Peringatan keras: setiap karya yang dimuat di Writing Session dilindungi UU hak cipta & penjiplakan pada karya tersebut memiliki sanksi!

Selasa, 10 Mei 2011

Indescribable Feeling

Oleh: nadia pratiwi
@naddhiiia


Saya adalah anak dari orang tua tunggal yang jarang dirumah. Bunda seorang perancang busana terkenal yang menjadi langganan ibu-ibu pejabat serta kalangan selebriti. Namun bunda tetaplah wanita sederhana. Menikah di usia muda, punya satu anak, bercerai karena perbedaan prinsip, dan bertahan sendiri sampai sekarang. Dan saya hanya seorang anak perempuan yang dibesarkan tanpa kasih sayang seorang ayah, namun saya tidak berkeberatan dengan itu. Kehidupan saya berjalan nyaris sempurna tanpa beliau. Sampai saat ini.
“Bagus yaa?” Arumi terus memamerkan gelang etniknya yang berbahan kayu berserat-serat kasar dengan bangga. “Ini oleh-oleh dari Jogja, ayahku yang bawa. Disana ini lagi mode lhoo....”
Saya mendengus tertahan. Arumi memang sangat dekat dengan ayahnya yang kontraktor itu, sampai-sampai kemanapun ayahnya pergi, selalu tak lupa membawakan buah tangan spesial untuknya. Bukannya saya iri, bunda selalu membawakan benda-benda yang lebih bagus dari yang bisa diberikan ayah Arumi bila habis bepergian dari luar negeri. Hanya saja, cara Arumi memandang barang-barangnya, binar mata yang penuh rasa cinta pada seorang ayah, itu yang tidak pernah saya miliki. Saya benci melihatnya. Tidak tahukah ia bahwa ketidakhadiran seorang ayah jauh lebih menyenangkan dari semua ini?


Pukul tiga. Pak Salman belum juga datang. Hampir tiga puluh menit saya dan Melani menunggu di depan gerbang sekolah yang hampir tutup. Tidak biasanya supir keluarga saya terlambat menjemput. Bahkan rekornya hampir menyamai Melani, orang yang paling terakhir dijemput karena bapaknya yang supir angkutan umum itu harus menyetorkan pendapatan hariannya terlebih dahulu. Tiga lebih sepuluh, penjemput terakhir tiba. Tak lain dan tak bukan, bapaknya Melani yang supir angkutan itu lengkap dengan segala atribut dan tentunya mobil angkutannya.
“Ayo, Ren, bareng sini. Ntar dianterin sampe depan rumah deh,” ajak Melani halus namun saya tolak. Saya bukannya tidak level dengan mobil angkutan yang sudah butut itu, hanya saja saya tidak bersedia menerima bantuan dari seseorang bernama Ayah walaupun bukan ayah saya sendiri. Namun Melani menarik tangan saya dengan begitu kuat hingga saya mau tak mau masuk juga kedalam angkutan umum tersebut. Entah reaksi apa yang terjadi dalam tubuh saya, tiba-tiba saya merasa seperti berada di dalam kamar bunda. Sejuk, nyaman, dan penuh dengan sesuatu yang menyenangkan. Seperti itukah perasaan Melani setiap kali dijemput bapaknya yang supir angkutan? Atau perasaan Arumi setiap kali mendapat barang-barang unik dari Ayahnya walau bagaimanapun rupanya? Saya tidak pernah tahu, dan sebetulnya tidak ingin tahu. Namun dalam hati saya ada sebentuk kerinduan teramat sangat pada seseorang yang belum pernah saya temui wujudnya. Seseorang yang bahkan tidak pernah saya tahu apakah beliau masih ada atau tidak. Ayah. Ada sebuah celah hampa dalam hati saya yang berusaha saya tutupi dan berusaha bunda isi namun tidak pernah bisa tercukupi. Celah untuk ayah. Yang hanya ayah yang tahu seberapa dalam dan seberapa luasnya meski sebenarnya terlihat kecil.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

SANGAT DIANJURKAN untuk saling mengapresiasi atau mengkritik tulisan satu sama lain. Kita sama-sama belajar ya!