Peringatan keras: setiap karya yang dimuat di Writing Session dilindungi UU hak cipta & penjiplakan pada karya tersebut memiliki sanksi!

Kamis, 12 Mei 2011

Langit Merah Muda dan Bumi Kelabu

Oleh: al-rischa.blogspot.com




Langit merah muda. Itu pintamu waktu itu, ketika kita bicara soal tingginya mimpi dan bagaimana cara kita menggapai awan. Kau ingin langit bewarna merah muda, warna kesukaanmu. Seperti anak kecil pikiranmu itu. Imajinasimu selalu terlampau tinggi, selalu membawaku ke tingkatan teratas mimpi, saat aku akhirnya mengesampingkan kenyataan untuk berbaring dalam mimpi bersamamu.

Kadang aku merasa takut. Kau membawaku terbang begitu tinggi sampai aku takut akan terjatuh dan mati. Aku takut kau akan membawaku terlalu dekat dengan matahari sampai sayapku meleleh seperti Icarus. Kau terlalu indah, terlalu tinggi. Dan kau membuatku takut.


Aku tidak ingin berada dekat denganmu.


Dia berbeda denganmu. Dia seorang yang realistis dan membawaku dalam jalur yang benar. Tiap aku bicara dengannya keyakinanku tumbuh dan hei, aku merasa (untuk pertama kalinya sejak entah berapa lama) aku ini manusia. Punya batasan yang tidak bisa ku lewati tapi itulah kita bukan? Manusia yang tidak sempurna.

Dia berbeda denganmu. Dia menerima batas-batas yang kumiliki dan membuatku merasa aman di tanah. Berbeda denganmu yang membawaku ke atas awan, dia mengajakku menjejak tanah. Duduk di bawah rindangnya pohon dan bermain dengan genangan air sehabis hujan. Dia tidak sempurna, begitupun aku. Kami hanya dua orang manusia yang memiliki kelemahan. Kami hidup begini, tanpa terikat takdir maupun karma.



'Aku tidak ingin bersamamu lagi,' kataku padamu akhirnya, 'kau terbang terlalu tinggi. Aku benci ketinggian.'

Kau marah, aku bisa melihatnya. Kau kecewa, kau sedih. Namun aku tidak ingin tinggal di langit saat aku merindukan bumi. Maaf. Kau mencoba untuk tertawa namun langit berbicara untukmu. Rintik hujan turun perlahan dan kuakui pada saat itu ada sedikit bagian diriku yang ingin tetap bersamamu. Tapi pada akhirnya aku membalikan tubuhku, enggan kembali terbang.


Dia sempurna dalam ketidaksempurnaannya. Senyum cerah dan menyejukan seperti embun pagi. Tangannya dingin seperti batu. Dan suaranya halus seperti gemerisik dedaunan di siang hari. Dia membawaku keliling dunia, menjejak tiap jengkal tanah dengan ceria.

Ini realita yang kuinginkan. Sungguh.

Namun aku heran kenapa tiap hujan datang, aku menemukan diriku menatap awan. Bertanya pada diriku sendiri apa kau yang sedang menangis di atas sana?


Entah sudah berapa lama mendung di atas bumi. Tiap aku melihatmu matamu selalu merah dan kau semakin kurus. Kau tidak lagi terbang dekat dengan matahari, kau selalu mengambang di permukaan seakan mencari sesuatu yang hilang di bumi. Akukah yang kau cari? Tapi aku tidak ingin kembali ke atas sana.



Hidup itu seperti roda, ada kalanya kita di atas ada kalanya kita di bawah. Hari bergulir dan mendung perlahan sirna. Aku takut. Tapi kali ini rasa takut ini berbeda. Hari kembali cerah berarti kau akan kembali ke langit. Dan aku tidak ingin kau pergi.

Tapi kau pergi. Seindah pelangi, kau berlalu pergi. Tanganmu menggenggam tangan orang lain. Bahumu dirangkul oleh orang lain. Dan rasa apa ini yang menggelegak di dalam diriku? Bukankah harusnya aku yang ada ditempat orang lain itu? Aku yang seharusnya berada di sisimu, menemanimu menyusuri awan di atas tujuh samudera.


'Jangan pergi,' kataku padamu akhirnya, 'tinggalah bersamaku di sini.'

Kau menggeleng, seperti mengasihaniku. Tapi kau tidak mengatakan apa-apa. Kau tidak berkata tidak. Dan aku merasakan harapanku melambung sekali lagi.

'Tinggalah bersamaku. Atau kalau tidak, bawa aku bersamamu.'


Kau pergi. Tanpa berkata apa-apa lagi kau pergi. Seperti pelangi yang cepat muncul dan cepat hilang, harapanku sirna ketika kau berbalik. Di atas sana kau bermimpi, di bawah sini aku terhempas realita. Aku mengais tanah, mencari sayap bekas untuk kembali bersanding denganmu. Pada akhirnya tinggal menjejak bumi pun tidak luput dari takdir dan karma.

'Tunggu, kumohon,' pintaku lagi, 'aku sayang kamu, sungguh.'

Kau tersenyum. Bukan seperti sinar matahari yang hangat, senyummu seperti kelabu yang mengisyaratkan hujan untuk datang. 'Terlambat, sudah sangat terlambat.'



Di atas sana tempat kita dulu bermimpi, menyentuh awan dengan ujung jemari. Di bawah sini aku mengubur diri, bernyanyi pilu untuk pemakaman mimpiku. Di bawah sini aku tertidur, tanpa mengenal mimpi dan harapan, hanya terkubur di bawah takdir dan karma. Mulutku terus bicara, seperti melantunkan mantra berulang-ulang, 'aku sayang kamu, aku sayang kamu.' Tapi kau tidak mendengar.

Karena kau jauh di atas sana,
sementara aku terkubur di sini, di bawah takdir dan karma.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

SANGAT DIANJURKAN untuk saling mengapresiasi atau mengkritik tulisan satu sama lain. Kita sama-sama belajar ya!