Peringatan keras: setiap karya yang dimuat di Writing Session dilindungi UU hak cipta & penjiplakan pada karya tersebut memiliki sanksi!

Sabtu, 28 Mei 2011

Fragile

Oleh: Yuska Vonita

Ia pasti kerasukan setan. Matanya menghunjam jiwaku, wajahnya memerah dan peluhnya bercucuran. Sementara aku mematung tak berdaya. Aku hampir gila.

Usianya dua kali umurku. Tinggi badannya juga. Setiap kali ia muncul di depanku, aku ingin berlari menjauh. Tapi aku terlalu lemah untuk menghindar. Aku tak berdaya.

Siang itu, ia menghampiriku di depan sekolah. Teman-temanku menatapku dan dia bergantian. Hatiku meradang. Tatapan mereka menelanjangiku, melucutiku lapis demi lapis hingga rasa dingin dan panas secara bergantian menelusuri setiap jengkal kulitku. Hey, aku bukan pelacur! Aku bukan seperti apa yang kalian pikirkan! Jeritku dalam hati.

Aku berusaha melepaskan cengkeraman tangannya. Dengan kasar kutepis genggamannya. Satu tamparan keras mendarat di pipiku. Perih. Sakit. Panas. Darahku menggelegak membakar tubuhku. Tapi aku masih diam. Tak berdaya.

Ia menyeretku dengan kasar dan mendudukkanku di bangku mobilnya. Dengan kasar ia membanting pintu, lalu bergegas menyalakan mesin mobil lalu melaju ke jalan raya.

Aku menatap matanya yang nyalang. Tanganku terkepal, aku hendak meledak. Aku berusaha membuka pintu mobil, tapi ia tertawa.

"Silahkan buka pintu itu lalu pergi sana keluar. Paling-paling kamu akan jadi bangkai. Kamu tahu berapa kecepatan mobil ini?" Tuhan, apa yang harus kulakukan. Seratus delapan puluh. Cukup untuk membuatku terpelanting beberapa meter. Aku menghela nafas panjang lalu kupejamkan mata.

Tiba-tiba mobil berhenti di sebuah tanah kosong. Aku terperanjat. Kulihat wajahnya mendekat. Kudengar deru nafasnya yang memburu. Kutatap matanya yang siap menerkam.

Dengan kasar ia merengkuh kepalaku lalu ...
"Aah!" Aku menjerit kesakitan. Kurasakan tetesan darah mengalir dari bibir bawahku. Kutampar wajahnya dan kuterjang perutnya. Dengan tergesa kubuka pintu mobil lalu kuberlari sekuat tenaga.

"Arini! Arini!" ia berteriak lalu mengejarku. Aku tak ingin memalingkan wajahku. Yang bisa kulakukan adalah berlari sejauh mungkin dari monster itu.

Kuseka bibirku dengan perasaan jijik. Tetes air mata membasahi pipiku. Aku tak ingin wajahku muncul di surat kabar atau televisi esok hari. Aku tak ingin duduk di kursi penuntut atau menceritakan kepahitanku pada seorang polisi. Tidak! Aku harus menyelamatkan diriku sendiri.

Kudengar langkah kaki di belakangku. Ia semakin dekat. Dan dekat. Kulihat jurang menganga di sebelah kiri. Tangan itu mencengkeram bahuku lalu... Sebelum ia merasakan jadi pemenang, aku memutuskan untuk mengakhiri drama lima babak itu. Babak pertama adalah ketika ia mengantar Eli, sahabatku ke sekolah. Babak kedua ketika aku menginap di rumah Eli dan ia menyelinap masuk ke kamar. Babak ketiga waktu ia menyatakan cinta tapi kubalas dengan bantingan pintu. Babak keempat adalah ketika ia menyeretku di depan sekolah, mencium bibirku dengan kasar lalu mengejarku. Dan sekarang adalah babak kelima, ketika ia hendak mencengkeramku lalu aku memutuskan untuk terjun ke jurang.

Ciuman pertamaku membawa petaka. Ciuman pertamaku, yang kuharap penuh kejutan manis. Ciuman pertamaku bukan dari Aldi. Ciuman pertamaku, dari si monster yang tidak berhasil memperkosaku.

Aku tertawa melihat wajahnya yang pucat. Ia mematung tak berdaya melihatku hendak mendarat di antara bebatuan yang tajam. Tapi, akhirnya aku yang akan menjadi pemenang dan membuatnya jadi headline di surat kabar.

Babak keenam, si monster yang akan jadi pemeran utama.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

SANGAT DIANJURKAN untuk saling mengapresiasi atau mengkritik tulisan satu sama lain. Kita sama-sama belajar ya!