Oleh: Larissa Yuanita (@larissayuanita)
larissayuanita.blogspot.com
Dari ujung kepala sampai ujung kaki ku bergetar tiada henti . Keringat dingin pun mulai membasahi tubuhku. Aku sangat gelisah mendengar obrolan mereka. Aku mendengarkan percakapan mereka dibalik tembok. Dokter berkata pada ibu bahwa umurku takkan lama lagi. Andai tadi aku tak mendengar percakapan mereka, pasti aku tak akan panik seperti ini mendengar berita yang sempat membuat jantungku berhenti untuk sejenak. Aku tak bisa menerima ini semua. Umurku masih sangat muda, tapi kenapa Tuhan tega mengambil nyawa ku? Begitu banyak pergumulan dalam pikiran dan hatiku. Aku berlari menuju kamar rawatku, naik ke ranjang dan menghapus air mata yang sempat jatuh diatas wajahku. Seolah tak mendengar apapun, seolah tak ada yang terjadi. Aku segera menenangkan pikiranku dengan tidur sejenak.
Aku belum sepenuhnya tertidur. Telingaku mendengar suara pintu terbuka. Aku yakin itu pasti ibu. Aku tetap berpura-pura tidur. Seseorang duduk di sebelah ku dan berkata: “Aku bersama-sama dengan kamu.” Dengan cepat aku membuka mataku, suara itu bukan suara ibu. Melihat sekelilingku, tak ada satupun orang. Suara itu suara lelaki yang telah dewasa, aku yakin itu. Tapi kenapa tak ada satu orangpun di sekitarku? Lalu, suara pintu terbuka, dan suara lelaki dewasa itu datangnya darimana?
Keesokkan paginya, ibu menjengukku. Dia tak menceritakan apa yang telah dokter katakan padanya. Mungkin ibu tak mau melihat aku sedih. Aku mulai bertanya pada ibu, apakah yang dikatakan dokter padanya. Ibu hanya menjawab, hasil tes nya belum keluar,nak. Aku hanya bingung kenapa ibu tak mau memberitauku apa yang sebenarnya akan terjadi.
Tiba-tiba, seorang lelaki separuh baya datang sambil membawa alkitab. Ibu berkata, karena aku sudah lama tak pergi ke gereja, dia memanggil pak Pendeta, agar aku tetap dekat dengan Tuhan. Karena, selama dirumah sakit, aku hanya berdoa. Aku tak membaca Firman Tuhan. Hari ini, pak Pendeta, sebut saja Pak Jos, mengawali ibadah dengan berdoa. Dalam tiap tuturan kata yang diucapkan oleh Pak Josh, membuatku melupakan sejenak perkataan dokter pada ibu kemarin.
Dia mulai memberikan aku sedikit pencerahan tentang hidup dan yang paling aku ingat adalah. Nyawa, harta benda, teman, tubuh atau apapun yang ada di dunia ini hanyalah dititipkan kepada manusia. Kita sebagai manusia, hanya perlu merawatnya. Kita tak berhak berkata bahwa semua yang kita miliki adalah milik kita pribad karena itu semua hanya dititipkan Tuhan pada kita untuk membuat manusia belajar tentang pelajaran hidup. Dan semuanya nanti, semua pemberian Tuhan pada kita, harus kita kembalikan pada yang Mahakuasa.
Aku mulai sadar tentang hidup ini. Aku tak berhak berkata bahwa Tuhan tak adil. Seperti contohnya, handphone itu milik Andi, dan itu berarti aku tak boleh berkata bahwa handphone itu milik aku bukan? Seperti halnya hidup ini, hidup ini milik Tuhan. Jadi, aku tak berhak berkata bahwa hidup ini milikku. Lebih tepatnya aku boleh berkata hidup ini dititipkan Tuhan padaku untuk dijaga.
Soal suara lelaki itu, aku yakin itu Tuhan. Dia akan selalu ada di sampingku, walaupun maut akan menjemputku ke tempat lain di atas langit sana. Dia akan selalu melindungiku apapun yang terjadi. Aku tak lagi takut akan kematian dan aku tak memikirkan lagi kapan aku mati. Aku menjalani hidup ini apa adanya, karena masih banyak hal yang dapat aku lakukan. Aku mengisi detik-detik terakhir hidupku dengan anak-anak panti asuhan yang tak seberuntung diriku, dan kegiatan lainnya. Hidupku menjadi jauh lebih berarti. Kematian memang menyeramkan bagiku, sebelum aku mendapatkan pencerahan. Tapi sekarang, menurutku kematian adalah proses dimana nantinya aku akan mendapatkan kehidupan yang kekal dialam yang lain.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
SANGAT DIANJURKAN untuk saling mengapresiasi atau mengkritik tulisan satu sama lain. Kita sama-sama belajar ya!