Oleh : @erikaparaminda
Aku menatap keseberang, hal yang selalu aku lakukan ketika aku berdiri menunggu lampu hijau bagi para pejalan kaki untuk menyeberang di perempatan Jalan Moh. Toha ini. Gadis itu selalu berada disana, berdiri tegak, menunggu sepertiku diantara puluhan orang lain yang ingin melakukan hal yang sama menyeberangi jalan.
Awalnya ia tidak menarik perhatianku, ia aku anggap sama seperti orang-orang lain. Namun beberapa minggu belakangan ini aku terus menerus memperhatikan dirinya, aku tahu ia berbeda. Ia tidak seperti orang-orang lain yang memperlihatkan kelelahan, keengganan, ketidaksabaran ketika menunggu lampu untuk menyeberang berubah warna. Gadis yang selalu mengenakan dress putih itu wajahnya selalu memperlihatkan keteduhan, senyuman tidak pernah lupa menghiasi wajahnya, seolah gadis itu tidak memiliki masalah yang mampu membuat wajahnya merengut, ia juga terlihat nyaman walau matahari menyengat tubuhnya.
Lampu untuk para penyeberang jalan berubah hijau, aku mulai melangkah perlahan. Kali ini aku akan menyapa gadis itu, aku ingin tahu namanya. Aku mulai melangkah, pandanganku tidak pernah lepas dari dirinya. Ketika ia hanya berjarak beberapa langkah dariku, aku mulai menyamakan jalur berjalanku dengannya, berharap kami berdua akan bertabrakan.
“Maaf..” ucapku ketika aku dan dia bertabrakan.
Gadis itu tersenyum, “I’m fine..” jawabnya sambil mengambil tasnya yang terjatuh ketika kami berdua bertabrakan, skenario yang tidak pernah aku harapkan terjadi.
Aku ikut membantu gadis itu mengambil buku-bukunya yang tercecer di jalan sambil sesekali melihat timer di lampu lalu lintas. “Makasih ya,” ucap gadis itu ketika aku menyerahkan buku-bukunya. Sepintas aku melihat nama yang tertulis di salah satu buku yang aku pegang, ‘Nadia’.
“Nadia?” ucapku kemudian.
“Iya, nama gue Nadia..” jawab gadis itu, ia melihat timer di lampu lalu lintas “Gue harus pergi, it’s a pleasure meeting you..” lanjutnya sebelum berjalan meninggalkanku.
* * *
Aku kembali berdiri di seberang jalan, menatap gadis bernama Nadia itu. Ia seolah menyadari keberadaanku, karena aku menangkap lambaian kecil dari Nadia. Lampu penyeberang jalan berubah hijau, aku mulai menyeberang, namun Nadia tetap berdiri di posisinya.
“Kenapa?” tanyaku ketika aku telah menyeberangi jalan dan berdiri di hadapan Nadia.
“Gue belum tahu nama lo dan berbicara di area ini jauh lebih aman dibandingkan di area penyebrangan..” ucap Nadia sambil tersenyum penuh arti.
“Nama aku Setyo, Setyo Prawira.” Ucapku sambil menyodorkan tanganku.
Nadia menyambut tanganku, “Oke, nama gue Nadia, Nadia Oktaviani. Lo suka berkenalan dengan orang-orang di tempat random seperti ini?” tanya Nadia setengah bercanda.
Aku menggeleng sambil memperlihatkan senyum kecut, “Selamat tinggal, kamu sudah bisa menyeberang Nadia.”
Nadia menatapku aneh, tapi ia hanya tersenyum sambil melihat lampu penyeberang jalan berwarna hijau, “Semoga kita bertemu lagi..” ucapnya sebelum meninggalkan diriku. Aku kembali menampilkan senyum kecut. Nadia menatapku aneh, namun ia memilih untuk tidak membahasnya dan mulai melangkah menyusuri zebra cross.
“Selamat tinggal Nadia Oktaviani..” ucapku disaat bersamaan ketika sebuah bus menerjang Nadia. Suasana di sekitarku berubah ricuh, banyak yang berteriak histeris dan ada pula yang bersyukur karena selamat dari kecelakaan naas yang menimpa Nadia dan beberapa penyeberang lain yang mengalami luka berat. Supir yang mengendarai Bus itu turun dari Bus dalam keadaan setengah mengantuk, ia merasa amat sangat bersalah dan mulai diamankan massa disekitarku.
Aku menatap sosok yang kaget berdiri di sampingku, “Gue sudah mati?” tanyanya.
Aku mengangguk lemah, “Umurmu sudah digariskan Tuhan untuk berakhir saat ini Nadia, aku hanya kurir yang bertugas untuk mengantar kamu ke tempat yang jauh lebih baik.” jawbaku pendek.
“Lo sudah mengetahui takdir gue sebelum lo mengenal gue?”
Aku menggeleng, “Aku menerima nama, Nadia Oktaviani untuk dijemput, aku tidak pernah tahu bahwa Nadia itu adalah dirimu. Orang-orang yang akan mati auranya suram, amat sangat berbeda dari kamu. Auramu justru bahagia, happy, berbeda sekali.” ucapku lagi.
"Lalu dari mana lo tahu Nadia Oktaviani selain dari aura? Lo bisa saja memilih orang yang salah.."
"Well I have another power, Malaikat Kematian sepertiku tidak boleh sampai memilih orang yang salah. Satu pertanyaan sebelum kita pergi, kenapa kamu berbeda dari manusia lain? Kamu seolah selalu happy dan tanpa masalah.." tanyaku penasaran.
Nadia tersenyum, “The power of short life time, gue berusaha hidup bahagia di setiap helaan nafas gue. Jika gue tidak mati karena kecelakaan ini, toh gue akan mati karena penyakit yang menggerogoti tubuh gue..” jawab Nadia sambil tersenyum.
“Sayang sekali, padahal aku menyukaimu. First thing first, mari kita pergi ke tempat lo seharusnya berada..” ucapku sambil menyentuh bahu Nadia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
SANGAT DIANJURKAN untuk saling mengapresiasi atau mengkritik tulisan satu sama lain. Kita sama-sama belajar ya!