Peringatan keras: setiap karya yang dimuat di Writing Session dilindungi UU hak cipta & penjiplakan pada karya tersebut memiliki sanksi!

Senin, 30 Mei 2011

Malaikat Purnama Terakhir


Oleh: @mazmocool
http://bianglalakata.wordpress.com



Aku masih tertidur di beranda itu. Kedua kelopak mataku tertutup rapat. Sepi. Sendiri. Tak ada seorang pun di sampingku selain kamu.

***

Malam itu, aku masih berdiri di awal tengah malam. Bersama seorang yang baru aku kenal di pesta seorang teman barusan. Seseorang itu berniat mengantarkan aku sampai ke rumah. Mengingat kondisiku tak sanggup untuk pulang sendirian.

Purnama lembut menyapa kala ragaku terombang-ambing di samudera yang aku sendiri tak tahu dimana ujungnya. Yang aku tahu perasaanku justru terbang menari diantara awan penghias angkasa.

Aku terdiam ragu di depan sebuah bangunan. Sebuah bangunan menyerupai rumahku. Tapi aku yakin itu bukanlah rumahku. Meskipun sama, tetapi jelas perbedaannya. Aku hapal betul dengan setiap detil rumahku. Bahkan bagian tembok yang terkelupas pun aku ingat.

"Ayo masuk," katanya padaku.

Aku masih terdiam di ujung batas kesadaranku. Aku tak yakin dengan apa yang ada dalam pikiranku. Bahkan aku juga tak yakin dengan kata hatiku.

"Ini rumahmu kan?" tanyanya dengan lembut.

Aku masih terdiam. Kukerjap-kerjapkan mataku untuk meyakinkan bahwa ini adalah rumahku.

"Tapi ini sepertinya bukan rumahku," kataku bergetar sambil bersandar pada tubuhnya.

"Ini rumahmu. Masak kamu lupa sih?" tanyanya lagi.

"Tadi sebelum berangkat aku sudah menyalakan lampu, tapi ini kok gelap," kataku sambil meyakinkan hati bahwa ini adalah rumahku.

"Mungkin lagi mati listrik. Biasa kan musim hujan seperti sekarang ini," katanya meyakinkanku.

Aku rasakan sepertinya dia tidak salah. Kurasakan telapak kakiku menginjak tanah basah. Sepasang sepatu hak tinggiku sudah aku lepas sedari aku turun dari mobil tadi.

Aku pun menuruti ajakan orang berpakaian hitam itu. Aku melangkah sempoyongan. Sesekali hampir terjatuh, tetapi dia berusaha membuatku tegak kembali. Kakiku hampir menjejakkan beranda rumah itu saat aku mendengar suara seorang perempuan merintih kesakitan di dalam rumah itu.

Suara perempuan itu membuatku limbung dalam kengerian. Aku pun tergeletak tak berdaya di beranda rumah itu. Pertanyaan yang berkecamuk dalam hati seperti tercekat di tenggorokanku yang terasa kering. Bibirku pun terasa kelu.

Beberapa kali aku mendengar suara cambukan diiringi dengan teriakan kesakitan. Sepertinya perempuan itu telah disiksa di dalam rumah yang gelap itu. Aku semakin bergetar membayangkan itu semua. Aku mencoba berteriak minta tolong tetapi tak ada suara sedikit pun yang keluar.

Aku putus asa dan menangis mencoba mengumpulkan kekuatan. Aku mengucapkan doa-doa yang masih aku ingat yang pernah diajarkan guru Agamaku dulu waktu masih SD. Ternyata doa adalah kekuatan.

"Siapa perempuan yang berteriak di rumahku itu?" tanyaku pada orang yang masih berdiri di dekatku.

"Perempuan itu adalah kamu," katanya datar tanpa ekspresi.

"A a a ku?" tanyaku terbata-bata.

"Iya," jawabnya singkat.

"Maksudmu apa? Aku tidak mengerti dengan semua ini. Kenapa kamu tidak menolongnya?" ratapku sambil berusaha mengembalikan kesadaranku.

Kesadaranku tidak juga pulih. Aku masih menunggu jawaban darinya. Dia terdiam. Menatap tajam ke arahku. Tatapan tajam itu membuat tubuhku menjadi kaku. Tubuhku mengejang bersamaan dengan busa yang menggenang di mulutku.

"Itu bukan tugasku. Yang bisa menolong dia hanyalah dirimu sendiri," katanya sinis.

Raut muka sinis itu terbayang di sudut pandanganku yang sudah mulai kabur. Tubuhku kembali mengejang. Aku hanya bisa berdoa dalam hati semoga semuanya baik-baik saja.

***

Tubuhku diam tak bergerak. Kesadaranku perlahan hilang dan pandanganku menjadi gelap. Aku tergeletak tak berdaya di bawah bias purnama terakhir saat dia, malaikat pencabut nyawa itu, mencabut nyawaku dalam satu sentakan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

SANGAT DIANJURKAN untuk saling mengapresiasi atau mengkritik tulisan satu sama lain. Kita sama-sama belajar ya!