Oleh: @RyanJepank
Malam itu aku merasa bulan ikut tersenyum padaku, bintang-bintang menari riang gembira. Angin ikut riuh. Semua seperti berpesta pora ikut merayakan kegembiraan bersamaku, ayah pulang.
Banyak orang bilang kehidupan di laut itu kejam. Benar itu sesuai realita. Deburan ombak yang besar, hembusan angin yang teramat kencang siap menenggelamkan kapal belum lagi perompak. Setelah 113 hari ayahku baru bisa pulang. Ia beserta teman-teman lainnya dirompak oleh perompak Sasalia. Negara gagal begitu menurut apa yang aku baca disurat kabar.
“San ayah pamit berlayar dulu ya?” izin ayah padaku.
Ingin akau mengucap suatu kata kala itu tapi sepertinya mulut ini terkunci, kuncinya hanyut dan tenggelam terbawa arus tsunami. Akhirnya tak sepatah katapun keluar dari bibir ini. Tak ada keinginan untuk memesan buah tangan yang ada hanya tetes air mata takut kehilangan. Sementara ibu nampak lebih tegar walau aku tahu disudut matanya ada air mata cinta untuknya, ayahku. Akhirnya aku dan ibu dengan rela melepas ayah pergi berlayar kala itu dengan mengantarnya langsung ke pelabuhan tanjung sibara-bara.
Tak seperti biasanya aku seperti ini meneteskan air mata membasahi bumi, tapi itu hal yang lumrah karena kita manusia yang tak setegar batu karang lagi pula aku masih kanak-kanak namaku Sandi Abdinegara entah mengapa ayah menamakan aku seperti itu pasti ada yang tersirat dibalik nama itu. Ibu Nampak selalu lebih tegar dibanding aku. Mungkin itu komitmen ibu tak ingin mendapat label cengeng atau wanita lemah dari aku dan ayahku. Setidaknya ibu telah terbiasa akan rutinitas itu Karena kala itu ibu berpacaran dengan seorang calon pelaut yang ternyata sekarang adalah ayahku. Ia seorang nahkoda kapal-kapal dagang Indonesia.
“Ayah sudah berapa kali keliling dunia?” tanyaku penasaran. “Oh sudah 12 kali dong” jawab ayah bangga. “Kalau sudah besar aku mau menjadi seperti ayah” ucapku. “Kenapa?” tanya ayah. “Aku juga ingin keliling dunia seperti ayah. Ayah apa tidak pusing sudah keliling dunia 12 kali?“ tanyaku polos. Ayah hanya tersenyum manis. Dengan alunan ninabobo akhirnya aku tertidur dipangkuan ayah. Lagu yang mengalun merdu seperti tiupan angin pantai kala senja menjelma.
Seketika ibu mendapat kabar kapal yang dirompak oleh perompak Sasalia. Itu kabar buruk. Apakah ini ada kaitannya dengan angka 13?. Ah, ini tak mungkin memang ayah pergi berlayar untuk keliling dunia ke-13 kalinya tapi bukan berarti ayah akan tertembak peluru perompak-peromak Sasalia.
Sedari itu terjadi ibu dan aku selalu berdoa pada Yang Maha Menguasai sekiranya ayah dan teman-temannya pulang dengan selamat tanpa ada satupun yang diciderai.
Dihari ke-113 ayah dan teman-temannya pulang. Semua selamat tanpa ada satupun yang berkurang. Entah apa yang dilakukan ayah dan teman-temannya yang aku tahu angin utara membawanya pulang kembali ke Indonesia.
“Don’t just go with the flow. You decide. You’re the captain of your life” itu pesan ayah. Dan angin malam terus belai malamku, aku kembali ditidur dipangkuannya, ayahku.
Blog untuk memajang hasil karya partisipan #WritingSession yang diadakan setiap jam 9 malam di @writingsession. Karena tidak ada yang bisa menghentikan kita untuk berkarya, bahkan waktu dan tempat.
Peringatan keras: setiap karya yang dimuat di Writing Session dilindungi UU hak cipta & penjiplakan pada karya tersebut memiliki sanksi!
ceritanya bagus ka ,tapi aku masih rada gg ngrti ama jaln cerita'a,,mgkn hrs lbh di perjelas lagi y jalan crita'a biar yg baca lbh tertarik n ngrti heeeee
BalasHapus