Peringatan keras: setiap karya yang dimuat di Writing Session dilindungi UU hak cipta & penjiplakan pada karya tersebut memiliki sanksi!

Senin, 30 Mei 2011

2105F7BO


oleh @abi_ardianda
www.abiardianda.blogspot.com

 
Ponselku berdering singkat. 
2105F7BO would like to add you to his or her Blackberry Messenger Contact List.
Awalnya aku ragu untuk memilih accept pada beberapa pilihan di layar ponselku. Pin Blackberry kini dengan mudahnya menyebar seperti virus. Namun setelah kupikir lagi, barangkali itu desainer, atau fotografer,  maka kuputuskan untuk menerima undangannya saja.
"Dona! Buruan, lu! Mas Bambang udah nanyain," teriak hair stylist dari ambang pintu.
Aku bangkit dengan tergesa hingga tak sengaja celana dalamku terkait paku sampai robek. Menyadari keterbatasan waktu, nekat kukenakan saja gaun tanpa mengganti celana dalam terlebih dahulu. Toh kamera tak'kan tahu.
Dalam perjalanan menuju studio, sepatu berhakku berisik sekali kupakai berlari. Frekuensi degup jantungku meningkat saat kulihat pria berkemeja putih menungguku dengan kamera di tangannya. Ia tampak berkharisma. Seperti biasanya.
"Maaf telat, Mas."
Rindu yang terlalu lama ditahan membuat pertemuan menjadi kaku.
Tanggapannya tak sempat kutangkap. Berulang kali aku memalingkan pandangan ke arah cermin untuk memastikan make-upku terpulas sempurna.
Aku berpose. Mas Bambang memotret. Kesibukan mulai mengendalikan arena.
Sungguh, sulit sekali berkonsentrasi ketika mas Bambang yang memberi intruksi.
"Lehermu kelihatan pendek, coba angkat dagumu dan menolehlah ke kiri sedikit."
Mungkin karena aku terlalu sibuk memerhatikan gerak bibirnya yang seksi.
"Donna?"
"E'eh, iya, Mas." Atau terkesima pada bahunya yang lebar dan tegap ketika ia mengarahkan kamera. Lengannya membentuk sudut yang terlihat sangat kokoh.
Kulakukan apa yang dimintanya, kemudian ia kembali membidikku dari balik lensa.
Sejak pertama mengenalnya, barangkali ini poseku yang ke sejuta.
"Satu... Dua... Tiga..."
Seenyumannya mencuat saat dipelototinya kamera itu lekat-lekat. Perut buncitnya mengempis, lalu mengembang lagi dengan jarak yang tipis. "Picingkan matamu."
Kupicingkanlah mataku. "Satu... Dua... Tiga..."
Seratus sinar perak melontar sudah. Neon-neon di studio padam setelah sekian jam berpijar. Tampak banyak wajah lelah. Terdengar sekian jumlah desah. Waktunya kami berpisah. "Pamit ya, Mas."
"Yo'i, eh, Dona!"
Kuputar kembali tubuhku.
"Ntar malem jangan lupa, ya," katanya.
Dia baru saja mengkhawatirkan sesuatu yang mustahil terjadi. Nanti malam, akan kuberitahu dia sebuah rahasia.
Sepeninggalku dari studio, wartawan serentak menyerbuku. Belasan mikrofon mengarah padaku. Serangan pertanyaan mereka bernuanasakan dahaga. Tidak jarang mereka mengambil kesimpulan sendiri. Sampai akhirnya segenggam tangan besar meremas tanganku dan membebaskanku dari kepungan itu.
Tangan kekasihku.
Beberapa remaja perempuan menatap kekasihku tanpa berkedip saat kami melintas. Melihat tatapan kagum sekaligus iri mereka, membuatku tidak terlalu sulit menebak isi kepalanya. Mereka tak tahu saja, bahwa sesungguhnya di balik pulasan blush on ini aku menyamarkan luka. Maskaraku bahkan seringkali kelimpungan menahan arus deras duka, Nona.
Di belakang, belasan wartawan tadi sudah diamankan petugas. Bersama kekasihku, kami bergegas menuju kamar ganti.
"Kamu tunggu sebentar. Aku ganti baju dulu ya, Sayang."
Ia mengangguk sambil membuang napas lega.
Banyak sekali manusia-manusia sibuk di dalam sini. Seolah waktu berputar dua kali lebih cepat. Penat yang menjerat membuatku tak sabar melepas gaun yang kemudian kulempar sembarang. Sepatu berhakku kucopot dan kutendang. Aku berhadapan dengan cermin besar yang menampilkan tubuhku yang hampir telanjang, hanya diselaputi beha dan celana dalam yang berlubang. Aku duduk dan mendekat. Kutatap pantulan wajahku lekat-lekat.
Tidak pernah ada yang mengatakan aku jelek. Setiap orang yang kutemui selalu memuji. Tapi aku tak pernah mengerti keistimewaan itu selain hanya mampu memberiku pekerjaan ini.
Setelah kukenakan pakaian, ponselku kembali berdering. Terdapat beberapa pesan masuk ke Blacberry Messenggerku. Dan semuanya dari kontak tak bernama yang menambahkanku ke daftar kontaknya tadi.
 
2105F7B0
Apa yang kau lakukan andai Tuhan membocorkan tanggal kematianmu?
 
Dona Aulia
Siapa kamu?
 
2105F7B0
Itu tak penting. Izinkan saja aku menanyaimu beberapa hal. Jawablah dengan cepat. Waktu kita tidak banyak.
 
Dona Aulia
Maaf. Tapi saya tidak bicara dengan orang asing.
 
Tepat ketika aku hendak menghapus kontaknya ia mengirimiku pesan lagi.
 
2105F7B0
Tolong jangan menghapus kontakku. Aku mengenalmu, Dona.
 
Sejenak aku terenyak. Namun tak kutemukan kejanggalan setelah mengedari pemandangan di sekeliling ruangan.
 
Dona Aulia
Siapa kamu?
 
Tak kunjung dibalasnya, kumasukkan ponsel ke dalam tas dan bergegas keluar. Tepat ketika kubuka pintu, kekasihku telah dikerumuni teman-temanku sesama model.
"Dona!"
Entah mengapa mereka perlu berseru setiap kali bertemu. Mau tak mau aku juga begitu. Kami berpelukan, satu per satu mereka mencium pipi kanan dan kiriku. Belakangan aku tahu bahwa itu adalah cara untuk mengetahui merk parfum yang dipakai. Tangan-tangan mulus mereka meraba lenganku sampai ke pergelangan, untuk memastikan keorisinilan jam. Mereka terkadang menjatuhkan sesuatu hanya untuk melihat model sepatu dari dekat. Lama berkecimpung di dunia model mengajariku tentang semua hal itu. Sekalipun aku bukanlah orang bergelar. Sepeninggal ayah, ibuku tak mampu menguliahkanku setelah lulus SMA. Aku terseok mengikuti setiap audisi pemilihan model hingga akhirnya kini namaku cukup dikenal dan digunakan dalam iklan beberapa produk kecantikan.
"Mas Bambang! Apa kabar, Mas?" Salah seorang temanku menyapa mas Bambang yang kebetulan lewat di samping kami. Tiba-tiba degup jantungku mengencang, setiap ada dia, selalu begitu, seperti seseorang habis maraton.
Aku menoleh ke arahnya. Ia tengah merangkul perempuan yang di perutnya terdapat gundukan bukit besar. Setelah menjawab sapaan temanku, ia sempat melirik dan melempar senyuman curi-curi sebelum akhirnya melenggang pergi.
Susah payah aku mengabaikannya. Kuteruskan skenario awalku untuk tetap berlagak heboh. Agar tak seorangpun tahu bahwa kini hatiku juga sedang roboh.
Sulit menyudahi perbincangan kami. Kukirimkan sinyal, semacam sandi pada kekasihku agar ia segera membawaku pergi. Tidak lucu bila setengah jam kemudian aku masih membuang waktu di sini. Nanti malam aku ada janji. Aku hendak membocorkan sebuah rahasia pada mas Bambang.
"Yo, kita duluan ya, semua!" Kembali tangan kekasihku menggiringku dari kerumunan. Berdua kami memasuki mobil yang kemudian dikemudikan oleh supir pribadiku.
"Kamu cantik banget hari ini," godanya seraya menjulurkan kepalanya dekat.
"Hari ini?"
"Ya. Hari ini, kemarin, dan kuyakin akan seperti ini selamanya," dilumatnya bibirku seperti ketika ia melumat cokelat.
Ludah dan lidahnya terasa dingin. Baru menghangat setelah mataku memejam. Itupun karena kulihat sosok wajah lain. Kurasakan gelinjang lidah lain. Rasa ludah lain. Bau napas lain.
Mas Bambang.
Kubuka mataku, kemudian sosok lain tadi terganti seketika oleh yang nyata. Entah mengapa tiba-tiba hatiku terluka oleh kenyataan yang ada. Padahal dengan lembutnya ia mengelus pipi dan mengelap bibirku yang basah. Kemudian ia bertanya pelan. Pelan sekali, seperti sedang mendesah, "asuransi dan pembayaran untuk mobil baruku udah kamu urus, Sayang?"
Satu lagi skenario yang harus kumainkan, pernahkah kamu menyadari bahwa hidup ini seperti bermain dalam film drama?
"Udah, lusa bisa kamu pake, kok. Jangan lupa, besok malam temenin aku on air di acara musik, ya?"
"Apa sih yang nggak buat kamu, hm?" Diusapnya kepalaku sambil melingkarkan lengannya di punggungku. Entah mengapa rasanya aku tiba-tiba ingin muntah. Beruntung tidak lama kemudian aku berhasil mengantarnya sampai ke depan rumah.
Setelah itu, ponselku berdering. Lagi.
 
2105F7B0
Identitas bukanlah prioritas. Jawab saja pertanyaanku.
PING
PING
Dona?
 
Dona Aulia
Tapi saya memprioritaskan identitas.
 
2105F7B0
Kini, manusia mengubah identitasnya semudah mereka menghapus gurat pensil. Percayalah. Aku mengenalmu.
 
Dona Aulia
Saya tidak.
 
2105F7B0
Aku bahkan tahu rutinitasmu. Aku tahu siapa kekasihmu dan bagaimana kehidupanmu.
 
Dona Aulia
Tentu saja. Informasi itu bisa kau dapatkan dengan mudah dari tabloid yang terbit setiap minggu.
 
2105F7B0
Aku tahu merk dan plat nomor mobilmu.
Aku tahu tempatmu bekerja.
Aku tahu di mana kau tinggal.
 
Dona Aulia
Itu sama sekali tak mengartikan sesuatu. Dasar penguntit!
 
2105F7B0
Lalu, kau pikir darimana aku mengetahui celana dalammu yang bolong?
Aku menoleh ke kanan dan ke kiri. Ke belakang. Semuanya bergerak normal. Seolah tidak ada yang perlu dikhawatirkan.
Tepat ketika aku hendak membalasnya, batrei ponselku lemah dan tidak memungkinkan untuk mengoneksikannya dengan internet.Charge-an protableku juga tak sempat kure-charge.
"Ngebut dong, Pak,"
Sesampainya di apartemen, dengan tergesa kuhampiri stop kontak terdekat yang terdapat tepat di sebelah ranjang. Siaga kunantikan batrei ponselku kembali terisi. Entah mengapa ketika kita menantikan sesuatu, pencapaiannya justru terasa lebih lama. Jarum pendek yang menunjuk angka tujuh menyadarkanku bahwa malam ini, ada banyak hal yang harus kupersiapkan untuk menyambut kedatangan mas Bambang. Untuk memberitahunya sebuah rahasia.
Aku membuka lemari pakaian. Jemariku dengan lancarnya menelusuri setiap helai kain yang kemudian kubelai satu-satu. Pilihanku jatuh pada sebuah lingerie putih susu. Aku membelinya di Singapura ketika photo sesi dua minggu yang lalu. Sengaja kurelakan setengah dari honorku untuk mendapatkannya. Terkesima saja belum cukup membuat mas Bambang berpaling dari istrinya. Aku harus menunjukkan tampilan sempurna. Kalau perlu, kusilaukan matanya sampai buta sekalian.
Wanita memang mudah terpesona sampai lupa diri. Kuambil lingerie itu lalu kuselempangkan di kursi. Dua puluh lima menit kuhabiskan untuk mandi. Itu terhitung cepat. Aku bahkan bisa menghabiskan berjam-jam dengan hanya berendam di bath-tub. Berhubung malam ini mas Bambang akan, aih, aku mudah sekali tersipu ketika hanya mengingatnya. Tak sabar rasanya untuk segera memberitahunya sebuah rahasia.
Kubayangkan bagaimana reaksinya ketika kuberitahu rahasia itu nanti. Tentu ia akan terkejut. Ia akan menggodaku, seperti biasanya. Dan aku, selalu mendengus sebal menanggapi rayuan gombalnya. Padahal dalam hati aku senang bukan kepalang.
Aku mencintainya. Entah mengapa. Ia memang bukan segalanya. Tapi segalanya bukan apa-apa tanpanya.
Bel berdenting tepat saat waktu menunjukan pukul sembilan. Seseorang  di luar menghadang masuk ketika kubuka pintunya. Ia meraupku ke dalam pelukan seketika. Niat kuberitahu rahasia kuurungkan sementara. Mungkin nanti. Setelah bara birahinya sedikit mereda.
"I love you," ungkapnya. 
Bibirnya yang tengah menempel di bibirku itu bergerak merayu. Lidahnya menari dan meliuk, disertai hembusan napas kejantanan yang membuatku mabuk. Aku meyakininya sebagai pencium terbaik. Dari sekian banyak pria yang pernah mengunyah mulutku, hanya ia yang membuatku terjangkit candu.
Tangannya menggiring dan mencancangku di atas ranjang.
"Ngga akan makan malem dulu, Mas? Kita bisa delivery, atau-"
"Aku pengen makan kamu aja."
Rambut, mulut, telinga, leher, dada, dan selangkanganku habis diterkamnya. Di sela deru napasnya yang bau asap rokok, dia sempat berkata, "udah lama kameraku cemburu sama aku," setelah itu ia menuntaskan birahinya dengan kejangan singkat. 
Selang lima puluh menit ke depan kami menenenun sepi dengan diam. Aku menjadikan tubuhnya sebagai bantal. Bisa kurasakan bagian dadanya yang basah oleh keringat dan ditumbuhi bulu itu berdenyut.
Mungkin ini saat yang tepat untuk memberitahunya rahasia.
"Mas,"
Kalimat pembukaku langsung didahuluinya. "Aku nggak bisa lama-lama, Dona. Istriku belakangan sering mencariku tengah malam." Ia bangkit, "aku pamit, ya."
Setiap kata yang dikatakannya seperti peluru yang ditembakan ke arah dadaku.
Dikenakannya kemeja putih yang tadi dibuangnya ke bawah ranjang. "Kita bertemu lagi minggu depan, ya. Ingat, kan? Photo shoot untuk produk lulur di Bali?"
Tubuhku menegang. Segerombolan kalimat yang mendobrak hatiku mendesak tenggorokanku untuk dibiarkan meluncur keluar. Susah kepayahan aku menelannya lagi. Kini kubalikan tubuh memunggunginya. Tak'kan kubiarkan ia memergoki mata merahku berair.
Ia menerbangkan selembar cek yang mendarat tepat di depan batang hidungku. "Makasih ya, honey. Honormu di transfer Ratih nanti, ya. See you soon, my honey," pamitnya sambil mengusap kepalaku. Kemudian kudengar suara decit pintu. Aroma tubuhnya membuntutinya kemudian.
Itu tadi namanya apa? Cinta bukan hanya kegiatan mengusutkan sprai ranjang kemudian pergi. Bukan juga sekedar sedia digauli. Lalu aku, dia, kami, tadi itu apa?
Ponselku berdering
 
2105F7B0
PING
 
Kuabaikan. 
 
Selembar cek yang diberinya tadi kuremas dan kubuat menjadi gulungan kecil. Terhuyung aku berjalan menuju lemari es. Dari dalam freezer, aku mengambil balok tempat membuat es dan kutaruh gumpalan cek itu pada kotak kosong terakhir. Kini semua kotak terisi penuh oleh gulungan cek. Entah sudah berapa lama reruntuhan bubuk-bubuk es yang beku memerkosa mereka saat kehangatan yang didambakannya tak kunjung tiba.
Kenyataan itu terus membentur-benturkan pikiran dalam kepalaku. Mas Bambang telah pergi. Rahasia itu bahkan tak sempat diketahuinya.
Aku beralih menuju laci, tempat rahasia itu kusimpan.
Di dalam laci, sebatang test pack positif terlentang malang. Entah sampai kapan ia akan terus begitu.
Kualihkan pandanganku keluar jendela. Dari atas sini, tempat ku berdiri sekarang tampak sebuah iklan sabun dalam reklame dengan ukuran yang lumayan besar. Tahu rasanya mendapati dirimu berpose di sana dan dipelototi jutaan pasang mata setiap harinya? Mengerikan.
Kuputuskan untuk menutup jendela sekaligus gordennya rapat-rapat.
Setelah mengambil sebotol tablet yang juga kutaruh dalam laci, aku kembali menuju ranjang. Separuh isinya kutelan, kubantu hanyutkan dengan segelas air mineral.
Kembali ponselku berdering.
 
2105F7B0
PING
PING
PING
Kutahu kau tengah memelototi layar ponselmu, Dona.
 
Dona Aulia
Siapapun kamu, tolong, berhentilah menggangguku.
 
2105F7B0
Aku akan pergi, setelah mengetahui apa yang akan kau lakukan ketika kau mengetahui batas waktu hidupmu. Akankah kau menghabisi sisa waktumu dengan bersenang-senang, seperti apa yang baru saja kau lakukan? Ah, tidak. Kau hanya membuatnya senang, kau tidak orgasme kan, barusan?
 
Dona Aulia
Darimana kau tahu?
 
2105F7B0
Sudah kubilang. Saat ini pun aku tahu warna lingeriemu.
 
Dona Aulia
Kau ingin tahu apa yang akan kulakukan sebelum mati? MENGEJARMU!
 
2105F7B0
Tebakanku keliru. Kukira kau akan menyatakan cinta.
 
Dona Aulia
Cinta? Bagiku cinta hanya alasan yang digunakan pria agar wanita mau melakukan senggama.
 
2105F7B0
Aku tahu kau menyimpan cinta. Kau hanya tidak menunjukkannya saja. Baiklah, waktu kita habis.
 
Dona Aulia
Apa maksudmu?
 
2105F7B0
Aku berada di sampingmu sekarang. Untuk menjemputmu pulang.
 
Mulutku mengeluarkan banyak busa. Ponselku terbanting ke bawah.
***
2105F7B0
Aku malaikat yang diutus-Nya untuk menjemput siapa saja yang sudah tiba waktunya. Siapa saja. Sekalipun kamu yang kini tengah asyik menatap layar monitormu. 
 
SEKIAN
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

SANGAT DIANJURKAN untuk saling mengapresiasi atau mengkritik tulisan satu sama lain. Kita sama-sama belajar ya!