Dia malaikatku.”
Aku melihat ke depan. Tidak ada siapa-siapa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
SANGAT DIANJURKAN untuk saling mengapresiasi atau mengkritik tulisan satu sama lain. Kita sama-sama belajar ya!