Peringatan keras: setiap karya yang dimuat di Writing Session dilindungi UU hak cipta & penjiplakan pada karya tersebut memiliki sanksi!

Minggu, 22 Mei 2011

Setiap Kehidupan itu Berharga

Oleh: Salita Romarin (@salromarin)



Tahukah engkau,
Apa yang membuat hidup lebih bermakna?
Itu adalah kematian
Mengapa?
Karena dengaan kematian,
Kau akan sadar waktumu terbatas
Kau akan lebih menghargai setiap detik yang kau miliki
Dengan hanya mengingaatnya...
Aku tersentak dari lamunanku. Seketika aku ingat sebuah puisi yang dibuat temanku. Tahun-tahun telah berlalu sejak terakhir aku mendengar puisi itu. Membuatku teringat sebuah kejadian yang membekas di hatiku.

Aku tahu, ketika mendengar kata kematian, mungkin sebagian besar dari kita akan mengingat orang-orang yang kita sayangi. Takut kalau mereka hilang ditelan bumi. Atau terkadang kita mengingat akan dosa-dosa yang telah kita lakukan di masa lalu, dosa terhadap orang lain. Kadang kita tidak bisa memaafkan diri kita atas kesalahan-kesalahan yang kita buat. Bagiku sama seperti orang-orang pada umumnya, tetapi ada sesuatu yang lebih membekas pada diriku tentang kematian.

Aku ingat masa indah itu...

Aku adalah anak seorang pengurus kebun binatang. Sebagai seorang anak, aku selalu tertarik untuk mengikuti kegiatan ayahku setiap harinya. Ayah selalu berkata padaku setiap kali kami mendekati kandang hewan buas, aku harus menjauh. Takut aku celaka, kata beliau. Aku memperhatikan dengan seksama, betapa ayahku sangat menyayangi hewan-hewan itu, dan mereka juga menyayanginya. Bahakan singa dan beruang pun terlihat begitu senang di dekatnya.

Suatu hari ketika aku sudah cukup besar, ayah mengajakku ke kandang singa. Dengan lembut beliau membelai singa tersebut. Lalu beliau berkata padaku, "Lani, ayah mau kenalin Leo sama kamu. Sini! Dia umurnya enggak jauh dari kamu lho, beda beberapa tahun saja... Dulu ayah senang sekali waktu tahu ada kiriman bayi singa ke sini. Kebun binantang kan ramenya gara-gara si Leo ini. Sini, tenang aja, dia jinak kok.."

Mulanya aku agak takut mendekatinya, tetapi perlahan aku memberanikan diri. Aku menyentuh rambut singa itu perlahan. Begitu lembut. Leo mengaum pelan. Ia berusaha mengenali bauku. Sejenak hewan itu menatap ayahku seperti mengisyaratkan sesuatu. Ayahku hanya tersenyum mengisyaratkan tenang saja kepada Leo. Aku senang sekali mendapat teman baru. Dan semenjak hari itu, aku dan Leo seperti sepasang sahabat yang tidak terpisahkan. Setiap sore sepulang sekolah setelah kebun binatang tutup, aku selalu menyempatkan diri untuk bertemu Leo, menceritakan betapa menariknya sekolah. Terkadang aku ingin mengajak Leo ke sekolah, tapi pasti semua orang akan melarangnya. Ketika aku beranjak SMA dan tertarik dengan teman sekelasku, Leo adalah tempat curhatku. Aku selalu merasa nyaman di dekatnya. Leo itu seperti kucing kalau ada di sekitarku, hanya saja ini kucing yang sangat besar.

Ketika aku lulus SMA, kejadian buruk menimpa keluargaku. Ayahku terkena serangan jantung. Beliau meninggal tanpa sempat berpamitan pada kami. Hari itu aku baru pulang membawa surat kelulusan. Aku belum sempat mengabari ayahku bahwa aku lulus ketika aku mendapat kabar bahwa ayah telah meninggal. Aku langsung menangis tidak terkendali. Teman-temanku mengantarku pulang saat itu. Malam setelah ayah dimakamkan, aku hanya diam, tidak mau makan. Kudengar dari petugas lainnya kebun binatang lainnya Leo mengamuk di kandangnya hari itu. Katanya ia harus disuntik untuk menenangkan dirinya. Aku tahu, Leo juga merasakan kepergian ayahku dan merasa sangat terpukul karenanya. Kami berdua pun jatuh sakit tidak lama kemudian.

Empat bulan setelah kematian ayah, keluarga kami harus segera pindah, karena rumah yang kami tempati adalah rumah dinas untuk petugas kebun binatang. Dengan kepergian ayah, rumah itu bukan lagi hak kami untuk menempatinya. Keluarga kami pindah ke tempat yang jauh dari kebun binatang. Aku juga diterima di sebuah universitas di luar negeri dan mendapat beasiswa. Aku sangat bahagia. Tetapi di tengah kebahagiaan itu, seketika aku teringat Leo. Semenjak kepergian ayahku, aku tidak lagi mengunjungi Leo. Aku terlalu sedih dan juga sibuk mengikuti tes masuk perguruan tinggi. Padahal jarak rumahku yang lama tidak jauh dari kebun binatang dan aku bisa mengunjunginya kapan saja. Akhirnya aku pun memutuskan untuk menjenguknya sehari sebelum keberangkatanku ke Jerman, tempat aku akan menuntut ilmu di perguruan tinggi impianku. Aku akan belajar kedokteran.

Sampai di kebun binatang aku langsung menyapa Pak Pardi penjaga loket tiket masuk. Dengan senyumnya ia seperti biasa mempersilahkanku masuk tanpa harus membeli tiket. kebun binatang ini tidak banyak berubah, meskipun agak lebih sepi dan agak kotor di beberapa tempat. Aku langsung menuju kandang Leo, dan meminta petugas penjaga di sana untuk membukakan pintu kandang. Aku melihat Leo sedang tertidur pulas. Aku mendekatinya perlahan, Leo bergerak, mengendus-endus tubuhku. Ia mengeong pelan, matanya memancarkan kerinduan. Aku memeluknya dengan erat, aku juga merindukan sahabatku yang satu ini. Kemudian aku memberikan daging asap ukuran jumbo kesukaannya. Ia menyantapnya dengan lahap. Lalu aku menceritakan bahwa aku akan pergi untuk waktu yang cukup lama. Leo seperti tidak mengerti, mungkin ia bingung apa maksud perkataanku. Ah, perlu kalian tahu, bahwa hewan-hewan yang dekat dengan manusia akan mengerti perkataan manusia walau tidak banyak yang bisa ia mengerti. Aku menghabiskan dua jam di sana, mengabadikan beberapa foto, lalu berpamitan kepada Leo. Aku akan sangat merindukannya.

Tujuh tahun pun berlalu...

Selama di Jerman aku menghabiskan waktuku untuk kuliah, kemudian aku sempat ditawari kerja magang di sana, yang kemudian aku terima dengan senang hati untuk mengumpulkan uang sekaligus mencari pengalaman. Tidak terasa waktu berlalu. Aku tidak pulang ke Indonesia karena keterbatasan uang. Karena itu aku sangat merindukan Indonesia. Aku rindu setiap orang di sana, aku rindu masakannya, aku rindu udaranya, dan aku rindu Leo.. Bagaimana keadaaan Leo saat ini ya? Apa kebun binatang sudah berbeda? Bagaimana kabar para petugas di sana? Aku sudah tidak sabar untuk pulang... Indonesia, I'm comiiiing!

Sesampainya di Indonesia...

Aku langsung menuju rumahku. Aku memeluk dan mencium tangan ibuku, lalu aku juga sempat kaget melihat adikku sudah tumbuh menjadi lelaki dewasa yang tergolong tampan. Aku sangat rindu mereka. Ibu membantuku membereskan barangku, adikku membantu membawakan koper-koperku. Aku senang sekali bisa bertemu mereka kembali. Mereka menanyakan bagaimana pengalamanku selama di Jerman, lalu meminta oleh-oleh. Kemudian dengan isengnya adikku bertanya apa aku membawa bule Jerman bersamaku. Aku hanya tertawa. Seleraku ya orang Indonesia, Dik.. Kemudian aku bertanya tentang Leo. Seketika suasana menjadi hening. Aku bingung.

"Leo mati setahun yang lalu, Nak..." Kata ibuku dengan sedih, berusaha menguatkanku.

Leo mati? MATI? Mengapa? Bukankah umur singa itu sampai 50 tahun? Leo kan baru berumur 27 tahun!

Air mata pun menetes, kemudian aku mulai menangis. "Kenapa bisa, Bu?"

"Sejak empat tahun yang lalu, kota ini sudah berubah, Lan... Orang-orang lebih suka ke mall daripada ke kebun binatang. Pemerintah juga tidak memeberikan dana yang cukup untuk mengurus kebun binatang. Banyak pengurus yang berhenti kerja, kebun binatang tidak terurus dan terjaga. Leo mati karena ditemukan plastik seberat 2 kilo di perutnya. Katanya itu dari pengunjung yang sembarangan kasih makan.. Ibu juga sedih waktu tahu.."

"Tapi kenapa ibu nggak kasih tahu aku dari dulu?"

"...Ibu takut.. Kamu jadi terganggu kerjanya di sana.. Maafin ibu, Lan..."

Aku hanya terdiam, lidahku kelu mendengar itu. Mengapa keadaan menjadi kacau seperti ini? Mengapa harus Leo yang jadi korban? Aku hanya bisa memaki dalam keheningan. Malam hari itu aku diam di kamar hingga esok paginya, menatapi foto yang terakhir kali kuambil bersama Leo. Andai aku bisa mengulang waktu, aku akan terus menjagamu, kini aku hanya bisa menyesali apa yang tidak bisa kuperbuat...

Hari ini...

Aku bekerja sebagai seorang dokter di Rumah sakit di Bandung. Kini aku telah berkeluarga dan mempunyai anak-anak yang lucu. Aku sedang di ruang praktik ketika aku teringat lagi kenangan akan sahabatku Leo. Setiap aku mengingat itu, aku selalu merasa bahwa sebuah nyawa sangatlah berharga. Sebuah nyawa tidak boleh disia-siakan, bahkan nyawa seekor hewan sekalipun. Karena Tuhan menciptakan mereka bukan untuk disia-siakan, apalagi disakiti. Aku selalu menjadikan itu sebagai motivasiku dalam menyelamatkan pasien-pasienku. Karena aku sudah mengalami kehilangan, dan aku berusaha sekuat mungkin agar orang lain juga tidak mengalami kehilangan itu. Meskipun kematian adalah takdir Tuhan, bukan berarti kita menyerah begitu saja karena tahu takdir itu akan datang, karena setiap detik dalam hidup kita sangatlah berharga dan tidak akan kembali lagi.

Aku harap Leo dan Ayah bisa tenang di sana..

Bila waktuku tiba, kita akan bertemu lagi, Leo... Istirahatlah dengan tenang, temani ayahku di sana yaa...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

SANGAT DIANJURKAN untuk saling mengapresiasi atau mengkritik tulisan satu sama lain. Kita sama-sama belajar ya!